Menyingkirkan Sultanah Aceh Bermodal Fatwa Mufti Besar Mekah

BUNGFEI.COM-Konflik kepemimpinan perempuan di Kesultanan Aceh Darussalam terlihat ketika pegangkatan sultanah pertama yang menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani tahun 1641 M. Konflik ini terus berlanjut sampai masa pemerintahan  perempuan ke empat Sultanah Kamalat Syah tahun 1699 M.

Meskipun telah ada persetujuan ulama dan mufti kesultanan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin, tetapi tidak semua mendukung, diantara yang tidak mendukung adalah kelompok Islam yang menamakan diri sebagai kelompok wujudiyah kelompok ini dizaman Sultanah Safiatuddin Syah telah dibubarkan di Aceh.

Kelompok Islam itulah yang kelak memprovokasi Masyarakat Aceh untuk menggulingkan kekuasaan Sultanah di Aceh. Dalam upaya menyingkirkan Sultanah Aceh itu kelompok Islam wujudiyah bermodal Fatwa haramnya pemimpin negara wanita dari Mufti Besar Mekah.

Usaha menyingkirkan pemimpin wanita di Kesultanan Aceh pada mulanya karena urusan politik dan sakit hati dari kelompok wujudiyah kepada Sultanah Safiatuddin Syah yang telah melarang ajaran itu berkembang biak di Aceh.

Ajaran Wujuddiyah sendiri sebenarnya telah ada dan berkembang di Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, sedangkan masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani kelompok ini tidak mendapat tempat yang istimewa, karena mufti kesultanan Nuruddin al-Raniri tidak sepaham dengan  ajaran wahdah al-wujud yang diamalkannya.

Nuruddin al-Raniri sebagai mufti kesultanan yang tidak sepaham dengan ajaran wahdah al-wujud mempunyai wewenang untuk memberikan nasehat  kepada Sultan Iskandar Tsani.

Sultan memerintahkan kepada penganut paham wahdah al-wujud untuk mengubah pendapat mereka dan bertobat kepada Allah, karena kesesatan mereka tetapi hal ini sia-sia. Melihat kenyataan demikian sultan melakukan tindakan tegas terhadap kelompok wujudiyah yang telah menyimpang dari ajaran Islam.

Tindakan yang dilakukan kelompok wujudiyah pada masa pemerintahan sultanah pertama mengarah usaha pemberontakan. Dengan pertimbangan keamanan negara Sultanah Safiatuddin Syah mengambil tindakan keras dengan melarang berkembangnya paham wujudiyah di Kesultanan Aceh Darussalam.

Segala buku atau kitab mengenai wujudiyah dinyatakan terlarang untuk dibaca   dan disimpan, dalam hal ini bentuk karangan Syekh Hamzah Fansuri ataupun karangan Syekh Samsudin Sumatrani. Demikian juga karangan-karangan ulama pengikut keduannya.

Akibat dari adanya pelarangan ini, maka terjadilah pemusnahan dan pembakaran umum terhadap kitab-kitab karangan kedua ulama tersebut.

Konflik kepemimpinan perempuan berakhir pada tahun 1699 M dengan turunnya Sultanah Kamalat Syah dari tahta Kesultanan. Akibat dari kuatnya tekanan kelompok oposisi untuk menjatuhkan pemerintahan ratu,  serta  adanya satu riwayat yang menyatakan bahwa mufti kesultanan yang baru akhirnya berpihak kepada golongan oposisi dan berangkat ke Mekkah untuk  meminta  fatwa kepada Mufti Besar Mekkah mengenai sah tidaknya perempuan menjadi Kepala Negara (ratu).

Mufti ini kemudian mengirim surat ke Aceh menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi sultanah. Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan sultanah, dan pemerintahan selanjutnya dipegang oleh  keturunan Arab, yaitu Sultan Badrullah Syarif Hasyim Jamal al-Din.

Sejarah Awal Mula Adanya Sultanah di Aceh

Pada tahun 1641 M setelah meninggalnya Sultan Iskandar Tsani yang tidak memiliki anak laki-laki sebagai pewaris   tahta.   Akibat    dari    tidak   adanya   pewaris   tahta   inilah   kemudian memunculkan krisis sosial-politik yang berakibat pada munculnya pihak-pihak yang saling berebut pengaruh untuk menduduki kekuasaan di Kesultanan Aceh Darussalam.

Untuk menghindari krisis semakin sulit maka ditunjuk Safiatuddin Syah sebagai ratu, namun sebelum pengangkatannya terjadi perselisihan  mengenai sah tidaknya perempuan menjadi pemimpin.

Kelompok yang menolak Kesultanan   Aceh   Darussalam   dipimpin   oleh   perempuan   adalah  kelompok wujudiyah yang didukung politisi tertentu yang memfatwakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.

Meskipun demikian kelompok yang mendukung pemerintahan perempuan menyatakan perempuan juga mempunyai hak yang  sama dengan laki-laki, sehingga perempuan boleh menjadi pemimpin.

Kelompok ini didukung oleh ulama besar Aceh seperti Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf Singkel, kedua ulama  ini memberikan  fatwa pemisahan  antara urusan agama dan negara, dengan demikian ulama ini memberikan toleransi bagi perempuan Aceh untuk menduduki tahta di Kesultanan Aceh Darussalam.

Kegagalan para orang kaya merebut kekuasaan tertinggi memberikan makna bahwa  masyarakat  dan para petinggi Aceh yang lain masih memegang teguh pandangan bahwa hanya keluarga kerajaan (Royal family) yang berhak menjadi penguasa.

Perempuan pertama yang menduduki kursi Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultanah Safiatuddin Syah 1641-1675 M, yang dilanjutkan oleh tiga penguasa berikutnya yaitu: Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin  Syah  1675-1678 M, Sultanah Zakiatuddin Syah 1678-1688 M dan Sultanah Kamalat Syah 1688-1699 M.

Masa Pemerintahan Para Sultanah di Aceh

Masa pemerintahan sultanah pertama perjalanan pro dan kontra  mengenai kepemimpinan perempuan sebagai awal lahirnya konflik dan  munculnya dua kelompok yakni pendukung ratu dan kelompok penentang kepemimpinan perempuan (oposisi).
Lukisan Sultanah Safiatuddin Syah yang dilukiskan oleh seorang pelukis Belanda yang pernah melihatnya.
Konflik yang terjadi masa Sultanah Safiatuddin Syah belum terlihat jelas, sebab sultanah mampu mengendalikan kelompok  oposisi  dengan  bantuan  mufti  kesultanan. 

Selain  itu,  sultanah  juga mengambil sikap tegas terhadap kelompok oposisi yang menentang pemerintahannya.

Masa pemerintahan perempuan kedua Sultanah Nurul Alam terjadi perubahan dalam pemerintahan dengan petunjuk oleh mufti kesultanan Abdurrauf Singkel.
Lukisan Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah yang dilukiskan oleh seorang pelukis Belanda yang pernah melihatnya.
Di antara perubahan itu mengenai penyempurnaan Qanum Meukata  Alam dan pembentukan Federasi Tiga Sagi sebagai gabungan dari beberapa mukim yang membentuk aliansi dengan mengorganisir diri  menjadi  Tiga Federasi 22 mukim,  25 mukim dan 26 mukim, yang masing-masing dipimpin  oleh Panglima Tiga Sagi yang berada di Aceh Rayek (Aceh Besar).

Kondisi internal yang semakin lemah akibat perebutan kekuasaan menjadikan konflik semakin memuncak, sebab para orang kaya, Panglima Sagi dan uleebalang memainkan peranan masing-masing sehingga sultanah hanya dijadikan simbol kekuasaan.

Akibat dari banyak wilayah yang independen menjadikan kekuasaan ratu dan mentri semakin berkurang dan hanya efektif di ibukota kesultanan. Situasi ini dimanfaatkan oleh kelompok oposisi dan berhasil membakar Istana Darud-Dunia, Masjid Baiturrahman dan Balai Mahkamah Rakyat yang mengakibatkan pemerintahan perempuan hampir lumpuh.

Pada saat ratu ketiga Sultanah Zaqiatuddin naik tahta  hanya  didukung oleh Panglima Tiga Sagi, mufti kesultanan dan sebagian orang kaya, sehingga kekuataan sultanah semakin berkurang.
lukisan Zaqiatuddin Inayat Syah yang dilukiskan oleh seorang pelukis Belanda yang pernah melihatnya.
Pada masa ini sering terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok oposisi termasuk wujudiyah yang memprovokasi masyarakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.

Perubahan-perubahan yang terjadi masa pemerintahan sultanah Nurul Alam dan kebebasan yang dimiliki oleh orang kaya, panglima sagi dan uleebalang menjadikan konflik ini semakin meningkat, sebab mereka mementingkan diri sendiri.

Pada akhirnya kondisi ini mempercepat berakhirnya pemerintahan perempuan dan adanya fatwa dari Mekkah yang menyatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.

Pada masa Sultanah Kamalat Syah, naik tahta, melalui usaha-usaha makar kaum wujudiyah yang tergabung dengan para oposisi yang menghendaki dihilangkanya Sultanah dalam sistem Kesultanan Aceh menuai kemenangan.
Lukisan Zakiatuddin Inayat/Kalamat Syah yang dilukiskan oleh seorang pelukis Belanda yang pernah melihatnya.
Sultanan Kamalat Syah dimakzulkan dari tahta Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1699 M. Penggantinya adalah Syarif Mekkah bernama Syarif Hasyim Jamal al-Din sebagai penguasa Aceh yang menandakan berdirinya Dinasti Arab di Aceh dan hilangnya dinasti-dinasti orang Aceh asli yang memerintah sebelumnya.

Baca Juga: Asal-Usul Munculnya Nama Aceh

Daftar Pustaka
[1]Hasjmy, A. 59 Tahun Aceh di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
[2]Huda, Nor. Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
[3]Ibrahim, Muhammad. Sejarah Propinsi daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978.
[4]Ibrahim, Teuku. Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik. Yogyakarta: Ceninnets, 2004.
[5]Supriyono. 2011.Konflik Tentang Kepemimpinan Perempuan Di Kesultanan Aceh Darussalam Tahun 1641-1699 M. Skripsi. Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam. UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta

Belum ada Komentar untuk "Menyingkirkan Sultanah Aceh Bermodal Fatwa Mufti Besar Mekah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel