Pembubaran Ormas Sesat dan Jatuhnya Dinasti Bugis di Kesultanan Aceh
Rabu, 15 April 2020
Tulis Komentar
Pembubaran Ormas yang merongrong kewibawaan suatu negara bukan perkara mudah, resikonya besar apalagi ormas tersebut digemari banyak orang. Dalam kasus ini Kesultanan Aceh pernah menjadi tumbalnya, ormas keagamaan sesat yang di bubarkan oleh Sultanah Safiatuddin (1641-1675) melakukan perlawanan, dengan segala upaya dan taktik liciknya Ormas keagamaan sesat itu pada akhirnya mampu menumbangkan kekuasaan Dinasti Bugis atas Kesultanan Aceh Darussalam.
Ormas keagamaan yang dimaksud tentu bukan seperti ormas keagamaan dalam struktur modern hari-hari ini, melainkan sekelompok orang yang berpaham dan beraliran Islam tertentu. Dalam sejarah Aceh aliran Islam yang dibubarkan oleh Sultanah Safiatuddin itu bernama “Wujudiyah”.
Aliran Wujudiyah telah ada dan perkembang di Aceh sejak zaman Sultan Iskandar Muda (1602-1636), sejak zaman itu hingga zaman Sultanah Safiatuddin (1641-1675) aliran Wujudiyah dianuti oleh banyak orang Aceh. Namun, lama kelamaan ketika memasuki zaman Sultan Iskandar Tsani Aliran tersebut mengajarkan amalan yang menurut Mufti Besar Kesultanan Aceh menyimpang dari Syariat.
Orang yang menjabat Mufti Kesultanan Aceh sejak zaman Sultan Iskandar Stani (1636-1641) hingga Sultanah Safiatuddin adalah Nuruddin al-Raniri, dengan pengamatan dan analisisnya terhadap ajaran Wujudiyah ia menyimpulkan bahwa ajaran yang diamalkan telah jauh melenceng dari Syariat. Oleh karena itu, Nuruddin al-Raniri sebagai Mufti Kesultanan mempunyai wewenang untuk memberikan nasehat kepada Sultan Iskandar Tsani.
Sultan memerintahkan kepada penganut Wujudiyah yang berpaham wahdah al-wujud untuk mengubah pendapat mereka dan bertobat kepada Allah atas kesesatan yang diperbuat, akan tetapi hal ini sia-sia.
Selepas mangkatnya Sultan Iskandar Tsani (1641) dimana tahta Kesultanan Aceh beralih pada para Ratu yang berasal dari keturunan Daeng Mansur (Dinasti Bugis), Kesultanan di tangan Raja wanita pertama Aceh itu justru tegas terhadap para pengamal ajaran Islam yang dianggap sesat dan membahayakan negara.
Kala itu, selain dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Tindakan yang dilakukan kelompok Wujudiyah pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin sudah mengarah pada usaha pemberontakan. Akhirnya, dengan pertimbangan keamanan negara, Sultanah Safiatuddin mengambil tindakan keras dengan melarang berkembangnya paham Wujudiyah di Kesultanan Aceh Darussalam.
Terbitnya titah Sultanah memnjadi sebab pelarangan besar-besaran Aliran/Ormas Wujudiyah diseluruh wilayah kekuasaan Aceh, kitab-kitab yang dijadikan rujukan aliran dibakar, para pengikutnya yang dianggap membangkang dipenjaran atau dihukum berat jika masih mengamalkan kesesatan dan brontak pada negara.
Para Ulama dan pengikut Wujudiyah yang jumlahnya banyak menyimpan dendam kusumat pada Sultanah Safiatuddin, mereka kemudian menyusun upaya penggulingan Sultanah dengan menggunakan isu haramnya pemimpin wanita dalam Islam.
Isu tersebut digunakan mereka untuk mempengaruhi masyarakat, sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh, akan tetapi karena pada waktu itu Nuruddin al-Raniri selaku Mufti dan orang yang dianggap paling alim di Aceh mengeluarkan fatwa bolehnya pemimpin perempuan, ketegangan politik dilingkungan masyarakakat bisa diredam.
Selepas wafatnya Nuruddin al-Raniri dan wafatnya Sultanah Safiatuddin (1675), kepemimpinan di Aceh tiga kali berturut-turut diprintah oleh Raja wanita dari Dinasti Bugis, yaitu Sultanah Nurul Alam (1675-1678), Sultanah Zaqiatuddin (1678-1688) dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).
Dendam kusumat Aliran Wujudiyah terhadap Sultanah Safiatuddin terus berlanjut dari masa ke masa, mereka tetap menggelorakan isu yang sama untuk menyingkirkan para Sultanah yang berasal dari Dinasti (Keturunan) Bugis.
Usaha orang-orang Wujudiyah akhirnya berhasil, mereka didukung oleh sebagian pengikut dan rakyat yang terprofokasi, pemberontakanpun kemudian terjadi dimana-mana sehingga melumpuhkan sendi-sendi kehidupan diwilayah Kesultanan Aceh.
Melihat kondisi negara yang makin kacau, akhirnya para pembesar termasuk didalamnya Mufti Kesultanan Aceh bertolak ke Mekah untuk menemui Syarif Mekah (Gubernur Hejaz/Wakil Khalifah) untuk meminta solusi atas kekacauan politik yang terjadi di Aceh.
Dari Mekah, para pembesar Aceh akhirnya sepakat untuk menurunkan Sultanah Kamalat Syah dari tahta disertai rekomendasai dan fatwa Mufti Besar Mekah tentang haramnya pemimpin wanita dalam Islam. Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pemerintahan, Syarif Mekah mengutus keturunannya Syarif Hasyim Jamal al-Din sebagai Sultan Aceh yang baru.
Mulai selepas itu, dari tahun 1699 Aceh tidak lagi diprintah oleh pemimpin dari Dinsati Bugis lagi. Ormas sesat yang dahulu dibubarkan oleh Sultanah Safiatuddin telah mampu membalaskan dendam kusumatnya walau baru terlaksana 58 tahun selepas pembubaran.
Baca Juga: Menyingkirkan Sultanah Aceh Bermodal Fatwa Mufti Besar Aceh
Ormas keagamaan yang dimaksud tentu bukan seperti ormas keagamaan dalam struktur modern hari-hari ini, melainkan sekelompok orang yang berpaham dan beraliran Islam tertentu. Dalam sejarah Aceh aliran Islam yang dibubarkan oleh Sultanah Safiatuddin itu bernama “Wujudiyah”.
Aliran Wujudiyah telah ada dan perkembang di Aceh sejak zaman Sultan Iskandar Muda (1602-1636), sejak zaman itu hingga zaman Sultanah Safiatuddin (1641-1675) aliran Wujudiyah dianuti oleh banyak orang Aceh. Namun, lama kelamaan ketika memasuki zaman Sultan Iskandar Tsani Aliran tersebut mengajarkan amalan yang menurut Mufti Besar Kesultanan Aceh menyimpang dari Syariat.
Orang yang menjabat Mufti Kesultanan Aceh sejak zaman Sultan Iskandar Stani (1636-1641) hingga Sultanah Safiatuddin adalah Nuruddin al-Raniri, dengan pengamatan dan analisisnya terhadap ajaran Wujudiyah ia menyimpulkan bahwa ajaran yang diamalkan telah jauh melenceng dari Syariat. Oleh karena itu, Nuruddin al-Raniri sebagai Mufti Kesultanan mempunyai wewenang untuk memberikan nasehat kepada Sultan Iskandar Tsani.
Sultan memerintahkan kepada penganut Wujudiyah yang berpaham wahdah al-wujud untuk mengubah pendapat mereka dan bertobat kepada Allah atas kesesatan yang diperbuat, akan tetapi hal ini sia-sia.
Selepas mangkatnya Sultan Iskandar Tsani (1641) dimana tahta Kesultanan Aceh beralih pada para Ratu yang berasal dari keturunan Daeng Mansur (Dinasti Bugis), Kesultanan di tangan Raja wanita pertama Aceh itu justru tegas terhadap para pengamal ajaran Islam yang dianggap sesat dan membahayakan negara.
Kala itu, selain dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Tindakan yang dilakukan kelompok Wujudiyah pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin sudah mengarah pada usaha pemberontakan. Akhirnya, dengan pertimbangan keamanan negara, Sultanah Safiatuddin mengambil tindakan keras dengan melarang berkembangnya paham Wujudiyah di Kesultanan Aceh Darussalam.
Terbitnya titah Sultanah memnjadi sebab pelarangan besar-besaran Aliran/Ormas Wujudiyah diseluruh wilayah kekuasaan Aceh, kitab-kitab yang dijadikan rujukan aliran dibakar, para pengikutnya yang dianggap membangkang dipenjaran atau dihukum berat jika masih mengamalkan kesesatan dan brontak pada negara.
Para Ulama dan pengikut Wujudiyah yang jumlahnya banyak menyimpan dendam kusumat pada Sultanah Safiatuddin, mereka kemudian menyusun upaya penggulingan Sultanah dengan menggunakan isu haramnya pemimpin wanita dalam Islam.
Isu tersebut digunakan mereka untuk mempengaruhi masyarakat, sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh, akan tetapi karena pada waktu itu Nuruddin al-Raniri selaku Mufti dan orang yang dianggap paling alim di Aceh mengeluarkan fatwa bolehnya pemimpin perempuan, ketegangan politik dilingkungan masyarakakat bisa diredam.
Selepas wafatnya Nuruddin al-Raniri dan wafatnya Sultanah Safiatuddin (1675), kepemimpinan di Aceh tiga kali berturut-turut diprintah oleh Raja wanita dari Dinasti Bugis, yaitu Sultanah Nurul Alam (1675-1678), Sultanah Zaqiatuddin (1678-1688) dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).
Dendam kusumat Aliran Wujudiyah terhadap Sultanah Safiatuddin terus berlanjut dari masa ke masa, mereka tetap menggelorakan isu yang sama untuk menyingkirkan para Sultanah yang berasal dari Dinasti (Keturunan) Bugis.
Usaha orang-orang Wujudiyah akhirnya berhasil, mereka didukung oleh sebagian pengikut dan rakyat yang terprofokasi, pemberontakanpun kemudian terjadi dimana-mana sehingga melumpuhkan sendi-sendi kehidupan diwilayah Kesultanan Aceh.
Melihat kondisi negara yang makin kacau, akhirnya para pembesar termasuk didalamnya Mufti Kesultanan Aceh bertolak ke Mekah untuk menemui Syarif Mekah (Gubernur Hejaz/Wakil Khalifah) untuk meminta solusi atas kekacauan politik yang terjadi di Aceh.
Dari Mekah, para pembesar Aceh akhirnya sepakat untuk menurunkan Sultanah Kamalat Syah dari tahta disertai rekomendasai dan fatwa Mufti Besar Mekah tentang haramnya pemimpin wanita dalam Islam. Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pemerintahan, Syarif Mekah mengutus keturunannya Syarif Hasyim Jamal al-Din sebagai Sultan Aceh yang baru.
Mulai selepas itu, dari tahun 1699 Aceh tidak lagi diprintah oleh pemimpin dari Dinsati Bugis lagi. Ormas sesat yang dahulu dibubarkan oleh Sultanah Safiatuddin telah mampu membalaskan dendam kusumatnya walau baru terlaksana 58 tahun selepas pembubaran.
Baca Juga: Menyingkirkan Sultanah Aceh Bermodal Fatwa Mufti Besar Aceh
Belum ada Komentar untuk "Pembubaran Ormas Sesat dan Jatuhnya Dinasti Bugis di Kesultanan Aceh"
Posting Komentar