Tipuan Kapal Karam Dalam Penaklukan Kerajaan Badung
Rabu, 23 Januari 2019
Tulis Komentar
Kerajaan Badung termasuk salah satu Kerajaan di Nusantara yang baru ditaklukan oleh Belanda pada abad ke 20, tepatnya pada tahun 1906, dengan demikian Kerajaan ini hanya 39 tahun saja dijajah Belanda sebab pada tahun 1945 Badung merdeka dari Belanda karena bergabung dengan Indonesia. Kerajaan Badung yang pusat pemerintahannya berada di Kota Denpasar Bali ini ditaklukan oleh Belanda dengan jalan licik, Belanda menggunakan tipuan kapal karam.
Pada tahun 1904 Kapal berbendera Belanda bernama Sri Komala milik seorang Cina Banjarmasin kandas di Pantai Sanur yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Badung. Pemilik kapal dan pemerintah Hindia Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan merampas harta yang terdapat dalam kapal.
Karamnya kapal Sri Komala milik seorang Cina Banjarmasin warga Negara Hindia Belanda keturunan Cina ini dimanfaatkan betul oleh penjajah Belanda, peristiwa ini dijadikan gara-gara oleh Belanda untuk menaklukan Badung.
Belanda menuntut Kerajaan Badung untuk membayar ganti rugi atas hilangnya harta benda kapal Sri Komala yang karam di pantai Sanur. Tuntutan Ganti rugi yang dilayangkan Belanda pada kerajaan Badung ini tidak tanggung-tangung, yaitu sebanyak 3.000 dolar perak.
Banyaknya bilangan harta yang dituntut Belanda ini jelas suatu tuntutan yang fantastis waktu itu, dan cenderung mengada-ada. Selain menuntut ganti rugi berupa harta, Belanda juga menuntut agar Kerajaan Badung menangkap pelaku perampasan harta dalam kapal Sri Komala untuk diserahkan kepada pemerintah Belanda untuk digantung.
Karena paham dan menyadari bahwa tuntutan Belanda atas peristiwa karamnya Kapal Sri Komala hanya sebagai tipuan dan cara-cara Kotor Belanda untuk menaklukan Badung dengan mudah, maka Raja Badung yang kala itu dijabat oleh I Gusti Ngurah Made Agung menolak tuntutan Belanda secara mentah-mentah.
Selepas penolakan Raja Badung atas tuntutan tersebut, maka rusaklah perjanjian damai Badung-Belanda yang sudah dibina dari tahun 1826. Perwakilan Belanda yang kala itu berkantor di Kuta di usir oleh Kerajaan Badung.
Rusaknya hubungan Belanda-Badung ini kemungkinan besar disengaja sendiri oleh Belanda, sebab dengan rusaknya hubungan itu Belanda berhak melakukan serangan dan Invasi ke Badung dengan alasan Kerajaan Badung melindungi atau bahkan dituduh sebagai dalang dari Karamnya Kapal Sri Komala yang berbendera Belanda itu.
2 Tahun selepas memburuknya hubungan Belanda dan Badung tepatnya pada 20 September 1906. Belanda kemudian melakukan eksepedisi penaklukan ke Kerajaan Badung, eksepedisi ini berkekuatan Tiga batalyon infantri dan 2 batalyon pasukan artileri, pasukan tersebut menyerbu kerajaan Badung.
Dalam serangan itu, Belanda yang dilengkapi dengan senjata canggih dizamanya mula-mula melakukan serangan, sementara itu pasukan Kerajaan Badung tetap dengan gagah periwira menghadapi pasukan Belanda meskipun dengan senjata yang ala kadarnya.
Kekuatan tentara Badung waktu itu terbilang lemah, sebab pada masa 2 tahun bermusuhan dengan Belanda (1904-1905) Badung semacam di embargo, dipreteli kekuatan ekonominya, sehinga kerajaan secara finasial tidak cukup biyaya untuk melakukan pembelian dan peremajaan senjata modern yang dimiliki Kerajaan kala itu.
Melihat lawannya yang hanya bersenjatakan Panah dan Keris serta beberapa meriam usang, Belanda dengan mudah menghancurkan kekuatan bersenjata Badung, meskipun demikian, Raja Badung waktu itu turun ke medan perang bersama Tentara dan Sebagai Rakyat, mereka memakai pakian serba Putih, tujuannya adalah mati dalam Medan Perang.
Mati dalam medan Perang bagi orang Hindu Bali waktu itu akan membawa mereka kepada kehormatan, selain itu mati dalam pertempuran membela kebenaran juga dalam kepercayaan Hindu Bali ganjarannya adalah Surga. Oleh Karena itu, Raja, Tentara dan Rakyat Badung waktu itu berbondong-bondong untuk mati dalam medang juang.
Meskipun perlwanan terakhir Kerajaan Badung terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Sang Raja, akan tetapi perlawanan ini dapat dipatahkan oleh Belanda, seluruh tentara Badung termasuk didalamnya sang Raja terbunuh dalam peristiwa perang itu. Perang ini dalam sejarah Badung disebut sebagai Puputan ( Perang Sampai Mati/Habis-Habisan) Badung.
Selepas terbunuhnya Raja Badung dalam peritiwa Puputan Badung itu, maka resmilah Kerajaan Badung menjadi wilayah jajahan Belanda. Badung masuk kedalam wilayah jajahan Belanda tepat pada tahun 1906 tidak lama selepas kemangkatan Raja Badung.
Meskipun Raja Badung waktu itu ikut tewas, akan tetapi Putra Mahkota Badung yang bernama I Gusti Alit Ngurah sengaja diungsikan oleh Tentara Kerajaan. Akan tetapi pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti Alit Ngurah ditangkap dan menjadi tawanan perang, serta diasingkan ke Mataram, Lombok, oleh pemerintah Hindia Belanda.
Selepas tertangkap dan dibuangnya Putra Mahkota Kerajaan Badung, perlwanan Rakyat Badung terhadap Belanda masih gencar dilakukan sehingga sempat juga menggangu jalanya pemerintahan di Bali waktu itu.
Oleh karena itu untuk meredam pemberontakan rakyat, maka pada tanggal 1 Oktober 1917 atas desakan tokoh-tokoh masyarakat di Lombok seperti I Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan, serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Denpasar selepas 10 tahun masa pembuangan.
Selanjutnya pada tahun 1929, setelah pembangunan kembali Puri (Istana) Agung Denpasar yang hancur selama penaklukan, Belanda dengan segala taktik liciknya mengangkat, I Gusti Alit Ngurah sebagai Regent Badung (Raja Badung) dengan gelar Cokorda Alit Ngurah, tapi pengangkatan Regen/Raja Badung Kali ini dibawah nanungan pemerintah Hindia Belanda, dengan kata lain Pemimpin Badung waktu itu adalah bawahan Ratu Belanda.
Demikianlah kisah mengenai tipuan Kapal Karam Belanda dalam penaklukan Kerajaan Badung, tipuan model ini juga dilakukan oleh Belanda dalam menaklukan di wilayah-wilayah lain di Nusantara. Begitulah cara cerdik dan licik Belanda dalam mencapai kekuasaan di Nusantara.
Pada tahun 1904 Kapal berbendera Belanda bernama Sri Komala milik seorang Cina Banjarmasin kandas di Pantai Sanur yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Badung. Pemilik kapal dan pemerintah Hindia Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan merampas harta yang terdapat dalam kapal.
Karamnya kapal Sri Komala milik seorang Cina Banjarmasin warga Negara Hindia Belanda keturunan Cina ini dimanfaatkan betul oleh penjajah Belanda, peristiwa ini dijadikan gara-gara oleh Belanda untuk menaklukan Badung.
Belanda menuntut Kerajaan Badung untuk membayar ganti rugi atas hilangnya harta benda kapal Sri Komala yang karam di pantai Sanur. Tuntutan Ganti rugi yang dilayangkan Belanda pada kerajaan Badung ini tidak tanggung-tangung, yaitu sebanyak 3.000 dolar perak.
