Pengertian Perjanjian, Unsur Perjanjian dan Asas Perjanjian

Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUHPerdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan perjanjian pinjam meminjam. Isitilah hukum perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu contract law, sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenkomst.

Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu.

Ahmadi Miru menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk Melakukan atau tidak melakukan  suatu”.

Abdulkadir Muhammad mendefinisikan, perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perjanjian mengandung pengertian adalah “suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.

Menurut Van Dunne, perjanjian adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

Perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut kepentingan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu hendaknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat tercapai. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata bahwa: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

Perbuatan

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. Apabila dua pihak maka masing-masing pihak menjanjikan untuk memberikan sesuatu/ berbuat sesuatu kepada pihak lainnya yang berarti pula masing-masing pihak berhak menerima apa yang dijanjikan oleh pihak lain.

Mengikatkan Dirinya

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Untuk mengikat pihak yang satu kepada pihak yang lain, maka perjanjian harus dituangkan secara tertulis.

Pengertian dari Pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang lengkap, pengertian ini seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikat diri tentang suatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa salah satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian sepihak, tetapi kalau disebutkan juga adanya dua pihak yang saling mengikat diri, maka pengertian perjanjian  ini meliputi baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak.

Asas-asas Perjanjian

Asas hukum adalah suatu pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Dalam hukum dikenal adanya asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya perjanjian. Yang menjadi asas-asas dari perjanjian ialah didasarkan pada Pasal 1338 KUHPerdata, asas-asas hukum tersebut adalah:

Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahinya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas Konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya perjanjian ialah pada saat terjadinya kesepakatan.

Sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa syarat sahnya sebuah perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Maksudnya bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tulisan sebagai alat bukti.

Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak, adalah salah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Salim menyatakan, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya; menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Sedangkan Abdulkadir Muhammad berpendapat, kebebasan berkontrak dibatasi dalam :

  1. Tidak dilarang oleh undaang-undang;
  2. Tidak bertentaanagn dengan kesusilaan, dan
  3. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum

Kebebasan berkontrak ini oleh sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 angka (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian.

Asas Itikad Baik

Asas ini menghendaki agar suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dapat disimpulkan dari Pasal 1338 angka (3) KUHPerdata yaitu: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dari bunyi Pasal tersebut dapat diketahui bahwa asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu para pihak kreditor dan debitor harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

Asas Pacta Sunt Servanda

Asas Pacta Sunt servanda atau disebut juga dengan Asas Kepastian Hukum. Asas ini berhubungan dengan dengan akibat perjanjian. sehingga merupakan Asas bahwa Hakim atau pihak ketiga harus menghormati Substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-undang.  Asas Pacta Sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 angka (1) KUHPerdata yaitu “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.

Syarat Sahnya Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:

Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Kedua subjek mengadakan perjanjian, harus bersepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Sepakat mengandung arti, bahwa apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian

Cakap artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Seorang telah dewasa atau akil balik, sehat jasmani dan rohani dianggap cakap menurut hukum, sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu :

  1. Orang yang belum dewasa;
  2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan.
  3. Suatu hal tertentu. Suatu hal atau objek tertentu artinya dalam membuat perjanjian apa yang diperjanjikan harus jelas, sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.
  4. Suatu sebab yang halal 

Keempat syarat tersebut di atas merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang sah). tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat objektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 

Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya. Dalam arti, bahwa salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang menuntut pembatalan tersebut, adalah salah satu pihak vang dirugikan atau pihak yang tidak cakap. sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.  Dan apabila kata sepakat tidak ada, maka perjanjian dapat dibatalkan karena melanggar syarat subjektif sahnya perjanjian, yaitu melanggar Pasal 1320 angka (1) KUHPerdata.

Belum ada Komentar untuk "Pengertian Perjanjian, Unsur Perjanjian dan Asas Perjanjian"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel