Imam Hanafi (Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit bin Zufi’at at-Tamimi)

Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah adalah Imam tertua dari 4 Imam Madhab Ahlu Sunnah Waljamaah, beliau bernama Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit bin Zufi’at at-Tamimi, Imam Hanafi lahir pada Tahun 80 Hijriyah (699 M) di Kota Kufah Iraq, beliau bukan berasal dari Arab melainkan seorang yang berkebangsaan Persia (Sekarang Iran).

Ayah Imam Hanafi (Tsabit bin Zufi’at) adalah sahabat Nabi Muhamad SAW yang mempunyai hubungan erat dengan keluarga Ali bin Abu Thalib yang juga merupakan Sahabat dan Keponakan Nabi Muhamad SAW. Dengan demikian Imam Hanafi adalah Imam Madhab yang masuk pada golongan Tabi’in, karena masih menjumpai sahabat Nabi, oleh karena itu sudah dipastikan juga bahwa guru-guru Imam Hanafi adalah sahabat-sahabt Nabi Muhamad SAW dan para Tabi’in.

Latar Belakang Ekonomi Imam Hanafi

Imam Hanafi terlahir dari keluarga saudagar yang berkecukupan, ayahnya Tsabit bin Zufi’at merupakan pedagang besar yang sukses sehingga sejak kecil Imam Hanafi tidak kekurangan materi, ayahnya selalu mencukupi kebutuhan ekonominya.

Berlatar belakang dari keluarga saudagar yang sukses, Imam Hanafi lahir dan tumbuh mewarisi kecerdasan ayahnya, ia juga pandai berbisnis sebagaimana ayahnya, sehingga dikemudian hari Imam Hanafi juga dikenal sebagai pedagang yang sukses pula.

Meskipun berasal dari keluarga kaya, sejak kecil Imam Hanafi dikenal sebagai pribadi yang sederhana tidak suka menampakan kekayaannya, sebaliknya beliau lebih suka dan menggebu-gebu dalam mencari ilmu. Beliau dikenal pandai membagi waktu, sehingga waktu untuk berbisnis beliau gunakan untuk berbisnis dan waktu untuk belajar beliau gunakan untuk belajar.

Kondisi Politik Zaman Imam Hanafi

Imam Hanafi hidup ketika dunia Islam diprintah oleh Dinasti Muawiyah dan sebagaimana diketahui naiknya Dinasti Muawiyah didahului oleh peristiwa perebutan kekuasaan dengan keluarga Ali Bin Abhu Thalib sehingga menyebabkan wafatnya Husain (Anak Ali) di Karabala.

Kedekatan keluarga Imam Hanafi dengan keluarga Ali bin Abu Thalib membentuk pandangan politik Imam Hanafi sebagai pendukung Ali dan keluarganya, dengan kata lain Imam Hanafi sejak muda menjadi oposisi bagi pemerintahan Dinasti Muawiyah. Imam Hanafi lahir dan besar ketika pemerintahan Dinasti Muawiyah dirajai oleh Abdul Hanafi bin Marwan yaitu Penguasa Dinasti Muawiyah terakhir.

Selain hidup pada zaman Dinasti Muawiyah, Imam Hanafi juga menyaksikan perubahan politik besar, sebab Dinasti Muawiyah ditumbangkan oleh Dinasti Abasiyah dengan berdarah-darah dan menggeser pusat pemerintahan Islam dari Damaskus ke Bagdad.

Imam Hanafi Menuntut Ilmu

Sejak kecil Imam Hanafi membantu ayahnya berdagang di toko milik ayahnya yang terletak di pasar Kufah, kesibukannya berdagang serta dorongan dari orang tuanya utuk tetap belajar membuatnya mondar-mandir mendatangi para Sahabat Nabi yang masih hidup serta para Tabi’in yang pandai agama juga mendatangi pengajian-pengajian dn pesantren yang ada di Kota Kufah untuk belajar.
Imam Hanafi belajar berbagai disiplin ilmu keislaman seperti ilmu Kalam, Ilmu Hadist, Fiqih dan Ilmu Alquran. Tidak hanya di Kufah, Imam Hanafi juga menuntut Ilmu ke Kota Bashrah.

Pengembaraan intelektual Imam Hanafi dilaksanakan bertahun-tahun dengan penuh kesadaran sehingga dikemudian hari membentuknya menjadi seorang ahli Ilmu al-Quran dan Ilmu Fiqih.
Guru Imam Hanafi jumlahnya banyak lebih dari 200 orang terdiri dari kalangan Sahabat dan Tabi’in. Guru Imam Hanafi yang paling konsisten mengajarkan kepada Imam Hanafi bertahun-tahun adalah Imam Ahamad bin Abu Sulaiman. Imam Hanafi belajar pada ulama tersebut selama 18 Tahun.

Selepas kembali dari Basrah, Imam Hanafi membuka pengajian untuk mengamalkan ilmunya, dan tentu saja sambil membantu berdagang di toko milik ayahnya. Tidak berselang lama selepas Imam Hanafi sukses mengajar dirumahnya serta juga banyak diburu oleh para santri penuntut ilmu, ayah Imam Hanafi wafat. Setelah kewafatan ayahnya Imam Hanafi memperoleh warisan toko.

Imam Hanafi Mengajar di Pesantren

Pengajian yang diadakan Imam Hanafi di rumahnya membuatnya terkenal, sehingga salah satu pesantren yang dahulu merupakan tempat belajarnya dikala muda menariknya untuk menjadi pengajar khusus dalam bidang Fiqih. Pesantren tersebut tidak terlampau jauh dengan tempat tinggal Imam Hanafi, masih berada di lingkungan Kota Kufah.

Setelah beberapa lama mengajar di Pesantren, Pengasuh Pesantren yang juga merupakan guru Imam Hanafi wafat, karena Imam Hanafi adalah orang yang dianggap menguasai agama, maka rapat keluarga dan pesantren memutuskan mengangkat Imam Hanafi menjadi pengasuh Pesantren. Waktu itu Imam Hanafi berumur 40 tahun.

Imam Hanafi Naik Haji

Disela-sela kesibukannya sebagai pedagang pasar dan pengasuh Pesantren, Imam Hanafi tidak lupa menjalankan rukun Islam yang ke lima, yaitu Haji. Beliaupun akhirnya melakukan perjalanan ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan Ibadah Haji.

Perjalanan Imam Hanafi ke Mekah dan Madinah pada akhirnya membuatnya terkenal, sebab sebelum dan setelah melaksanakan Ibadah Haji Imam Hanafi banyak berdiskusi dengan ulama-ulama yang ada di Mekah dan Madinah, dari situlah keilmuan Imam Hanafi terpancar, dikagumi banyak ulama di dua Kota Suci.

Setelah pulang ke Kufah, Imam Hanafi bantak diburu oleh para penuntut ilmu yang medapatkan kabar kealimannya dari ulama-ualama Mekah dan Madinah sehingga selepas itu banyak orang dari berbagai kota di Jazirah Arab menitipkan anak-anak mereka ke Imam hanafi untuk dididik. 

Pertentangan Imam Hanafi dan Ulama Pemerintah Dinasti Muawiyah

Pertentangan Imam Hanafi dengan beberapa ulama pemerintah didasari oleh sikap Imam Hanafi yang menganggap para Fuqoha yang berada dibawah kekuasan telah keluar dari jalur-jalur yang semestinya. Imam Hanafi menganggap fuqoha pemerintah tidak memberikan fatwa berdasarkan ilmu melainkan berdasarkan kemauan pemerintah Dinasti Muawiyah, hal tersebut itulah yang dikemudian hari memaksa Imam Hanafi untuk membantah dan mengkritisinya. 

Salah satu pertentangan yang menghebohkan adalah ketika Imam Hanafi mengkritik kesalahan Ibnu Abu Lailah, seorang ulama besar kepercayaan Khalifah. Namun kritikan tersebut diadukakn oleh Ibnu Abu Lailah sehingga pada akhirnya Imam Hanafi dicekal dan tidak boleh mengeluarkan fatwa dan kritik lagi terhadap keputusan Fuqoha pemerintah. Imam Hanafi juga dianggap menghina peradilan pemerintah.

Imam Hanafi Membantu Pemberontakan Imam Zaid 

Imam Zaid bin Ali Zainal Badin bin Husain adalah ahlu Bait Nabi yang pernah melakukan pemberontakan pada Dinasti Abasiyah karena kesewenang-wenangannya terhadap Ahlu Bait Nabi. Sebagai seorang pecinta Ahlu Bayt dan juga sebagai seorang yang berlatar belakang dari keluarga oposisi Imam Hanafi turut serta membantu pemberontakan tersebut, Imam Hanafi yang dikenal sebagai saudagar kaya ikut mendanai pemberontakan.

Kiprah Imam Hanafi dalam pemberontakan sebenarnya diketahui oleh pemerintah Dinasti Muawiyah, akan tetapi karena pengaruh Imam Hanafi begitu besar pemerintah tidak berani melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemerintah mencoba merangkul Imam Hanafi dengan cara menawarkan jabatan di pemerintahan akan tetapi Imam Hanafi menolaknya, yang diinginkan Imam Hanafi hanyalah keadilan bukan jabatan, begitulah alasannya.

Penolakakn Imam Hanafi pada ajakan pemerintah membuat tersinggung Khalifah sehingga Imam Hanafi akhirnya dipenjara. Di dalam penjara Imam Hanafi sering di siksa bahkan dicambuk hingga kepalanya bengkak-bengkak. Namun tidak lama selepas itu Imam Hanafi dilepaskan karena banyak murid dan pengikut Imam Hanafi marah, disamping itu selepas ditangkapnya Imam Hanafi gerakan anti Dinasti Muawiyah makin marak, karena dianggap berbuat dzalim pada Ulama besar.

Dinasti Muawiyah Runtuh

Dinasti Muawiyah yang dikenal sebagai dinasti yang paling anti Ahlu Bait Nabi akhirnya tumbang juga, ditumbangkan oleh kekuatan baru yang kemudian membentuk pemerintahan Islam baru yang dipusatkan di Kota Bagdad. Dinasti tersebut dikenal dengan nama Dinasti Abasiyah.

Kecintaan Imam Hanafi pada agama tidak berubah sedikitpun, meskipun ia dahulu merupakan Opisisi dari Dinasti Muawiyah dan banyak mengkritik kebijakannya. Bagi Imam Hanafi siapapun pemerintahanya selama tidak benar dalam memerintah akan menjadi sasaran kritiknya.

Pada mulanya, ketika Dinasti Abasiyah baru berdiri, Imam Hanafi mendukung pemerintah karena kebijakan pemerintah tampak adil dipandang mata, akan tetapi selepas beberapa waktu memerintah Dinasti Abasiyah tidak berbeda jauh dengan Muawiyah, yaitu berlaku keras bahkan cenderung sadis terhadap rakyat dan lawan politiknya, hal itulah yang membuat Imam Hanafi berang.

Pada saat Dinasti Abasiyah diperintah oleh Khalifah Al-Mansur, negara menangkapi para pemuka Ahlul Bait tanpa kesalahan yang jelas, sehingga timbul pemberontakan dari Bani Ali, Pemberontakan dipimpin oleh Muhamad A-Nafs Az-Zakiyah dan Ibrahim bin Abdullah, namun pemberontakan itu gagal, seluruh pemberontak dihukum mati. Sementara para tokoh-tokoh Ahlul Bait banyak yang dipenjara dan disiksa hingga tewas, salah satunya guru Imam Hanafi yaitu Abdullah bin Hasan.

Mendapati kekejaman Dinasti Abasiyah terhadap Ahulu Bait Nabi, Imam Hanafi berdiri pada posisi sebagai intelektual yang yang kontra terhadap kebijakan pemerintah, Imam Hanafi terus melakukan kritik dan nasehatnya, tidak bosan-bosan ia lontarkan kepada pemerintah, akan tetapi perlakuan Imam Hanafi yang demikian itu akhirnya membuat marah pemerintah sehingga akhirnya Imam Hanafi dipenjara.

Pada mulanya kritikan Imam Hanafi pada pemerintah Abasiyah ditanggapi biasa saja hal tersebut dikarenakan Imam Hanafi merupakan ulama besar yang dahulu ikut membantu berdirinya Dinasti Abasiyah, untuk memadamkan kritik Imam Hanafi, Khalifah menganugerahinya hadiah dan jabatan penting dalam pemerintahan, akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Hanafi, penolakan itulah yang dikemudian hari menyebabkan Imam Hanafi dipenjara.

Imam Hanafi Wafat

Imam Hanafi dipenjara karena dianggap melecehkan Khalifah, karena berani menolak hadiah dan permintaan Khalifah untuk menjadi Pejabat Pemerintahan (Hakim) di Kekhalifahan Abasiyah. Di Penjara Imam Hanfi disiksa dengan kejam tujuannya agar Imam Hanafi menerima jabatan dan berhenti mengkritik kebijakan pemerintah, tapi siksaan tersebut tak membuat nyali Imam Hanafi mengendor.

Siksaan yang diterima Imam Hanafi dalam penjara berangsur-angsur membuat kesehatan Imam Hanafi menurun, sementara disisi lain diluar Penjara para pengikut Imam Hanafi marah besar sehingga mereka mengobarkan pemberontakan pada Dinasti Abasiyah yang telah semena-mena memenjarakan Imam Hanafi.

Kondisi semacam itu membuat takut Khalifah, akan tetapi disisi lain bila melepaskan Imam Hanafi, Khalifah takut bila Imam Hanafi menceritakan perlakuan buruknya terhadap pengikutnya, sehingga akan menimbulkan pemberontakan. Oleh karena itu Khlaifah akhirnya menyuruh anak buahnya untuk meracuni Imam Hanafi ketika dibebaskan.

Pada saat Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara, kondisinya sangat kritis. Keluar dalam keadaan pingsan hingga tidak mampu berkata dengan baik. Sebelum kewafatannya Imam Hanafi berwasiat agar ia dimakamkan di tanah Khiabah. Imam Hanafi wafat pada Tahun 150 Hijriyah (768M).

Daftar Pustaka

Arifin Nachrowi. 2005. Lima Imam Agung. Surabaya; Penerbit Jawara

Belum ada Komentar untuk "Imam Hanafi (Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit bin Zufi’at at-Tamimi)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel