Hikayat Hang Tuah
Jumat, 15 November 2019
Tulis Komentar
Hikayat Hang Tuah adalah karya sastra Melayu abad 17 yang didalamnya mengisahkan tentang asal-usul terbentuknya Kesultanan Malaka hingga keruntuhannya dengan tokoh utamanya Hang Tuah. Meskipun karya sastra ini mengisahkan tentang Kesultanan yang pernah beridri di Semenanjung Melayu akan tetapi alur kisah didalamnya tidak dapat dikategorikan sebagai teks sejarah, karena alur yang dimainkan janggal dan bertentangan dengan fakta-fakta sejarah.
Kejanggalan tersebut dikarenakan dalam Hikayat Hang Tuah disebutkan bahwa Hang Tuah turut serta dalam membangun Istana dan Kerajaan Malaka selepas ia mengabdi di kerajaan Bintan. Hang Tuah Juga dikisahkan menyaksikan serbuan Portugis sehingga menyebabkan Malaka runtuh. Ini berarti Hang Tuah hidup dari zaman Raja Malaka Pertama Hingga Raja Malaka terakhir, padahal sebagaimana diketahui dari Tahun 1414 (Masa pendirian) hingga Tahun 1511 (masa keruntuhan) Malaka menurunkan 7 orang Raja.
Selain itu, tokoh-tokoh yang disebutkan dalam hikayat Hang Tuah juga tidak sesuai dengan fakta sejarah, contohnya dalam Hikayat Hang Tuah disebutkan Hang Tuah hidup sezaman dengan Patih Gajah Mada, padahal sebagaimana diketahui Patih Gajah Mada telah wafat bahkan ketika Hang Tuah dan Kerajaan Malaka belum lahir.
Hikayat Hang Tuah menurut penulis lebih cocok dinamakan fiksi sejarah, ketimbang dinyatakan sebagai teks sejarah, meskipun begitu didalam hikayat Hang Tuah juga terdapat kisah-kisah yang kemungkinan sebagai fakta sejarah meskipun pada prakteknya tercampur dengan dongeng yang sengaja dibubuhkan penulisnya.
Hikayat Hang Tuah adalah naskah Melayu Kuno yang diperkirakan ditulis pada abad 17. Menurut Iskandar (1995) Hikayat Hang Tuah selambat-lambatnya ditulis pada akhir abad ke tujuh belas’. Braginsky (1990:403) menyatakan bahwa Hikayat Hang Tuah ditulis di Johor, kerajaan pengganti Malaka, antara tahun 1688 dan 1710.
Kisah dilanjutkan dengan pernikahan keturunan raja keinderaan atau negeri surga, yang bernama Sang Sapurba, dengan putri bumi yang jelita yang merupakan putri seorang raja yang agung, Ratna Kemala Pelinggam, yang putranya menikahi gadis yang lahir dari muntahan sapi suci. Mereka dinobatkan menjadi raja dan ratu Bukit Seguntang dan anak-anak mereka ditakdirkan menjadi raja-raja di Kepulauan Melayu.
Setelah menobatkan dirinya sendiri sebagai seorang raja di Bukit Seguntang (Palembang), salah satu putra mereka menjadi Raja Bintan, sebuah pulau yang berada di timur Kepulauan Riau. Hang Mahmud dan Dang Merdu yang merupakan orang tua Hang Tuah tinggal di Sungai Duyung, yang berada di pulau Lingga, sebelah selatan kepulauan Riau.
Menjelang anak mereka lahir, ayahnya bermimpi tentang sinar bulan yang lembut menerangi anaknya itu. Didorong oleh pertanda ini, mereka pindah ke Bintan di mana terdapat kerajaan yang telah mapan, dan Mahmud menganggap dia akan lebih mudah mencari nakah di tempat ini. Dari tempat inilah, saat berusia sepuluh tahun, Hang Tuah dan keempat temannya yaitu Jebat, Kasturi, Lekir dan Lekiu, berlayar dengan sampan kecil menuju utara Singapura.
Dalam perjalanan mereka dikejar oleh bajak laut, tetapi dengan menggunakan strategi yang cerdik mereka bisa mengalahkan bajak laut tersebut.
Di kesempatan yang lain, Hang Tuah membunuh seorang pengacau dan kemudian bersama dengan para sahabatnya, mereka membunuh empat orang pengacau lainnya yang berniat mencelakai Bendahara. Kabar mengenai kedua perbuatan berani ini sampai ke telinga Sultan yang baru, yang meminta Bendahara untuk menjadikan mereka sebagai pesuruh di istananya.
Kelima sahabat itu tiba di saat kerajaan masih dalam kondisi berjuang untuk membangun istana dan kerajaan yang stabil, dan melakukan perdagangan dengan kerajaan lain untuk meningkatkan ekonomi kerajaan.
Sekali lagi, dengan ditemani oleh ke empat temannya, Tuah belajar seni bela diri dan ilmu sihir kepada Aria Putra, seorang guru terkenal. Tuah digambarkan sebagai seorang yang menguasai dua belas bahasa di usianya yang masih muda.
Karena raja sedang mencari tempat yang lebih strategis untuk kerajaan di Semenanjung tersebut, maka dia mengirimkan sebuah ekspedisi. Kemudian menemukan tempat yang baik di mana seekor kancil dapat menyerang dan mengalahkan seekor anjing pemburu idak jauh dari pohon ‘Malaka’. Istana dan benteng dibangun mengelilinginya. Karena lokasinya baik, maka Malaka dengan cepat berkembang menjadi kerajaan dan pelabuhan yang maju pesat.
Kisah melompat jauh ke depan ke saat Hang Tuah, yang sekarang menjadi seorang pemuda dan kesayangan Sultan, dikirim ke Majapahit, yang merupakan kerajaan terhebat di Asia Tenggara pada saat itu, sebagai wakil Sultan untuk menikahi putri Betara yang bernama Raden Galuh Cendera Kirana.
Keberanian, kedisiplinan dan juga kesantunannya dalam pergaulan kemudian diuji dan dia berhasil melewai semua ujian tersebut dengan sangat baik. Keitka dia kembali lagi ke Majapahit untuk mengawal Raja guna melakukan upacara pernikahan, tantangan yang dihadapinya lebih berat dan susah ditaklukkan. Dia dan para sahabatnya diserang oleh para pengacau dan mereka diperdaya dengan berbagai macam cara. Namun, mereka menang.
Bahkan ditengah ingar-bingar dan kegembiraan pesta, mereka berhasil melarikan diri ke pegunungan untuk belajar dengan Sang Persata Nala, yang sangat terkenal kemampuan seni bela diri dan sihirnya.
Selama perjalanan menuju Majapahit ini, Hang Tuah juga dapat mengalahkan seorang kesatria pengembara bernama Taming Sari, yang diutus oleh Patih Gajah Mada untuk membunuhnya, dan pada akhirnya Betara memberikan keris sakti Taming Sari kepada Hang Tuah.
Pada saat mereka kembali ke Malaka, para pembesar yang iri (karena Hang Tuah menjadi kesayangan raja) di kerajaan merencanakan sesuatu. Dikepalai oleh Patih Kerma Wijaya, menteri yang diasingkan dari Lasem di Jawa, para pembesar itu melaporkan kepada Raja bahwa mereka telah melihat Hang Tuah berbicara dengan selir kesayangan raja, dengan nuansa perselingkuhan yang merupakan indakan pengkhianatan di dalam istana dewaraja ini.
Terbakar amarah dan kekecewaan, dan tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap tuduhan tersebut, Raja memerintahkan Bendahara untuk ‘menyingkirkan Hang Tuah dari Malaka’, dengan kata lain membunuhnya. Namun, Bendahara adalah menteri yang bijaksana, yang dapat melihat rencana jahat tersebut, dan oleh karena itu dia meminta agar terdakwa diperbolehkan pergi menuju Inderapura untuk meminta perlindungan di sana.
Bendahara melakukan ini semua semata-mata untuk merencanakan beberapa cara untuk mengembalikan kepercayaan rajanya. Dengan menggunakan perpaduan antara tipu-muslihat dan ramuan cinta, Hang Tuah bisa membawa pulang Tun Teja yang canik untuk menemui Rajanya, dan segera mendapatkan kembali kepercayaan dan kemurahan hati raja.
Para pembesar yang iri kembali merencanakan rencana jahat lain yang juga bernuansa percintaan lagi dengan menyatakan bahwa mereka menyaksikan Hang Tuah memiliki hubungan gelap dengan wanita di Istana.
Hang Tuah dihukum mai lagi. Kali ini Bendahara menyembunyikannya di kebun buah-buahan miliknya, jauh dari pengawasan orang-orang Malaka. Hang Jebat ditunjuk menggantikan posisi Hang Tuah, dan tak lama kemudian dia juga menjadi kesayangan Raja. Sementara itu, Jebat memanfaatkan kesempatan ini idak hanya untuk meningkatkan martabatnya, tetapi juga membalas ‘kemaian’ Tuah.
Jebat merebut istana beserta dayang-dayangnya, yang beberapa di antaranya merupakan kesayangan Raja. Di dalam istana feodal Melayu, idak diragukan lagi ini adalah sebuah pengkhianatan besar.
Raja memutuskan untuk meninggalkan istana yang ternoda tersebut. Dia merasa malu dan tak dihormati, sehingga dia menyesal telah membunuh Hang Tuah tanpa menyelidiki terlebih dahulu tuduhan pengecut dari para pembesar yang iri.
Bendahara kembali menyelamatkan raja dengan mengungkapkan bahwa dia idak membunuh Tuah tetapi menyembunyikannya di hulu sungai Malaka. Maka, Hang Tuah dipanggil pulang untuk menyingkirkan Jebat dari Malaka, karena meskipun Jebat adalah teman dan sahabat terbaiknya tetapi sekarang di mata Hang Tuah dia adalah pengkhianat. Inilah klimaks yang tragis dan menyedihkan dari cerita ini.
Ketika bertarung sebagai saudara dan teman, mereka mengetahui kewajiban mereka kepada raja dan sahabat masing-masing, sehingga mereka berbicara, berdiskusi dan berdebat. Di dalam benaknya, Tuah tahu bahwa dia harus membunuh Jebat, tetapi Jebat juga tahu bahwa dia tidak akan terbunuh selama dia memiliki keris Taming Sari yang diberikan kepadanya setelah Hang Tuah dihukum mati. Oleh karena itu, untuk memperoleh keris itu, Hang Tuah harus menipunya yaitu dengan mencuri keris itu menggunakan cara yang kurang terhormat.
Dengan memiliki keris itu, dia dapat melukai Jebat dengan meninggalkannya berdarah-darah hingga mati, dan dengan darah terus mengalir keluar, Jebat membunuh ribuan orang untuk membalas dendam terhadap Sultan dan takdirnya.
Pada klimaks cerita ini orang Melayu harus memilih antara pencari keadilan yang seia dan tabah, dan pemberontak yang menginginkan keadilan. Di satu sisi, mereka berdua hanya mewakili dua sisi kepribadian dan karakter orang Melayu yang merupakan abdi yang seia dan pemberontak.
Setelah kematian Jebat yang tragis, Malaka menjadi stabil. Pedagang dan santri dari seluruh dunia menjejali pelabuhan ini. Berbagai isi dari istana lain diterima. Untuk membalas kunjungan diplomaik, maka Hang Tuah diangkat sebagai utusan ke istana Keling dan Cina.
Di bagian yang dapat dianggap sebagai bagian kedua, Hikayat ini memasuki tahap yang serius dan matang. Malaka dan Hang Tuah sudah bukan kerajaan dan pendekar yang muda lagi, tetapi keduanya sekarang terlihat berbeda, karena kerajaan tersebut telah menjadi kekuatan besar di wilayah itu dan ingin merinis hubungan dengan semua kerajaan besar di debuahnegeri di atas angin yaitu Roma (Konstaninopel), Mesir, dan Mekah.
Perang tidak terjadi lagi ketika hubungan diplomaik yang baru telah terbangun. Penduduk Malaka percaya dengan kemampuan mereka dan bangga dengan kerajaannya. Mereka percaya pada diri mereka sendiri dan kesuksesan mereka dalam perdagangan dan pemerintahan.
Dalam banyak penjelajahannya, Hang Tuah dan para wakilnya dengan bangga membawa resep dan makanan lezat mereka untuk dihidangkan kepada para tamu di berbagai negeri yang jauh hingga ke Mesir.
Dalam peran barunya, Hang Tuah memimpin misi menuju Majapahit, Keling, Cina, Sri Lanka, Brunei, Aceh, Mesir dan Roma untuk berdagang, tugasnya adalah untuk membangun hubungan antara Malaka dengan semua kerajaan tersebut. Dalam beberapa kesempatan, dia atau wakil Sultan lainnya, membeli mutiara dan gajah untuk menggambarkan kalau kerajaan mereka makmur dan akhirnya untuk kebutuhan, mereka membeli senjata dari Roma sebab Malaka sedang terancam diserang oleh bangsa Portugis.
Penjelajahannya adalah penjelajahan yang panjang, sebuah pencarian untuk mengetahui arti dan pentingnya Malaka di dunia. Tuah mendapati dirinya menjadi utusan yang hebat dan kerajaannya juga mendapatkan pengakuan yang baru.
Perjalanan yang awalnya untuk membeli senjata tersebut, juga menjadi sebuah perjalanan spiritual karena dia dan sahabatnya mengunjungi tempat suci umat Muslim dan tempat suci di Jedah, Mekah dan Madinah. Ini adalah bagian yang lebih spiritual dan tenang dalam cerita ini, setelah menceritakan perang yang sangat dahsyat untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh.
Ketika dia kembali ke Malaka, ancaman Portugis akhirnya menjadi kenyataan dengan terjadinya penyerbuan. Hang Tuah sekarang sudah cukup tua dan sakit-sakitan, tetapi dia masih dapat membela Malaka untuk terakhir kalinya dan mengalahkan orang asing yang tamak.
Tak lama sesudah itu, Raja menyerahkan takhtanya kepada putri kesayangannya, dan mencurahkan dirinya pada kehidupan yang lebih religius dan tenang sebagai seorang darwis. Hang Tuah juga mengikut jejaknya. Ketika bangsa Portugis menyerang untuk kali kedua, Hang Tuah sudah tidak berada lagi di Malaka untuk membelanya. Malaka runtuh dan keluarga raja diasingkan ke Johor, kemudian ke Kampar
Kejanggalan tersebut dikarenakan dalam Hikayat Hang Tuah disebutkan bahwa Hang Tuah turut serta dalam membangun Istana dan Kerajaan Malaka selepas ia mengabdi di kerajaan Bintan. Hang Tuah Juga dikisahkan menyaksikan serbuan Portugis sehingga menyebabkan Malaka runtuh. Ini berarti Hang Tuah hidup dari zaman Raja Malaka Pertama Hingga Raja Malaka terakhir, padahal sebagaimana diketahui dari Tahun 1414 (Masa pendirian) hingga Tahun 1511 (masa keruntuhan) Malaka menurunkan 7 orang Raja.
Selain itu, tokoh-tokoh yang disebutkan dalam hikayat Hang Tuah juga tidak sesuai dengan fakta sejarah, contohnya dalam Hikayat Hang Tuah disebutkan Hang Tuah hidup sezaman dengan Patih Gajah Mada, padahal sebagaimana diketahui Patih Gajah Mada telah wafat bahkan ketika Hang Tuah dan Kerajaan Malaka belum lahir.
Hikayat Hang Tuah menurut penulis lebih cocok dinamakan fiksi sejarah, ketimbang dinyatakan sebagai teks sejarah, meskipun begitu didalam hikayat Hang Tuah juga terdapat kisah-kisah yang kemungkinan sebagai fakta sejarah meskipun pada prakteknya tercampur dengan dongeng yang sengaja dibubuhkan penulisnya.
Hikayat Hang Tuah adalah naskah Melayu Kuno yang diperkirakan ditulis pada abad 17. Menurut Iskandar (1995) Hikayat Hang Tuah selambat-lambatnya ditulis pada akhir abad ke tujuh belas’. Braginsky (1990:403) menyatakan bahwa Hikayat Hang Tuah ditulis di Johor, kerajaan pengganti Malaka, antara tahun 1688 dan 1710.
Ringkasan Hikayat Hang Tuah
Pada bagian awal Hikayat Hang Tuah dibahas mengenai asal usul dinasti kerajaan Palembang hingga ke raja-raja langit di Bukit Seguntang yang merupakan asal silsilah para raja Melayu.Kisah dilanjutkan dengan pernikahan keturunan raja keinderaan atau negeri surga, yang bernama Sang Sapurba, dengan putri bumi yang jelita yang merupakan putri seorang raja yang agung, Ratna Kemala Pelinggam, yang putranya menikahi gadis yang lahir dari muntahan sapi suci. Mereka dinobatkan menjadi raja dan ratu Bukit Seguntang dan anak-anak mereka ditakdirkan menjadi raja-raja di Kepulauan Melayu.
Setelah menobatkan dirinya sendiri sebagai seorang raja di Bukit Seguntang (Palembang), salah satu putra mereka menjadi Raja Bintan, sebuah pulau yang berada di timur Kepulauan Riau. Hang Mahmud dan Dang Merdu yang merupakan orang tua Hang Tuah tinggal di Sungai Duyung, yang berada di pulau Lingga, sebelah selatan kepulauan Riau.
Menjelang anak mereka lahir, ayahnya bermimpi tentang sinar bulan yang lembut menerangi anaknya itu. Didorong oleh pertanda ini, mereka pindah ke Bintan di mana terdapat kerajaan yang telah mapan, dan Mahmud menganggap dia akan lebih mudah mencari nakah di tempat ini. Dari tempat inilah, saat berusia sepuluh tahun, Hang Tuah dan keempat temannya yaitu Jebat, Kasturi, Lekir dan Lekiu, berlayar dengan sampan kecil menuju utara Singapura.
Dalam perjalanan mereka dikejar oleh bajak laut, tetapi dengan menggunakan strategi yang cerdik mereka bisa mengalahkan bajak laut tersebut.
Di kesempatan yang lain, Hang Tuah membunuh seorang pengacau dan kemudian bersama dengan para sahabatnya, mereka membunuh empat orang pengacau lainnya yang berniat mencelakai Bendahara. Kabar mengenai kedua perbuatan berani ini sampai ke telinga Sultan yang baru, yang meminta Bendahara untuk menjadikan mereka sebagai pesuruh di istananya.
Kelima sahabat itu tiba di saat kerajaan masih dalam kondisi berjuang untuk membangun istana dan kerajaan yang stabil, dan melakukan perdagangan dengan kerajaan lain untuk meningkatkan ekonomi kerajaan.
Sekali lagi, dengan ditemani oleh ke empat temannya, Tuah belajar seni bela diri dan ilmu sihir kepada Aria Putra, seorang guru terkenal. Tuah digambarkan sebagai seorang yang menguasai dua belas bahasa di usianya yang masih muda.
Karena raja sedang mencari tempat yang lebih strategis untuk kerajaan di Semenanjung tersebut, maka dia mengirimkan sebuah ekspedisi. Kemudian menemukan tempat yang baik di mana seekor kancil dapat menyerang dan mengalahkan seekor anjing pemburu idak jauh dari pohon ‘Malaka’. Istana dan benteng dibangun mengelilinginya. Karena lokasinya baik, maka Malaka dengan cepat berkembang menjadi kerajaan dan pelabuhan yang maju pesat.
Kisah melompat jauh ke depan ke saat Hang Tuah, yang sekarang menjadi seorang pemuda dan kesayangan Sultan, dikirim ke Majapahit, yang merupakan kerajaan terhebat di Asia Tenggara pada saat itu, sebagai wakil Sultan untuk menikahi putri Betara yang bernama Raden Galuh Cendera Kirana.
Keberanian, kedisiplinan dan juga kesantunannya dalam pergaulan kemudian diuji dan dia berhasil melewai semua ujian tersebut dengan sangat baik. Keitka dia kembali lagi ke Majapahit untuk mengawal Raja guna melakukan upacara pernikahan, tantangan yang dihadapinya lebih berat dan susah ditaklukkan. Dia dan para sahabatnya diserang oleh para pengacau dan mereka diperdaya dengan berbagai macam cara. Namun, mereka menang.
Bahkan ditengah ingar-bingar dan kegembiraan pesta, mereka berhasil melarikan diri ke pegunungan untuk belajar dengan Sang Persata Nala, yang sangat terkenal kemampuan seni bela diri dan sihirnya.
Selama perjalanan menuju Majapahit ini, Hang Tuah juga dapat mengalahkan seorang kesatria pengembara bernama Taming Sari, yang diutus oleh Patih Gajah Mada untuk membunuhnya, dan pada akhirnya Betara memberikan keris sakti Taming Sari kepada Hang Tuah.
Pada saat mereka kembali ke Malaka, para pembesar yang iri (karena Hang Tuah menjadi kesayangan raja) di kerajaan merencanakan sesuatu. Dikepalai oleh Patih Kerma Wijaya, menteri yang diasingkan dari Lasem di Jawa, para pembesar itu melaporkan kepada Raja bahwa mereka telah melihat Hang Tuah berbicara dengan selir kesayangan raja, dengan nuansa perselingkuhan yang merupakan indakan pengkhianatan di dalam istana dewaraja ini.
Terbakar amarah dan kekecewaan, dan tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap tuduhan tersebut, Raja memerintahkan Bendahara untuk ‘menyingkirkan Hang Tuah dari Malaka’, dengan kata lain membunuhnya. Namun, Bendahara adalah menteri yang bijaksana, yang dapat melihat rencana jahat tersebut, dan oleh karena itu dia meminta agar terdakwa diperbolehkan pergi menuju Inderapura untuk meminta perlindungan di sana.
Bendahara melakukan ini semua semata-mata untuk merencanakan beberapa cara untuk mengembalikan kepercayaan rajanya. Dengan menggunakan perpaduan antara tipu-muslihat dan ramuan cinta, Hang Tuah bisa membawa pulang Tun Teja yang canik untuk menemui Rajanya, dan segera mendapatkan kembali kepercayaan dan kemurahan hati raja.
Para pembesar yang iri kembali merencanakan rencana jahat lain yang juga bernuansa percintaan lagi dengan menyatakan bahwa mereka menyaksikan Hang Tuah memiliki hubungan gelap dengan wanita di Istana.
Hang Tuah dihukum mai lagi. Kali ini Bendahara menyembunyikannya di kebun buah-buahan miliknya, jauh dari pengawasan orang-orang Malaka. Hang Jebat ditunjuk menggantikan posisi Hang Tuah, dan tak lama kemudian dia juga menjadi kesayangan Raja. Sementara itu, Jebat memanfaatkan kesempatan ini idak hanya untuk meningkatkan martabatnya, tetapi juga membalas ‘kemaian’ Tuah.
Jebat merebut istana beserta dayang-dayangnya, yang beberapa di antaranya merupakan kesayangan Raja. Di dalam istana feodal Melayu, idak diragukan lagi ini adalah sebuah pengkhianatan besar.
Raja memutuskan untuk meninggalkan istana yang ternoda tersebut. Dia merasa malu dan tak dihormati, sehingga dia menyesal telah membunuh Hang Tuah tanpa menyelidiki terlebih dahulu tuduhan pengecut dari para pembesar yang iri.
Bendahara kembali menyelamatkan raja dengan mengungkapkan bahwa dia idak membunuh Tuah tetapi menyembunyikannya di hulu sungai Malaka. Maka, Hang Tuah dipanggil pulang untuk menyingkirkan Jebat dari Malaka, karena meskipun Jebat adalah teman dan sahabat terbaiknya tetapi sekarang di mata Hang Tuah dia adalah pengkhianat. Inilah klimaks yang tragis dan menyedihkan dari cerita ini.
Ketika bertarung sebagai saudara dan teman, mereka mengetahui kewajiban mereka kepada raja dan sahabat masing-masing, sehingga mereka berbicara, berdiskusi dan berdebat. Di dalam benaknya, Tuah tahu bahwa dia harus membunuh Jebat, tetapi Jebat juga tahu bahwa dia tidak akan terbunuh selama dia memiliki keris Taming Sari yang diberikan kepadanya setelah Hang Tuah dihukum mati. Oleh karena itu, untuk memperoleh keris itu, Hang Tuah harus menipunya yaitu dengan mencuri keris itu menggunakan cara yang kurang terhormat.
Dengan memiliki keris itu, dia dapat melukai Jebat dengan meninggalkannya berdarah-darah hingga mati, dan dengan darah terus mengalir keluar, Jebat membunuh ribuan orang untuk membalas dendam terhadap Sultan dan takdirnya.
Pada klimaks cerita ini orang Melayu harus memilih antara pencari keadilan yang seia dan tabah, dan pemberontak yang menginginkan keadilan. Di satu sisi, mereka berdua hanya mewakili dua sisi kepribadian dan karakter orang Melayu yang merupakan abdi yang seia dan pemberontak.
Setelah kematian Jebat yang tragis, Malaka menjadi stabil. Pedagang dan santri dari seluruh dunia menjejali pelabuhan ini. Berbagai isi dari istana lain diterima. Untuk membalas kunjungan diplomaik, maka Hang Tuah diangkat sebagai utusan ke istana Keling dan Cina.
Di bagian yang dapat dianggap sebagai bagian kedua, Hikayat ini memasuki tahap yang serius dan matang. Malaka dan Hang Tuah sudah bukan kerajaan dan pendekar yang muda lagi, tetapi keduanya sekarang terlihat berbeda, karena kerajaan tersebut telah menjadi kekuatan besar di wilayah itu dan ingin merinis hubungan dengan semua kerajaan besar di debuahnegeri di atas angin yaitu Roma (Konstaninopel), Mesir, dan Mekah.
Perang tidak terjadi lagi ketika hubungan diplomaik yang baru telah terbangun. Penduduk Malaka percaya dengan kemampuan mereka dan bangga dengan kerajaannya. Mereka percaya pada diri mereka sendiri dan kesuksesan mereka dalam perdagangan dan pemerintahan.
Dalam banyak penjelajahannya, Hang Tuah dan para wakilnya dengan bangga membawa resep dan makanan lezat mereka untuk dihidangkan kepada para tamu di berbagai negeri yang jauh hingga ke Mesir.
Dalam peran barunya, Hang Tuah memimpin misi menuju Majapahit, Keling, Cina, Sri Lanka, Brunei, Aceh, Mesir dan Roma untuk berdagang, tugasnya adalah untuk membangun hubungan antara Malaka dengan semua kerajaan tersebut. Dalam beberapa kesempatan, dia atau wakil Sultan lainnya, membeli mutiara dan gajah untuk menggambarkan kalau kerajaan mereka makmur dan akhirnya untuk kebutuhan, mereka membeli senjata dari Roma sebab Malaka sedang terancam diserang oleh bangsa Portugis.
Penjelajahannya adalah penjelajahan yang panjang, sebuah pencarian untuk mengetahui arti dan pentingnya Malaka di dunia. Tuah mendapati dirinya menjadi utusan yang hebat dan kerajaannya juga mendapatkan pengakuan yang baru.
Perjalanan yang awalnya untuk membeli senjata tersebut, juga menjadi sebuah perjalanan spiritual karena dia dan sahabatnya mengunjungi tempat suci umat Muslim dan tempat suci di Jedah, Mekah dan Madinah. Ini adalah bagian yang lebih spiritual dan tenang dalam cerita ini, setelah menceritakan perang yang sangat dahsyat untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh.
Ketika dia kembali ke Malaka, ancaman Portugis akhirnya menjadi kenyataan dengan terjadinya penyerbuan. Hang Tuah sekarang sudah cukup tua dan sakit-sakitan, tetapi dia masih dapat membela Malaka untuk terakhir kalinya dan mengalahkan orang asing yang tamak.
Tak lama sesudah itu, Raja menyerahkan takhtanya kepada putri kesayangannya, dan mencurahkan dirinya pada kehidupan yang lebih religius dan tenang sebagai seorang darwis. Hang Tuah juga mengikut jejaknya. Ketika bangsa Portugis menyerang untuk kali kedua, Hang Tuah sudah tidak berada lagi di Malaka untuk membelanya. Malaka runtuh dan keluarga raja diasingkan ke Johor, kemudian ke Kampar
Belum ada Komentar untuk "Hikayat Hang Tuah"
Posting Komentar