Sejarah Desa Majasari Kec Ligung Kab Majalengka
Rabu, 29 April 2020
Tulis Komentar
Desa Majasari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka. Pada tahun 1930 Majasari sebetulnya masih berbentuk hutan, penduduk setempat kala itu mengenalnya dengan sebutan Leuweung Maja ada juga menyebutnya Leuweung Tegal Maja.
Hutan Maja atau yang dalam bahasa Suanda disebut Leuweung Maja dijadikan tempat pemukiman diakibatkan oleh peristiwa penutupan Desa Nunuk oleh pemerintah Kabupaten Majalengka dibawah arahan pemerintah Kolonial Belanda.
Kondisi geografis desa Nunuk yang terletak di lembah Sungai Cisuluheun yang dikenal curam sering terjadi bencana, berton-ton tanah hanyut ke sungai Cisuluheun setiap turun hujan, bencana yang terjadi di Desa Nunuk juga berdampak pada pendangkalan Bendungan Rentang di Jatitujuh.
Pendangkalan tersebut menimbulkan banjir ketika musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau khususnya bagi daerah Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu. Selain erosi, lembah sungai yang curam juga berpotensi besar terjadinya longsor.
Bencana longsor besar peranah terjadi pada tahun 1930, bencana mengakibatkan terkuburnya 4 rumah warga desa Nunuk bagian selatan dan tersendatnya aliran air ke Bendungan Rentang Jatitujuh, peristiwa inilah yang dikemudian hari menjadi alasan pemerintah Kolonial Belanda memerintahkan Bupati Majalengka untuk menutup desa Nunuk dan merelokasi penduduknya ke tempat baru yang masih berbentuk hutan. Kala itu hutan yang dipilih menjadi tempat relokasi penduduk Nunuk adalah “Leuweung Maja”. Dinamakan Leuwung Maja karena memang dahulu hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon maja (Gernuk/Bernuk).
Pada tahun 1930 hingga 1933 pemerintah Kabupaten Majalengka dibawah arahan pemerintah Kolinal Belanda membabad hutan maja untuk kemudian dibangun sarana dan prasarana kependudukan yang baru didalamnya. Penduduk Nunuk pun kemudian berbondong-bondong pindah ke tempat baru yang telah disediakan, maka mulai setelah itu resmilah daerah Leuweung Maja menjadi sebuah perkampungan baru. Meskipun demikian hingga tahun 1937 perkampungan tersebut belum memiliki pemerintahan desa yang mandiri.
Pada tahun 1938 perkampungan Leuweung Maja mengadakan gelaran pemilihan kepala desa, kala itu yang mencalonkan diri menjadi kepala desa terdiri dari empat orang, yaitu (1) Mandor Pasar dari Ligung. (2) Bapak Ngalambang dari Kawung Luwuk. (3) Bapak Lurah dari Leuwiliang, dan (4 Bandar kacang dari Maja.
Namun, karena 4 calon tersebut tak seorang pun berasal dari warga Nunuk, Bupati memerintahkan orang yang berasal dari Nunuk mencalonkan diri sebagai calon kepala desa, sebab apabila tidak ada satupun orang Nunuk yang mecalonkan maka pemilihan Kepala Desa (Kuwu) dianggap tidak sah.
Seruan Bupati pada penduduk Leuweung Maja untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa akhirnya disambut baik oleh penduduk, merekapun akhirnya memaksa Bapak Suminta yang memang berasal dari Desa Nunuk agar mau menjadi calon kuwu. Selapas didadakan pemilihan Kuwu, Bapak Suminta keluar sebagai pemenangnya.
Terpilihnya Bapak Suminta sebagai Kepala Desa menandai terbentuknya pemerintahan baru selepas 8 tahun masa relokasi (1930-1938) di Leuweung Maja. Setelah peristiwa ini tokoh masyarakat beserta Kepala Desa sepakat mengubah nama Leuweung Maja menjadi Desa Majasari. Kata “maja” diambil dari nama hutan (hutan yang banyak pohon maja) yang dahulu dijadikan perkampungan sementara kata sari sendiri sebetulnya harapan agar desa tersebut menjadi tentram dan aman (sari).
Penulis : Dewi Salamatu Hamidah
Editor : Sejarah Cirebon
Hutan Maja atau yang dalam bahasa Suanda disebut Leuweung Maja dijadikan tempat pemukiman diakibatkan oleh peristiwa penutupan Desa Nunuk oleh pemerintah Kabupaten Majalengka dibawah arahan pemerintah Kolonial Belanda.
Kondisi geografis desa Nunuk yang terletak di lembah Sungai Cisuluheun yang dikenal curam sering terjadi bencana, berton-ton tanah hanyut ke sungai Cisuluheun setiap turun hujan, bencana yang terjadi di Desa Nunuk juga berdampak pada pendangkalan Bendungan Rentang di Jatitujuh.
Pendangkalan tersebut menimbulkan banjir ketika musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau khususnya bagi daerah Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu. Selain erosi, lembah sungai yang curam juga berpotensi besar terjadinya longsor.
Bencana longsor besar peranah terjadi pada tahun 1930, bencana mengakibatkan terkuburnya 4 rumah warga desa Nunuk bagian selatan dan tersendatnya aliran air ke Bendungan Rentang Jatitujuh, peristiwa inilah yang dikemudian hari menjadi alasan pemerintah Kolonial Belanda memerintahkan Bupati Majalengka untuk menutup desa Nunuk dan merelokasi penduduknya ke tempat baru yang masih berbentuk hutan. Kala itu hutan yang dipilih menjadi tempat relokasi penduduk Nunuk adalah “Leuweung Maja”. Dinamakan Leuwung Maja karena memang dahulu hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon maja (Gernuk/Bernuk).
Pohon dan Buah Maja |
Pada tahun 1938 perkampungan Leuweung Maja mengadakan gelaran pemilihan kepala desa, kala itu yang mencalonkan diri menjadi kepala desa terdiri dari empat orang, yaitu (1) Mandor Pasar dari Ligung. (2) Bapak Ngalambang dari Kawung Luwuk. (3) Bapak Lurah dari Leuwiliang, dan (4 Bandar kacang dari Maja.
Namun, karena 4 calon tersebut tak seorang pun berasal dari warga Nunuk, Bupati memerintahkan orang yang berasal dari Nunuk mencalonkan diri sebagai calon kepala desa, sebab apabila tidak ada satupun orang Nunuk yang mecalonkan maka pemilihan Kepala Desa (Kuwu) dianggap tidak sah.
Seruan Bupati pada penduduk Leuweung Maja untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa akhirnya disambut baik oleh penduduk, merekapun akhirnya memaksa Bapak Suminta yang memang berasal dari Desa Nunuk agar mau menjadi calon kuwu. Selapas didadakan pemilihan Kuwu, Bapak Suminta keluar sebagai pemenangnya.
Terpilihnya Bapak Suminta sebagai Kepala Desa menandai terbentuknya pemerintahan baru selepas 8 tahun masa relokasi (1930-1938) di Leuweung Maja. Setelah peristiwa ini tokoh masyarakat beserta Kepala Desa sepakat mengubah nama Leuweung Maja menjadi Desa Majasari. Kata “maja” diambil dari nama hutan (hutan yang banyak pohon maja) yang dahulu dijadikan perkampungan sementara kata sari sendiri sebetulnya harapan agar desa tersebut menjadi tentram dan aman (sari).
Penulis : Dewi Salamatu Hamidah
Editor : Sejarah Cirebon
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Desa Majasari Kec Ligung Kab Majalengka"
Posting Komentar