Raja Jacob Ponto Siau Dibuang Ke Cirebon
Minggu, 01 Maret 2020
Tulis Komentar
Jacob Ponto yang digelari ‘I tuang su Sirebong’ (Tuan Raja di Cirebon) wafat dengan penuh derita, wafat mengambang di pemandian air panas ketika mengobati penyakit kulitnya yang sudah kronis. Jacob Ponto sejatinya Raja bermental baja dari Kerajaan Siau (Sulawesi Utara) yang diculik dan dibuang Belanda karena gigih menolak dimurtadkan dan mengibarkan bendera Belanda.
Raja Jacob Ponto adalah raja ke 14 dari Kerajaan Siau, dia merupakan seorang muslim yang taat, meskipun raja-raja pendahulunya beragama Protestan dan Katolik ia tetap mempertahankan agama yang dianutnya ketika memerintah Siau selama 39 tahun.
Eksistensi Kerajaan Siau sebagai kerajaan Katolik terus berlanjut hingga berpuluh-puluh tahun bahkan Pada saat Raja Siau Ketiga Winsulangi (1591-1639) mengikat perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina) yang berkedudukan di Manila. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan di Pulau Siau yang sudah dirintis sejak Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para paderi Spanyol, Portugis dan Italia.
Perlindungan Spanyol pada kerajan Siau, membuat kerajaan tersebut sulit ditaklukan, meskipun begitu pada Tahun 1677 Kerajaan Siau akhirnya dapat ditaklukan Belanda. Bersamaan dengan takluknya Siau, Belandapun akhirnya memaksa Raja Batahi untuk menyetujui perjanjian Lange Contract. Diantara isi perjanjian yang paling menohok adalah Siau harus beralih agama ke Kristen Protestan Belanda.
Mulai tahun 1677 dan seterusnya, Raja-Raja Siau terpaksa murtad dari agama Katolik mengikuti agama Protestan sesuai dengan perjanjian Lange Contract. Namun pada saat Siau dirajai oleh Raja ke 14 nya, sang Raja rupanya memilih Islam sebagai agamanya. Hal tersebut sebetulnya tidak dipermasalahkan bahkan didukung rakyatnya karena soal keimanan adalah soal hati, hal inilah yang dikemudian hari menyebabkan Belanda tidak bisa berbuat banyak. Jacob Ponto memerintah Siau dari tahun 1851-1889 Masehi.
Selama memerintah kerajaan Siau selama 39 Tahun, selain menolak beragama menuruti kehendak Belanda, Jacob Ponto juga dikenal sebagai Raja yang tidak mau menyengsarakan rakyatnya, ia menolak menaikan pajak perkepala meskipun Belanda memaksanya. Ia juga menolak mengibarkan Bendera Belanda di Istana, ia hanya mau mengibarkan bendera Merah Putih yang sejak dahulu dijadikan sebagai bendera Kerajaan Siau.
Pembangkangan demi pembangkangan yang dilakukan Jacob Ponto membuat Belanda geram, meskipun begitu Belanda tidak bisa berbuat banyak, karena Jacob Ponto dicintai rakyatnya. Oleh karena itu Belanda merencanakan taktik licik untuk menyingkirkan Jacob Ponto.
Pada Tahun 1889, dengan alasan berunding Wakil Residen Manado datang ke Siau dan meminta Jacob Ponto naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat di kapal, Jacob Ponto ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Cirebon.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Jacob Ponto mengajukan permohonan agar dipindahkan ke suatu daerah yang mempunyai sumber air panas, ia ingin menetap di daerah tersebut, hal ini dilakukannya guna mengobati penyakit kulitnya.
Belanda mengabulkan permintaan Jacob Ponto dan menempatkannya di Desa Sangkanurip yang memang memiliki sumber mata air panas. Di Desa itu Jacob Ponto diterlantarkan Belanda, ia dimiskinkan hidupnya, dan pada suatu hari ketika mandi di kolam air panas Sangkanurip Jacob Ponto wafat. Penduduk sekitar kemudian memakamkannya tidak jauh dari area itu. Desa Sangkanurip dahulu termasuk wilayah Keresidenan Cirebon, kini masuk wilayah administrasi Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Raja Jacob Ponto adalah raja ke 14 dari Kerajaan Siau, dia merupakan seorang muslim yang taat, meskipun raja-raja pendahulunya beragama Protestan dan Katolik ia tetap mempertahankan agama yang dianutnya ketika memerintah Siau selama 39 tahun.
Latar Belakang dibuangnya Raja Jacob Ponto Siau Ke Cirebon
Kerajaan Siau yang didirikan pada tahun 1510, pada mulanya adalah kerajaan yang menganut agama nenek moyang, akan tetapi pada Tahun 1549, Raja Siau ke II yang bernama Posumah memeluk agama Katolik akibat dari penginjilan yang dilakukan oleh orang-orang Portugis yang kala itu menancapkan pengaruhnya di Sulawesi. Sejak saat itu Kerajaan Siau berubah statusnya menjadi kerajan Katolik.Eksistensi Kerajaan Siau sebagai kerajaan Katolik terus berlanjut hingga berpuluh-puluh tahun bahkan Pada saat Raja Siau Ketiga Winsulangi (1591-1639) mengikat perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina) yang berkedudukan di Manila. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan di Pulau Siau yang sudah dirintis sejak Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para paderi Spanyol, Portugis dan Italia.
Perlindungan Spanyol pada kerajan Siau, membuat kerajaan tersebut sulit ditaklukan, meskipun begitu pada Tahun 1677 Kerajaan Siau akhirnya dapat ditaklukan Belanda. Bersamaan dengan takluknya Siau, Belandapun akhirnya memaksa Raja Batahi untuk menyetujui perjanjian Lange Contract. Diantara isi perjanjian yang paling menohok adalah Siau harus beralih agama ke Kristen Protestan Belanda.
Mulai tahun 1677 dan seterusnya, Raja-Raja Siau terpaksa murtad dari agama Katolik mengikuti agama Protestan sesuai dengan perjanjian Lange Contract. Namun pada saat Siau dirajai oleh Raja ke 14 nya, sang Raja rupanya memilih Islam sebagai agamanya. Hal tersebut sebetulnya tidak dipermasalahkan bahkan didukung rakyatnya karena soal keimanan adalah soal hati, hal inilah yang dikemudian hari menyebabkan Belanda tidak bisa berbuat banyak. Jacob Ponto memerintah Siau dari tahun 1851-1889 Masehi.
Selama memerintah kerajaan Siau selama 39 Tahun, selain menolak beragama menuruti kehendak Belanda, Jacob Ponto juga dikenal sebagai Raja yang tidak mau menyengsarakan rakyatnya, ia menolak menaikan pajak perkepala meskipun Belanda memaksanya. Ia juga menolak mengibarkan Bendera Belanda di Istana, ia hanya mau mengibarkan bendera Merah Putih yang sejak dahulu dijadikan sebagai bendera Kerajaan Siau.
Peta Siau-Sulawesi |
Pada Tahun 1889, dengan alasan berunding Wakil Residen Manado datang ke Siau dan meminta Jacob Ponto naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat di kapal, Jacob Ponto ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Cirebon.
Jacob Ponto Wafat
Selama ditawan di atas kapal, dan di kirim ke Cirebon, Jacob Ponto diperlakukan dengan buruk sehingga menyebabkan penderitaan yang tak terperihkan. Jacob Ponto sampai di Cirebon dalam kondisi terkena penyakit kulit, sehingga menyebabkannya sakit-sakitan.Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Jacob Ponto mengajukan permohonan agar dipindahkan ke suatu daerah yang mempunyai sumber air panas, ia ingin menetap di daerah tersebut, hal ini dilakukannya guna mengobati penyakit kulitnya.
Belanda mengabulkan permintaan Jacob Ponto dan menempatkannya di Desa Sangkanurip yang memang memiliki sumber mata air panas. Di Desa itu Jacob Ponto diterlantarkan Belanda, ia dimiskinkan hidupnya, dan pada suatu hari ketika mandi di kolam air panas Sangkanurip Jacob Ponto wafat. Penduduk sekitar kemudian memakamkannya tidak jauh dari area itu. Desa Sangkanurip dahulu termasuk wilayah Keresidenan Cirebon, kini masuk wilayah administrasi Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Belum ada Komentar untuk "Raja Jacob Ponto Siau Dibuang Ke Cirebon"
Posting Komentar