Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Tentang Perlindungan Terhadap Anak dari Konten Berbahaya pada Media Cetak Maupun Elektronik.

Secara khusus tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara lengkap pengaturan perlidungan anak dari konten berbahaya, baik untuk media cetak maupun media elektronik, melainkan tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, dalam peraturan perundang-undangan yang tersebar tersebut, secara umum diatur bahwa baik lembaga pers (media cetak dan media elektronik) maupun lembaga penyiaran mempunyai kewajiban untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang dan peraturan pemerintah  yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dari konten berbahaya media cetak dan elektronik adalah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
  4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
  5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
  6. Perlindungan Anak Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Anak.

Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Penyiaran (UndangUndang No. 32 Tahun 2002) disebutkan bahwa penyiaran melalui televisi dilakukan oleh lembaga penyiaran swasta yaitu lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.

Dari pengaturan tersebut dapat dipahami bahwa jika akan melakukan usaha penyiaran, maka harus berbentuk badan hukum, yang diakui oleh hukum Indonesia, misalnya Perseroan Terbatas (PT), yayasan atau koperasi. Sebagai contoh adalah PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar), PT. Andalas Televisi (ANTV), PT. Surya Citra Televisi (SCTV) dan lain sebagainya.

Selain pengaturan dalam UU Penyiaran, pengaturan lainnya yang juga berhubungan dengan jasa penyiaran televisi adalah Undang-Undang Pers, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999.

Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi (Pasal 1 angka 2 UU Pers).  Jika diperhatikan, maka untuk jasa penyiaran televisi juga berlaku UU Pers.

Selanjutnya berhubungan dengan konten dari media, baik cetak atau elektronik, salah satunya adalah iklan. Pasal 13 Undang-Undang Pers menyebutkan bahwa perusahaan iklan dilarang memuat iklan:

Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;

  1. Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

Dalam pasal ini tidak secara eksplisit menyebutkan tentang pelarangan iklan yang berbahaya bagi anak. Namun demikian, iklan yang dibuat tidak boleh mengakibatkan pertentangan dengan rasa kesusilaan dalam masyarakat, tentu saja termasuk didalamya adalah anak-anak, tetapi memang tidak ada pengaturan tentang hal yang berkaitan dengan pelaranga secara tegas tindakan atau aksi kekerasan dalam iklan. Padahal aksi kekerasan dalam iklan juga merupakan hal yang berbahaya bagi anak, karena anak mempunyai kecenderungan untuk meniru tindakan tersebut.

Walaupun dalam Pasal 13 UU Pers terdapat hal-hal yang dilarang sebagaimana disebut diatas, tetapi tidak ada sanksi yang tegas dan jelas dalam undang-undang tersebut jika ada perusahaan iklan yang ternyata melanggar aturan ini, atau jika ada lembaga pers yang menayangkan
iklan-iklan yang dilarang tersebut.

Disamping pengaturan dalam UU Pers, UU Penyiaran juga memberikan pengaturan tersendiri. Pengaturan tersebut memang tidak secara detail yang melarang tayangan-tayangan yang berbahaya bagi anak, tetapi terdapat lembaga independent tertentu yang mempunyai kewenangan untuk membuat regulasi dan mengatur hal-hal mengenai penyiaran.

Lembaga dimaksud adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), baik yang dibentuk di tingkat pusat maupun daerah.

Fungsi dari KPI adalah mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran, sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh KPI (Pasal 8 UU Penyiaran) adalah:

  1. Menetapkan standar program siaran;
  2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
  3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
  4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
  5. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.

KPI mempunyai tugas dan kewajiban :

  1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;
  2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
  3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;
  4. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan
  5. seimbang;
  6. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan
  7. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.


Berdasarkan UU Penyiaran ini, maka KPI merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi konten siaran lembaga penyiaran di Indonesia, khususnya televisi.

Disamping itu, KPI juga menerima dan meneliti, bahkan sampai menindaklanjuti apabila ada aduan, sanggahan, kritik dan apresiasi yang berasal dari masyarakat terkait dengan penyelenggaraan siaran televisi.

Dengan demikian, masyarakat juga mempunyai kesempatan untuk dapat mengawasi secara langsung konten televisi yang berbahaya bagi anak, dan selanjutnya melaporkan hal tersebut ke KPI, untuk dapat ditindaklanjuti. Tindak lanjut yang dilakukan KPI bervariasi, dari teguran kepada stasiun televisi terhadap acara dan konten acara tersebut, sampai dengan perintah penghentian penayangan acara.

Pengaturan selanjutnya adalah dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Anak (Permen No. 10 Tahun 2010 tentang RAN PPKTA). Dalam Permen No. 10 Tahun 2010 diuraikan tentang program yang akan dilakukan berkaitan dengan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak. Program-program yang direncanakan adalah:

  1. Program Pencegahan dan Partisipasi
  2. Program Rehabilitasi Kesehatan
  3. Program Rehabilitasi Sosial, Pemulangan dan Reintegrasi Sosial
  4. Program Pengembangan Norma dan Penegakan Hukum
  5. Program Koordinasi dan Kerjasama

Dalam hal ini, program yang akan dibahas adalah program yang pertama, yaitu pencegahan dan partisipasi. Program ini mempunyai tujuan khusus, strategi dan program kerja untuk pencegahan kekerasan terhadap anak. Tujuan khusus dari program pencegahan dan partisipasi ini adalah:

  1. Mewujudkan jaringan kerja dan kelompok yang terintegrasi dan terkoordinasi di antara instansi pemerintah, organisasi profesi dan organisasi sosial kemasyarakatan dalam upaya pencegahan dan penanganan anak dari tindak kekerasan dengan melibatkan partisipasi anak;
  2. Menyelenggarakan sistem dukungan yang berbasis peran serta masyarakat sipil dalam upaya mencegah kekerasan terhadap anak dengan melibatkan partisipasi anak;
  3. Menyusun satuan acuan pembelajaran dengan melibatkan partisipasi anak yang mendasari muatan perlindungan anak dalam mata pelajaran/mata kuliah pada semua tingkat pendidikan dan kode etik pengajaran bagi pendidik/guru, petugas lapas dan panti;
  4. Membangun dan memberdayakan wadah atau organisasi anak untuk memastikan partisipasi anak dalam pemantauan pelaporan dan fasilitasi dalam rangka upaya pencegahan kekerasan terhadap anak;
  5. Menumbuhkan kesadaran baik di kalangan dewasa dan anak untuk menghindari perilaku kekerasan (termasuk diskriminasi) terhadap anak.


Strategi yang dirancang untuk tujuan khusus diatas adalah:

  1. Penggalangan peran serta media dalam penyebarluasan bahan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE);
  2. Penguatan potensi seluruh elemen masyarakat dalam pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dengan berbasis budaya dan agama;
  3. Penyediaan akses dan kesempatan bagi partisipasi seluas-luasnya kepada semua anak dalam sistem dan mekanisme pembuatan kebijakan publik;
  4. Penguatan jaringan organisasi yang berbasis keanggotaan anak di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota agar mereka bisa berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi program penghapusan kekerasan terhadap anak;
  5. Pembentukan kaukus anak di legislatif. Kemudian program kerja yang dipersiapkan adalah:
  6. Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Anak melalui kegiatankegiatan berbasis masyarakat dan program pendidikan secara formal (dimasukkan dalam kurikulum) dan informal (pelatihan, semiloka, talk show, ceramah, dll);
  7. Fasilitasi, pelatihan-pelatihan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Anak bagi aparat pemerintah, penegak hukum, tenaga medis dan para medis, tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, wartawan, orangtua/keluarga dan pelatihan tentang pengasuhan dan perawatan anak serta hak anak;
  8. Penyusunan model pencegahan Kekerasan Terhadap Anak berbasis masyarakat dan kebudayaan; model deteksi dini pencegahan anak dari kekerasan, pembentukan kelompok pemantau;
  9. Penyusunan model mekanisme pencegahan tindak kekerasan terhadap anak;
  10. Penyusunan modul pengorganisasian anak, sosialisasi dan pembentukan kelompok anak pemantau, bagi anak-anak sekolah dan anak-anak di masyarakat;
  11. Penyusunan pedoman pemantauan dan pembentukan kelompok pemantau tindak kekerasan anak di tempat-tempat khusus;
  12. Penyusunan data base, pelatihan pengoperasian data base, dan pemberdayaan anak dalam pembuatan media ramah anak;
  13. Penyusunan kode etik bagi pendidik/guru, petugas Lapas dan panti, dll serta pedoman proses konsultasi dengan anak dan pelatihan fasilitator konsultasi anak.


Kegiatan utama antara lain yang berkaitan dengan pencegahan kekerasan terhadap anak adalah pelatihan bagi jurnalis dan pengelola media dalam memuat berita terkait kekerasan terhadap anak dan pelatihan pengembangan kemampuan masyarakat: lifeskill, resiliency untuk pencegahan kekerasan terhadap anak.  Dalam memberikan perlindungan terhadap anak, tetap harus diperhatikan bahwa anak merupakan makhluk yang lemah yang harus dilindungi dan memerlukan perhatian khusus.

Penerapan peraturan perundang-undangan juga harus memperhatikan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, bahwa aturan-aturan yang lebih khusus dapat mengenyampingkan ketentuan yang umum. Dengan demikian, peraturan yang khusus yang berhubungan dengan perlindungan anak dari konten berbahaya didalam media cetak dan elektronik dapat mengenyampingkan ketentuan yang sifatnya lebih umum. 

Belum ada Komentar untuk "Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Tentang Perlindungan Terhadap Anak dari Konten Berbahaya pada Media Cetak Maupun Elektronik."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel