Unsur (Rukun) Perjanjian Mudharabah

Didalam pembiyayaan mudharabah dikenal Unsur (Rukun) Perjanjian Mudharabah adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

Ijab dan Qabul. Pernyataan kehendak yang berupa ijab dan qabul antara kedua pihak memiliki syarat-syarat yaitu;

Ijab dan qabul itu harus jelas menunjukan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah. Dalam menjelaskan maksud tersebut bisa menggunakan kata mudharabah, qirad, muqaradhah, muamalah atau semua kata yang semakna dengannya. Bisa pula tidak menyebutkan kata mudharabah dan kata-kata sepadan lainnya, jika maksud dari penawaran tersebut sudah dapat dipahami, misalnya; “ ambil uang ini dan gunakan untuk usaha dan keuntungan kita bagi berdua”

Ijab dan qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh pihak kedua. Artinya ijab yang diucapkan pihak pertama harus diterima dan disetujui oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediannya bekerjasama. Ungkapan kesediaan tersebut bisa diungkapkan dengan kata-kata atau gerakan tubuh (isarat) lain yang menunjukan kesediaan. Seperti misalnya dengan mengucapkan: “ ya, saya terima”, atau “ saya setuju” atau dengan isyarat-isyarat setuju lain seperti mengganggukan kepala, diam atau senyum. Oleh karena itu peristiwa ini harus terjadi dalam satu majlis akad agar terhindar dari kesalahpahaman.

Ijab dan qabul harus sesuai maksud pihak pertama cocok dengan keinginan pihak kedua. Secara lebih luas ijab dan qabul tidak saja terjadi dalam soal kesediaan dua pihak untuk menjadi pemodal dan pengusaha tetapi juga kesediaan untuk menerima kesepakatan-kesepakatan lain yang muncul lebih terinci.

Dalam hal ini ijab (penawaran) tidak selalu diungkapkan oleh pihak pertama, begitu juga sebaliknya. Keduanya harus saling menyetujui artinya jika pihak pertama melakukan ijab (penawaran) maka pihak kedua melakukan qabul (penerimaan), begitu juga sebaliknya. Ketika kesepakatan-kesepakatan itu disetujui maka terjadilah hukum.

Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha). Para pihak shahibul maal dan mudharib disyaratkan:

Cakap bertindak hukum secara syar’i. artinya shahib al-maal memiliki kapasitas untuk menjadi pemodal dan mudharib memiliki kapasitas menjadi pengelola. Jadi, mudharabah yang disepakati shahib al-maal yang mempuyai penyakit gila temporer tidaklah sah, namun jika dikuasakan oleh orang lain maka sah. Bagi mudharib, asalkan ia memahami maksud kontrak saja sudah cukup sah mudharabah-nya.

Memiliki wilayah al-tawkil wa al-wikalah (memiliki kewenangan mewakilkan/ memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa), karena penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah modal tersebut.

Adanya modal. Adapun modal disyaratkan:
Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah sehingga tidak menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidakjelasan jumlah. Kepastian dan kejelasan laba itu penting dalam kontrak ini.

Harus berita uang (bukan barang). Mengenai modal harus berupa uang dan tidak boleh barang adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka beralasan mudharabah dengan barang itu dapat menimbulkan kesamaran. Karena barang tersebut umumnya bersifat fluktuatif. Sedangkan jika barang tersebut bersifat tidak fluktuatif seperti emas dan perak, mereka berbeda pendapat. Imam malik dalam hal ini tidak tegas untuk melarang atau membolehkannya.

Oleh karenanya para muridnya berbeda pendapat. Sebagaian membolehkannya dan sebagaian lain seperti ibnu al-Qasim membolehkannya dengan catatan emas dan perak tersebut belum menjadi barang perhiasan. Dalam kaitannya mudharabah dengan emas atau perak ini Imam Syafi’i melarangnya.

Secara umum fuqaha yang melarang mudharabah dengan emas dan perak beralasan bahwa keduanya disamakan dengan barang. Sedangkan yang membolehkannya termasuk diantaranya Ibnu Abi Laila, beralasan bahwa keduanya disamakan dengan dinar dan dirham. Keduanya berbeda sedikit dalam harga hanya berbeda sedikit (tidak fluktuatif).

Dalam kaitannya dengan modal ini pula para fuqaha sepakat bahwa jika barang yang diserahkan tersebut tidak untuk di-mudharabah-kan tetapi untuk dijadikan sebagai sebuah modal mudharabah dengan cara menjualkannya terlebih dahulu maka hal ini diperbolehkan. Menurut ibnu Hazm karena hal ini telah banyak disebutkan dalam hadis Nabi SAW.

Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung. Karena jika tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak diserahkan sepenuhnya (berangsur-angsur) di khawatirkan akan terjadinya kerusakan pada modal penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerjanya dan akibat yang lebih jauh menguranggi kerjanya secara maksimal.

Jumhur fuqaha sepakat akan hal ini, hanya saja sebagaian dari madzab hanafi lebih fleksibel menambahkan apabila pengangsuran kucuran modal tersebut dikehendaki oleh mudharib maka tidak bathal.

Adanya usaha (al-„aml). Mengenai jenis usaha pengelolaan ini sebagaian ulama khususnya syafi’i dan maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dagang (commercial). Mereka menolak usaha yang berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk dalam kontrak persewaan (ijarah) yang mana semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal (investor). Sementara para pegawainya digaji secara tetap.

Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang. Termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Seseorang dapat memberikan modalnya pekerja yang akan digunaknnya untuk membeli bahan mentah untuk dibuat sebuah produk dan kemudian dijualnya.

Keuntungan ini dapat dibagi dua diantara keduanya. Ini memang tidak termasuk jenis perdagangan murni yang mana seseorang hanya terlibat dalam pembelian dan penjualan. Tetapi hal tersebut dapat dibenarkan sebab persekutuan antara modal dan tenaga terjadi dalam kegiatan ini.

Bahkan mengenai keuntungan kadang-kadang lebih dapat dipastikan sehingga bagi hasil akan selalu dapat diwujudkan. Kalau ditarik lebih jauh ke era modern ini, maka perdagangan menjadi meluas. Semua kerja ekonomi yang mengandung kegiatan membuat atau membeli produk atau jasa kemudian menjualkannya atau menjadikannya produk atau jasa tersebut menjadi sebuah keuntungan merupakan arti dari perdagangan. jual dan beli maka hal itu termasuk berdagang.

Oleh karena itu tampaknya semua kegiatan ekonomi itu mengandung unsur perdagangan. Jadi sesungguhnya dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang diperbolehkn adalah semua jenis usaha. Tentu saja tidak hanya mengguntungkan tetapi juga harus sesuai dengan ketentuan syariah sehingga merupakan usaha yang halal.

Dalam menjalankan usaha ini shahib- maal tidak boleh ikut campur dalam teknis operasional dan manajemen usaha dan tidak boleh membatasi usaha mudharib sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya pemerolehan keuntungan maksimal tidak tercapai.

Tetapi dilain pihak pengelola harus senantiasa menjalankan usahanya dalam ketentuan syari’ah secara umum. Dalam usaha itu dijalankan di bawah akad mudharabah terbatas, maka ia harus memenuhi klausul-klausul yang ditentukan oleh shahib al-maal.

Adanya keuntungan. Mengenai keuntungan di syaratkan bahwa:

Keuntungan tidak boleh di hitung berdasarkan persentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntungannya saja setelah dipotong besarnya modal. Dalam hal ini perhitungan harus dilakukan secara cermat. Setiap keadaan yang membuat ketidakjelasan penghitungan akan membawa kepada suatu kontrak yang tidak sah.

Keuntungan untuk masing-masing pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal, misalnya satu juta, dua juta dan seterusnya. Karena jika ditentukan dengan nominal berarti shahibul maal telah mematok untung tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas untung dan ruginya. Ini akan membawa pada perbuatan riba.

Nisbah pembagian ditentukan dengan persentase, misalnya 60:40%, 50:50% dan seterusnya. Penentuan persentase tidak harus terikat pada bilangan tertentu. Artinya jika nisbah bagi hasil tidak ditentukan pada saat akad, maka masing-masing pihak memahami bahwa keuntungan itu akan dibagi secara sama.

Prosedur Pembiayaan Mudharabah 


  1. Bank syariah (shahibul maal) dan nasabah (mudharib) menendatangani akad pembiayaan mudharabah 
  2. Bank syariah menyerahkan dana 100% dari kebutuhan proyek usaha 
  3. Nasabah tidak menyerahkan dana sama sekali, namun melakukan pengelolaan proyek yang dibiayai 100% oleh bank. 
  4. Pengelolaan proyek usaha dijalankan oleh mudharib, bank syariah tidak ikut campur dalam manajemen perusahaan. 
  5. Hasil usaha dibagi sesuai dengan nisbah yang telah diperjanjian dalam akad pembiayaan mudharabah 
  6. Persentase tertentu menjadi hak bank syariah, dan sisanya diserahkan kepada nasabah. Semakin tinggi pendapatan yang diperoleh mudharib, maka akan semakin besar pendapatan yang diperoleh bank syariah dan mudharib. 


Belum ada Komentar untuk "Unsur (Rukun) Perjanjian Mudharabah "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel