Perang Padri: Buah Dakwah Kaku Sekte Wahabi di Sumatra
Selasa, 14 April 2020
Tulis Komentar
Perang Padri pemicunya adalah gerakan dakwah kaku dari tiga orang Haji asal Minang yang terpengaruh ajaran Wahabi. Tiga Haji yang dimaksud menurut catatan Azyumardi (2004) adalah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Ketiganya pulang dari tahan suci pada tahun 1803 Masehi.
Kota Suci Mekah dan Madinah dan umumnya Propinsi Hejaz sampai pada tahun 1817 Masehi memang sedang dikuasi oleh Ke-Amiran Dariyah (Negara Saudi I) yang dibantu milisi dari sekte Wahabi.
Propinsi Hejaz yang sebelumnya dikuasai Kekhalifahan Turki pada masa itu memang betul-betul diwahabikan, banyak kelompok-kelompok Islam yang dianggap bertentangan dengan faham Wahabi dihabisi, Hejaz jaman ini betul-betul diwahabikan, pun juga demikian dengan jamaah haji yang datang dari penjuru dunia, mereka diwahabikan. Diantara yang terpengaruh itu adalah 3 Haji asal Minang yang telah disebutkan.
Baca Dalam: Berdirinya Kerajaan Arab Saudi
Sepulangnya dari tanah suci, Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang langsung mempraktekan ajaran pemurnian Islam ala Wahabi yang ia dapat di tanah suci, tanpa tedeng aling-aling mula-mula mereka menghantam amalan orang-orang diwilayah Kesultanan Pagaruyung yang sebetulnya baru mengenal Islam sebatas tahu sebagai perusak Islam, mereka dicerca, yang paling keras diantara ketiganya dalam berdakwah adalah Haji Miskin.
Haji Miskin, mula-mula secara terang-terangan melarang masyarakat di kampung halamannya berbuat sesuatu yang diharamkan Islam, dalam catatan Saleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007), Haji Miskin mengharamkan mengunyah sirih, waris berdasarkan garis dari Ibu, rokok, tuak serta sabung ayam. Bahkan dengan terang-terangan tanpa didasari teknik dakwah yang benar pada orang-orang yang baru sebatas tahu dengan Islam, Haji Masakin membakar suatu balai adat yang juga biasa digunakan sebagai tempat sabung ayam.
Pembakaran balai adat yang dilakukan Haji Miskin di kampung Pandai Sikat itulah yang kemudian memantik kerusuhan, warga yang tidak terima hendak menghakimi, hanya saja ia berhasil melarikan diri dari kejaran kaum Adat, Haji Miskin meminta perlindungan Tuanku Pasaman di Kota Lawas.
Masalah menjadi runyam lantaran Haji Masakin menggelorakan jihad bela agama dalam menghadapi kaum adat yang menurutnya menghalang-halangi kegiatannya dalam menebarkan Syariat.
Mulanya pemberontakan yang dilancarkan kaum Padri mampu menguasai bahkan membumi hanguskan Istana Pagaruyung sehingga Sultan beserta pengiringnya melarikan diri ke tempat yang aman, pada kondisi yang terjepit itulah Sultan meminta bantuan Belanda.
Kota Suci Mekah dan Madinah dan umumnya Propinsi Hejaz sampai pada tahun 1817 Masehi memang sedang dikuasi oleh Ke-Amiran Dariyah (Negara Saudi I) yang dibantu milisi dari sekte Wahabi.
Propinsi Hejaz yang sebelumnya dikuasai Kekhalifahan Turki pada masa itu memang betul-betul diwahabikan, banyak kelompok-kelompok Islam yang dianggap bertentangan dengan faham Wahabi dihabisi, Hejaz jaman ini betul-betul diwahabikan, pun juga demikian dengan jamaah haji yang datang dari penjuru dunia, mereka diwahabikan. Diantara yang terpengaruh itu adalah 3 Haji asal Minang yang telah disebutkan.
Baca Dalam: Berdirinya Kerajaan Arab Saudi
Sepulangnya dari tanah suci, Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang langsung mempraktekan ajaran pemurnian Islam ala Wahabi yang ia dapat di tanah suci, tanpa tedeng aling-aling mula-mula mereka menghantam amalan orang-orang diwilayah Kesultanan Pagaruyung yang sebetulnya baru mengenal Islam sebatas tahu sebagai perusak Islam, mereka dicerca, yang paling keras diantara ketiganya dalam berdakwah adalah Haji Miskin.
Haji Miskin, mula-mula secara terang-terangan melarang masyarakat di kampung halamannya berbuat sesuatu yang diharamkan Islam, dalam catatan Saleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007), Haji Miskin mengharamkan mengunyah sirih, waris berdasarkan garis dari Ibu, rokok, tuak serta sabung ayam. Bahkan dengan terang-terangan tanpa didasari teknik dakwah yang benar pada orang-orang yang baru sebatas tahu dengan Islam, Haji Masakin membakar suatu balai adat yang juga biasa digunakan sebagai tempat sabung ayam.
Pembakaran balai adat yang dilakukan Haji Miskin di kampung Pandai Sikat itulah yang kemudian memantik kerusuhan, warga yang tidak terima hendak menghakimi, hanya saja ia berhasil melarikan diri dari kejaran kaum Adat, Haji Miskin meminta perlindungan Tuanku Pasaman di Kota Lawas.
Masalah menjadi runyam lantaran Haji Masakin menggelorakan jihad bela agama dalam menghadapi kaum adat yang menurutnya menghalang-halangi kegiatannya dalam menebarkan Syariat.
Masalah yang sudah runyam itu kemudian menemui titik kronisnya selepas Haji Masakin didukung penuh oleh Tuanku Pasaman yang merupakan orang penting dari kalangan Raja Ibadat.
Sistem kekuasaan di Kesultanan Pagaruyung saat itu berbentuk tiga serangkai atau yang dikenal dengan nama Rajo Nan Tigo Selo, yakni Raja Alam (Pemimpin Pemerintahan/Bangswan), Raja Adat (Pemimpin Adat) dan Raja Ibadat (Pemimpin Agama/Ulama/Kaum Padri).
Ketiganya sama-sama berjalan beriringan dengan yang Dipertuan Agung Raja Alam (Sultan). Namun selepas terjadi peristiwa penghinaan dan pembakaran majlis adat yang dilakukan kaum Padri yang terpapar ajaran wahabi, hubungan antara kaum Padri dan kaum Adat retak. Keduanya sama-sama merasa diri paling benar, dalam tiap-tiap kesempatan keduanya saling serang dan saling adu kuat.
Perang saudara akhirnya tak dapat dibendung, disisi lain Sultan Pagaruyung yang mulanya mencoba menengah-nengahi dianggap sebagai Raja Kafir karena dianggap lebih membela dan melindungi kaum Adat. Mulai setelah itu meletuslah perang yang lebih besar, sebab kaum Padri berhasil memobilisasi rakyat, khususnya rakyat yang muak pada pihak Kesultanan yang kala itu memang abai terhadap kemakmuran rakyat.
Perang antara kaum adat yang dilindungi Kesultanan dengan Kaum Padri (Ulama) yang terpapar ajaran Wahabi tersebut dikenal dengan istilah Perang Padri. Perang ini terbilang lama (1803-1838), berlangsung berlarut-larut sehingga menyebabkan runtuhnya Kesultanan Pagaruyung.
Sistem kekuasaan di Kesultanan Pagaruyung saat itu berbentuk tiga serangkai atau yang dikenal dengan nama Rajo Nan Tigo Selo, yakni Raja Alam (Pemimpin Pemerintahan/Bangswan), Raja Adat (Pemimpin Adat) dan Raja Ibadat (Pemimpin Agama/Ulama/Kaum Padri).
Ketiganya sama-sama berjalan beriringan dengan yang Dipertuan Agung Raja Alam (Sultan). Namun selepas terjadi peristiwa penghinaan dan pembakaran majlis adat yang dilakukan kaum Padri yang terpapar ajaran wahabi, hubungan antara kaum Padri dan kaum Adat retak. Keduanya sama-sama merasa diri paling benar, dalam tiap-tiap kesempatan keduanya saling serang dan saling adu kuat.
Perang antara kaum adat yang dilindungi Kesultanan dengan Kaum Padri (Ulama) yang terpapar ajaran Wahabi tersebut dikenal dengan istilah Perang Padri. Perang ini terbilang lama (1803-1838), berlangsung berlarut-larut sehingga menyebabkan runtuhnya Kesultanan Pagaruyung.
Mulanya pemberontakan yang dilancarkan kaum Padri mampu menguasai bahkan membumi hanguskan Istana Pagaruyung sehingga Sultan beserta pengiringnya melarikan diri ke tempat yang aman, pada kondisi yang terjepit itulah Sultan meminta bantuan Belanda.
Kondisi kacau Kerajaan Pagaruyung karena dirundung pemberontakan membuat Belanda optimis menguasai Pagaruyung dengan mudah, Belandapun menawarkan bantuan penumpasan kaum Padri dengan syarat Sultan menyerahkan kedaulatan Pagaruyung.
Pada tahun 1833 Sultan Bagagar Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada Belanda.
Pada tahun 1833 Sultan Bagagar Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada Belanda.
Belanda mengeluarkan Maklumat Pelangkap Pancak selepas mereka memperoleh pengakuan dari Sultan Pagaruyung bahwa Belanda berkuasa atas Kesultanan.
Maklumat Pelangkap Pancak isinya hanya 3 pasal saja, yaitu : (1) Membebaskan rakyat dari pajak (2) Pemerintahan tidak mencapuri urusan-urusan adat di nagari. (3) Penjualan kopi yang di monopoli oleh Belanda, kini dijual bebas di pasar.
Maklumat Pelangkap Pancak isinya hanya 3 pasal saja, yaitu : (1) Membebaskan rakyat dari pajak (2) Pemerintahan tidak mencapuri urusan-urusan adat di nagari. (3) Penjualan kopi yang di monopoli oleh Belanda, kini dijual bebas di pasar.
Maklumat Pelangkap Pancak mulanya membuat Sultan dan para pembesar kerajaan senang, karena meskipun Pagaruyung dibawah Belanda rakyat akan kembali hidup normal sebab kedepannya kaum Padri akan ditumpas, pajak bagi rakyat ditiadakan sementara perekonomian rakyat akan membaik karena diberlakukan perdagangan dan perekonomian bebas tanpa monopoli.
Namun, maklumat itu hanya sekedar maklumat, selepas mendapatkan stempel kekuasan di atas tanah Minang Belanda ingkar janji.
Nasi sudah menjadi bubur, Kerajaan telah terjajah, pemicu utamanya karena 1, yaitu karena dakwah kaku penganut sekte Wahabi di Sumatra.
Dikemudian hari, tampilah seorang pemuda gagah dari kaum Padri yang terbebas dari faham Wahabi, pemuda itu dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, tokoh inilah yang kelak meminta maaf pada kaum adat atas dakwah kaku para pendahulunya sehingga menyebabkan rusaknya negara, Imam Bonjol sukses menyatukan kaum Padri dan kaum Adat untuk sama-sama berjuang melawan Blanda.
Baca Juga: Mengenal Wahabi
Baca Juga: Mengenal Wahabi
Belum ada Komentar untuk "Perang Padri: Buah Dakwah Kaku Sekte Wahabi di Sumatra"
Posting Komentar