Sejarah Kerajaan Gowa Tallo
Sabtu, 28 September 2019
Tulis Komentar
Kerajaan Gowa Tallo adalah salah satu Kerajaan besar di wilayah Timur Indonesia yang pernah berdiri pada abad 13-19 Masehi. Kerajaan ini biasanya di identikan dengan kerajaannya Sultan Hasanudin, yaitu salah satu Sultan Gowa yang dijuluki Belanda dengan sebutan “Ayam Jantan Dari Timur”. Dijuluki demikian karena memang Sultan Hasanudin terbilang Jago dalam menghadapi Belanda.
Sebagai sebuah kerajaan, tentu Gowa juga memiliki kisah tentang bagaimana kerajaan tersebut dibentuk, berkembang, maju dan lain sebagainya.
Selain itu, masih dalam buku yang sama ada juga yang berpendapat bahwa kata Gowa berasal dari kata “gowarang” (bahasa makassar) artinya lembah atau jurang yang terjal diantara bukit-bukit menjadi tempat lalu angin. Kalau tempat yang seperti itu diberi dinding maka disebut “gowari” karena sudah menyerupai ruangan atau bilik yang dapat didiami.
Baik Gowari maupun Gowarang secara makna bahasa sebenarnya mirip dengan bahasa Indonesia “Gowa/Goa” yang mempunyai maksud liang besar pada sebuah dinding, apakah itu dinding bukit, gunung dan lain sebagainya.
Penamaan Gowa sebagai sebuah kerajaan di Sulawesi agaknya sesuai dengan keadaan geografi Sulawesi, terutama bagian selatan Jazirah Barat Daya Pulau Sulawesi, banyak sekali liang-liang atau gua-gua.
Liang-liang purbakala itu terkenal memang banyak ditemukan di daerah Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkajene Kepulauan sampai ke Kabupaten Barru. Sedang daerah-daerah sekitar Je’neponto dan Takalar sampai ke Kabupaten Gowa sekarang banyak sekali terdapat bukit-bukit yang bertebaran. Maka kata gowa yang berasal dari kata gua, gowari atau gowarang memang masuk akal dan sesuai dengan kondisi geografis wilayah Kerajaan Goawa.
Masih dalam sumber yang sama disebutkan bahawa Bayo ini bersaudara dengan “La Kipadada”, seorang turunan Tumanurung di Tana Toraja yang sedang melakukan pengembaraan di daerah Sulawesi Selatan. Ada pula yang menyatakan bahwa La Kipadada itulah sendiri yang sebenarnya bergelar Karaeng Bayo.
Sedang menurut cerita rakyat atau sejarah Tana Toraja, La Kipadada itu adalah merupakan seorang cucu dari Tumanurung Tamboro Langi Kandora (Toraja) yang menciptakan dan menyebarkan Aluk Sanda Saratu dari Tongkonan Kandora yang kemudian kawin dengan Sanda Bilik, salah seorang putri Puang dari Tongkonan Ullin Sapan Deata.
Perkawinan ini melahirkan delapan anak, empat orang putra dan empat orang putri. Salah seorang putranya yang bernama Puang Sanda Boro yang kemudian kawin dengan Datui Pattung (Ao’gading) dan melahirkan dua orang anak, Puang Matte Malolo (perempuan) dan Puang La Kipadada (laki-laki) adalah seorang putra yang berkeras hati terhadap sesuatu masalah dan yang selalu menjadi pertanyaan baginya adalah kematian saudara perempuannya secara tiba-tiba dalam usia muda, sehingga ia memutuskan untuk pergi mengembara guna mencari kehidupan yang abadi. Ia dibekali orang tuanya sebilah pedang pusaka yang bernama Dosso. Akhirnya dia tiba di negeri batu yang dikenalnya dengan nama Gowa dan kemudian memutuskan untuk menetap di sana.
Manurung ri Tamalate dan Karaeng Bayo merupakan cikal bakal raja-raja Gowa selama 657 tahun (1300-1957). Menurut suatu cerita dari rakyat Gowa, sebelum abad ke X1V pernah berdiri kerajaan Gowa purba selama empat generasi. Namun sesudah periode pemerintahan Karaeng Katangka, Gowa memasuki masa yang gelap dalam lembaran sejarahnya.
Dalam Lontara Gowa menerangkan bahwa sebelum Tumanurung memerintah kerajaan Gowa, ada empat raja berturut-turut pernah memegang kendali pemerintahan Gowa. Mereka adalah (1) Batara Guru, (2) Tatali (saudara Batara Guru yang terbunuh di Tala), (3) Ratu Sapu atau Marancai, dan (4) Karaeng Katangka. Pada masa itu Gowa terdiri atas sembilan buah negeri masingmasing dikepalai oleh seorang raja kecil (Kasuwiang Salapanga/ Bate Salapanga), negeri-negeri itu adalah:
Dalam mengendalikan roda pemerintahan sehari-hari Raja Gowa dibantu oleh “Kasuwiang Salapanga” (kasuwiang=pengabdi, mengabdi; salapang= sembilan) artinya pengabdi yang sembilan orang.
Kasuwiang Salapanga merupakan gabungan penguasa atau raja-raja kecil di daerah-daerah yang tergabung di dalam federasi Gowa tersebut. Kemudian dewan yang terdiri dari sembilan orang ini diubah namanya menjadi “bate salapanga” (bate=bendera, panji; salapang= sembilan) artinya sembilan orang pembawa bendera atau sembilan orang pemegang panji.
Bate salapanga ini bertugas menetapkan aturan-aturan penyelenggaran kekuasaan pemerintahan yang dijalankan oleh sombaya (raja) atau penasehat raja. Lembaga ini hanyalah simbol belaka, sebab anggotanya tunduk dan patuh pada wibawa sombaya.
Sabda sombaya merupakan Undang-Undang yang harus ditaati. Untuk menghindari perselisihan yang bakal timbul diantara Gallarang (penguasa negeri), maka mereka sepakat untuk mengangkat seorang Paccalaya yang berfungsi sebagai ketua dewan diantara kesembilan kerajaan kecil atau hakim.
Dahulu kerajaan Gowa dan Tallo asal mulanya merupakan satu kerajaan jua, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa yang ke VI yang terkenal dengan nama Baginda Karaeng Tunatangka’lopi.
Baginda mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni yang sulung bernama Batara Gowa dan yang bungsu bernama Karaeng Lo E ri Sero. Karena khawatir jika terjadi perselisihan atau peperangan antara kedua putranya, maka Karaeng Tunatangka’lopi membagi Gallarang Gallarang (penguasa negeri) dan rakyat atau penduduk Kerajaan Gowa menjadi dua bagian. Pembagian itu adalah sebagai berikut:
Yang ditetapkan menjadi bagian karaeng Lo E ri Sero, yaitu:
Pada waktu berlayar, Karaeng Tunatangka’lopi tertimpa musibah. Perahu yang baginda tumpangi tenggelam dan baginda wafat ditelungkupi perahu baginda. Itulah sebabnya baginda diberi gelar Karaeng Tunatatangka’lopi artinya raja yang ditelungkupi perahu (bahasa makassar tunatangka’ seharusnya tunarangka= orang yang ditelungkupi, lopi= perahu).
Setelah Karaeng Tunatangka’lopi wafat, baginda mewariskan tahta kerajaan Gowa kepada putra baginda yang sulung, yakni Batara Gowa sebagai raja gowa yang ke VII. Kemudian Batara Gowa berselisih dengan adiknya, yakni karaeng Lo E ri Sero. Dan Karaeng Lo E ri Sero terpaksa harus meninggalkan Gowa, beliau pergi ke Jawa dan kekuasaannya didaulat oleh Batara Gowa.
Setelah kembali dari Jawa, karaeng Lo E ri Sero tinggal disebuah tempat yang disebut Passi’nang. Di tempat itulah karaeng Lo E ri Sero bersedih hati mengenang nasib yang baginda alami. Itulah sebabnya, maka tempat karaeng Lo E ri Sero bersedih hati kemudian disebut passi’nang artinya yang bersedih atau tempat bersedih hati.
Tidak lama berselang datanglah Karaeng Lo E Ri Bentang dan Karaeng Lo E Ri Bira, kedua karaeng ini bersepakat untuk mengangkat karaeng Lo E ri Sero menjadi raja mereka. Lalu karaeng Lo E ri Bentang dan karaeng Lo E ri Bira menitahkan rakyatnya untuk membuka hutan di dekat sungai Bira.
Hutan itu disebut hutan “Talloang”. Di tempat itulah rakyat kedua karaeng tadi membangun istana untuk karaeng Lo E ri Sero. Sesuai dengan nama hutan itu, yakni talloang maka kerajaan sekitar istana itu kemudian berdirilah sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Tallo
Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar bila dilihat asalusul keturunannya. Dalam perkembangan selanjutnya yaitu pada masa Raja Gowa yang ke IX Karaeng Tumapa’risi Kalonna mereka bersatu, dalam bahasa Makassar sering dikatakan “ruwa karaeng se’re ata” artinya dua raja satu hamba. Bahkan mereka membuat perjanjian yang diadakan di sebuah baruga (balai) di kerajaan Tallo.
Perjanjian itu berbunyi “Ia iannamo tau ampassi-Ewai gowa-tallo iamo nacalla rewata” artinya “siapa-siapa saja yang mempertentangkan atau mengadu domba kerajaan Gowa dan Tallo, maka orang atau orang-orang itu akan dikutuk oleh Sang Dewata”.
Perjanjian itu harus dijunjung dan ditaati oleh semua pembesar dan seluruh rakyat. Raja Tallo menjadi pasangan dalam pemerintahan yang mengurus pelaksanaan dalam pemerintahan atau “mangkubumi” (Pabbicara Butta), sedang Raja Gowa sebagai pemikir. Akan tetapi Kerajaan Tallo tetap mengakui Gowa yang lebih kuat dan berkuasa.
Pada masa Karaeng Tumapa’risi Kalonna juga mengangkat syahbandar untuk mengurus pelabuhan yakni yang bernama Daeng Pamatte yang juga tuma’ilalang kerajaan. Daeng Pamatte inilah yang menciptakan aksara lontara sehingga setiap peristiwa kerajaan dapat dicatat dari hari ke hari. Lontara adalah aksara kuno masyarakat bugis-Makassar dan suku-suku bangsa lainnya di Sulawesi Selatan, aksara lontara ditulis menurut terciptanya (waktu kelahirannya atau munculnya). Dari tulisan-tulisan itu kerajaan Gowa pun namanya mulai dikenal di luar kerajaan.
Sebagai sebuah kerajaan, tentu Gowa juga memiliki kisah tentang bagaimana kerajaan tersebut dibentuk, berkembang, maju dan lain sebagainya.
Makna “Gowa”
Sejarah berdirinya Kerajaan Gowa jika ditinjau dari penelusuran makna kata “Gowa” beragam versi, dalam Buku Biografi Pahlawan Nasional Karya Depdikbud RI disebutkan gowa berasal dari kata “gowari” (Bahasa Bugis/Makassar) yang berarti kamar atau bilik, yakni ruangan yang dapat didiami.Selain itu, masih dalam buku yang sama ada juga yang berpendapat bahwa kata Gowa berasal dari kata “gowarang” (bahasa makassar) artinya lembah atau jurang yang terjal diantara bukit-bukit menjadi tempat lalu angin. Kalau tempat yang seperti itu diberi dinding maka disebut “gowari” karena sudah menyerupai ruangan atau bilik yang dapat didiami.
Baik Gowari maupun Gowarang secara makna bahasa sebenarnya mirip dengan bahasa Indonesia “Gowa/Goa” yang mempunyai maksud liang besar pada sebuah dinding, apakah itu dinding bukit, gunung dan lain sebagainya.
Penamaan Gowa sebagai sebuah kerajaan di Sulawesi agaknya sesuai dengan keadaan geografi Sulawesi, terutama bagian selatan Jazirah Barat Daya Pulau Sulawesi, banyak sekali liang-liang atau gua-gua.
Liang-liang purbakala itu terkenal memang banyak ditemukan di daerah Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkajene Kepulauan sampai ke Kabupaten Barru. Sedang daerah-daerah sekitar Je’neponto dan Takalar sampai ke Kabupaten Gowa sekarang banyak sekali terdapat bukit-bukit yang bertebaran. Maka kata gowa yang berasal dari kata gua, gowari atau gowarang memang masuk akal dan sesuai dengan kondisi geografis wilayah Kerajaan Goawa.
Berdirinya Kerajaan Gowa Tallo
Menurut Rudini (1992;8), berdirinya kerajaan Gowa sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, meskipun demikian secara tradisional bahwa mula-mula yang membentuk Kerajaan Gowa adalah Dinasti Tumanurung (Dinasti Langit/Kayangan), menurut pendapat ini, Ri Tamalatte atau Tumanurunga Ri Gowa, adalah seorang putri kayangan yang kemudian kawin dengan Karaeng Bayo yang datang dari daerah Bantaeng. Dari situlah kemudian lahirnya cikal bakal raja-raja Gowa.Masih dalam sumber yang sama disebutkan bahawa Bayo ini bersaudara dengan “La Kipadada”, seorang turunan Tumanurung di Tana Toraja yang sedang melakukan pengembaraan di daerah Sulawesi Selatan. Ada pula yang menyatakan bahwa La Kipadada itulah sendiri yang sebenarnya bergelar Karaeng Bayo.
Sedang menurut cerita rakyat atau sejarah Tana Toraja, La Kipadada itu adalah merupakan seorang cucu dari Tumanurung Tamboro Langi Kandora (Toraja) yang menciptakan dan menyebarkan Aluk Sanda Saratu dari Tongkonan Kandora yang kemudian kawin dengan Sanda Bilik, salah seorang putri Puang dari Tongkonan Ullin Sapan Deata.
Perkawinan ini melahirkan delapan anak, empat orang putra dan empat orang putri. Salah seorang putranya yang bernama Puang Sanda Boro yang kemudian kawin dengan Datui Pattung (Ao’gading) dan melahirkan dua orang anak, Puang Matte Malolo (perempuan) dan Puang La Kipadada (laki-laki) adalah seorang putra yang berkeras hati terhadap sesuatu masalah dan yang selalu menjadi pertanyaan baginya adalah kematian saudara perempuannya secara tiba-tiba dalam usia muda, sehingga ia memutuskan untuk pergi mengembara guna mencari kehidupan yang abadi. Ia dibekali orang tuanya sebilah pedang pusaka yang bernama Dosso. Akhirnya dia tiba di negeri batu yang dikenalnya dengan nama Gowa dan kemudian memutuskan untuk menetap di sana.
Manurung ri Tamalate dan Karaeng Bayo merupakan cikal bakal raja-raja Gowa selama 657 tahun (1300-1957). Menurut suatu cerita dari rakyat Gowa, sebelum abad ke X1V pernah berdiri kerajaan Gowa purba selama empat generasi. Namun sesudah periode pemerintahan Karaeng Katangka, Gowa memasuki masa yang gelap dalam lembaran sejarahnya.
Dalam Lontara Gowa menerangkan bahwa sebelum Tumanurung memerintah kerajaan Gowa, ada empat raja berturut-turut pernah memegang kendali pemerintahan Gowa. Mereka adalah (1) Batara Guru, (2) Tatali (saudara Batara Guru yang terbunuh di Tala), (3) Ratu Sapu atau Marancai, dan (4) Karaeng Katangka. Pada masa itu Gowa terdiri atas sembilan buah negeri masingmasing dikepalai oleh seorang raja kecil (Kasuwiang Salapanga/ Bate Salapanga), negeri-negeri itu adalah:
- Tombolo
- Lakiung
- Saumata
- Parang-Parang
- Data’
- Agang Je’ne
- Bisei
- Kalling
- Sero
Dalam mengendalikan roda pemerintahan sehari-hari Raja Gowa dibantu oleh “Kasuwiang Salapanga” (kasuwiang=pengabdi, mengabdi; salapang= sembilan) artinya pengabdi yang sembilan orang.
Kasuwiang Salapanga merupakan gabungan penguasa atau raja-raja kecil di daerah-daerah yang tergabung di dalam federasi Gowa tersebut. Kemudian dewan yang terdiri dari sembilan orang ini diubah namanya menjadi “bate salapanga” (bate=bendera, panji; salapang= sembilan) artinya sembilan orang pembawa bendera atau sembilan orang pemegang panji.
Bate salapanga ini bertugas menetapkan aturan-aturan penyelenggaran kekuasaan pemerintahan yang dijalankan oleh sombaya (raja) atau penasehat raja. Lembaga ini hanyalah simbol belaka, sebab anggotanya tunduk dan patuh pada wibawa sombaya.
Sabda sombaya merupakan Undang-Undang yang harus ditaati. Untuk menghindari perselisihan yang bakal timbul diantara Gallarang (penguasa negeri), maka mereka sepakat untuk mengangkat seorang Paccalaya yang berfungsi sebagai ketua dewan diantara kesembilan kerajaan kecil atau hakim.
Dahulu kerajaan Gowa dan Tallo asal mulanya merupakan satu kerajaan jua, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa yang ke VI yang terkenal dengan nama Baginda Karaeng Tunatangka’lopi.
Baginda mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni yang sulung bernama Batara Gowa dan yang bungsu bernama Karaeng Lo E ri Sero. Karena khawatir jika terjadi perselisihan atau peperangan antara kedua putranya, maka Karaeng Tunatangka’lopi membagi Gallarang Gallarang (penguasa negeri) dan rakyat atau penduduk Kerajaan Gowa menjadi dua bagian. Pembagian itu adalah sebagai berikut:
Yang ditetapkan menjadi bagian Batara Gowa, yaitu:
- Wilayah gallarang Paccelekang
- Wilayah gallarang Pattallasang
- Wilayah gallarang Bontomanai-Timur (Bontomanai-Iraya)
- Wilayah gallarang Bontomanai-Barat (Bontomanai-Ilau)
- Wilayah gallarang Mangngasa
- Wilayah gallarang Tombolo
Yang ditetapkan menjadi bagian karaeng Lo E ri Sero, yaitu:
- Wilayah gallarang Saumata
- Wilayah gallarang Pannampu
- Wilayah gallarang Moncongloe
- Wilayah gallarang Parangloe
Pada waktu berlayar, Karaeng Tunatangka’lopi tertimpa musibah. Perahu yang baginda tumpangi tenggelam dan baginda wafat ditelungkupi perahu baginda. Itulah sebabnya baginda diberi gelar Karaeng Tunatatangka’lopi artinya raja yang ditelungkupi perahu (bahasa makassar tunatangka’ seharusnya tunarangka= orang yang ditelungkupi, lopi= perahu).
Setelah Karaeng Tunatangka’lopi wafat, baginda mewariskan tahta kerajaan Gowa kepada putra baginda yang sulung, yakni Batara Gowa sebagai raja gowa yang ke VII. Kemudian Batara Gowa berselisih dengan adiknya, yakni karaeng Lo E ri Sero. Dan Karaeng Lo E ri Sero terpaksa harus meninggalkan Gowa, beliau pergi ke Jawa dan kekuasaannya didaulat oleh Batara Gowa.
Setelah kembali dari Jawa, karaeng Lo E ri Sero tinggal disebuah tempat yang disebut Passi’nang. Di tempat itulah karaeng Lo E ri Sero bersedih hati mengenang nasib yang baginda alami. Itulah sebabnya, maka tempat karaeng Lo E ri Sero bersedih hati kemudian disebut passi’nang artinya yang bersedih atau tempat bersedih hati.
Tidak lama berselang datanglah Karaeng Lo E Ri Bentang dan Karaeng Lo E Ri Bira, kedua karaeng ini bersepakat untuk mengangkat karaeng Lo E ri Sero menjadi raja mereka. Lalu karaeng Lo E ri Bentang dan karaeng Lo E ri Bira menitahkan rakyatnya untuk membuka hutan di dekat sungai Bira.
Hutan itu disebut hutan “Talloang”. Di tempat itulah rakyat kedua karaeng tadi membangun istana untuk karaeng Lo E ri Sero. Sesuai dengan nama hutan itu, yakni talloang maka kerajaan sekitar istana itu kemudian berdirilah sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Tallo
Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar bila dilihat asalusul keturunannya. Dalam perkembangan selanjutnya yaitu pada masa Raja Gowa yang ke IX Karaeng Tumapa’risi Kalonna mereka bersatu, dalam bahasa Makassar sering dikatakan “ruwa karaeng se’re ata” artinya dua raja satu hamba. Bahkan mereka membuat perjanjian yang diadakan di sebuah baruga (balai) di kerajaan Tallo.
Perjanjian itu berbunyi “Ia iannamo tau ampassi-Ewai gowa-tallo iamo nacalla rewata” artinya “siapa-siapa saja yang mempertentangkan atau mengadu domba kerajaan Gowa dan Tallo, maka orang atau orang-orang itu akan dikutuk oleh Sang Dewata”.
Perjanjian itu harus dijunjung dan ditaati oleh semua pembesar dan seluruh rakyat. Raja Tallo menjadi pasangan dalam pemerintahan yang mengurus pelaksanaan dalam pemerintahan atau “mangkubumi” (Pabbicara Butta), sedang Raja Gowa sebagai pemikir. Akan tetapi Kerajaan Tallo tetap mengakui Gowa yang lebih kuat dan berkuasa.
Pada masa Karaeng Tumapa’risi Kalonna juga mengangkat syahbandar untuk mengurus pelabuhan yakni yang bernama Daeng Pamatte yang juga tuma’ilalang kerajaan. Daeng Pamatte inilah yang menciptakan aksara lontara sehingga setiap peristiwa kerajaan dapat dicatat dari hari ke hari. Lontara adalah aksara kuno masyarakat bugis-Makassar dan suku-suku bangsa lainnya di Sulawesi Selatan, aksara lontara ditulis menurut terciptanya (waktu kelahirannya atau munculnya). Dari tulisan-tulisan itu kerajaan Gowa pun namanya mulai dikenal di luar kerajaan.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Kerajaan Gowa Tallo"
Posting Komentar