Banyaknya bilangan harta yang dituntut Belanda ini jelas suatu tuntutan yang fantastis waktu itu, dan cenderung mengada-ada. Selain menuntut ganti rugi berupa harta, Belanda juga menuntut agar Kerajaan Badung menangkap pelaku perampasan harta dalam kapal Sri Komala untuk diserahkan kepada pemerintah Belanda untuk digantung.
Karena paham dan menyadari bahwa tuntutan Belanda atas peristiwa karamnya Kapal Sri Komala hanya sebagai tipuan dan cara-cara Kotor Belanda untuk menaklukan Badung dengan mudah, maka Raja Badung yang kala itu dijabat oleh I Gusti Ngurah Made Agung menolak tuntutan Belanda secara mentah-mentah.
Selepas penolakan Raja Badung atas tuntutan tersebut, maka rusaklah perjanjian damai Badung-Belanda yang sudah dibina dari tahun 1826. Perwakilan Belanda yang kala itu berkantor di Kuta di usir oleh Kerajaan Badung.
Rusaknya hubungan Belanda-Badung ini kemungkinan besar disengaja sendiri oleh Belanda, sebab dengan rusaknya hubungan itu Belanda berhak melakukan serangan dan Invasi ke Badung dengan alasan Kerajaan Badung melindungi atau bahkan dituduh sebagai dalang dari Karamnya Kapal Sri Komala yang berbendera Belanda itu.
2 Tahun selepas memburuknya hubungan Belanda dan Badung tepatnya pada 20 September 1906. Belanda kemudian melakukan eksepedisi penaklukan ke Kerajaan Badung, eksepedisi ini berkekuatan Tiga batalyon infantri dan 2 batalyon pasukan artileri, pasukan tersebut menyerbu kerajaan Badung.
Dalam serangan itu, Belanda yang dilengkapi dengan senjata canggih dizamanya mula-mula melakukan serangan, sementara itu pasukan Kerajaan Badung tetap dengan gagah periwira menghadapi pasukan Belanda meskipun dengan senjata yang ala kadarnya.
Kekuatan tentara Badung waktu itu terbilang lemah, sebab pada masa 2 tahun bermusuhan dengan Belanda (1904-1905) Badung semacam di embargo, dipreteli kekuatan ekonominya, sehinga kerajaan secara finasial tidak cukup biyaya untuk melakukan pembelian dan peremajaan senjata modern yang dimiliki Kerajaan kala itu.
Melihat lawannya yang hanya bersenjatakan Panah dan Keris serta beberapa meriam usang, Belanda dengan mudah menghancurkan kekuatan bersenjata Badung, meskipun demikian, Raja Badung waktu itu turun ke medan perang bersama Tentara dan Sebagai Rakyat, mereka memakai pakian serba Putih, tujuannya adalah mati dalam Medan Perang.
Mati dalam medan Perang bagi orang Hindu Bali waktu itu akan membawa mereka kepada kehormatan, selain itu mati dalam pertempuran membela kebenaran juga dalam kepercayaan Hindu Bali ganjarannya adalah Surga. Oleh Karena itu, Raja, Tentara dan Rakyat Badung waktu itu berbondong-bondong untuk mati dalam medang juang.
Meskipun perlwanan terakhir Kerajaan Badung terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Sang Raja, akan tetapi perlawanan ini dapat dipatahkan oleh Belanda, seluruh tentara Badung termasuk didalamnya sang Raja terbunuh dalam peristiwa perang itu. Perang ini dalam sejarah Badung disebut sebagai Puputan ( Perang Sampai Mati/Habis-Habisan) Badung.
Potret Di Depan Istana Badung Selepas Perang Puputan |
Meskipun Raja Badung waktu itu ikut tewas, akan tetapi Putra Mahkota Badung yang bernama I Gusti Alit Ngurah sengaja diungsikan oleh Tentara Kerajaan. Akan tetapi pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti Alit Ngurah ditangkap dan menjadi tawanan perang, serta diasingkan ke Mataram, Lombok, oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tentara Belanda Bergaya Di Depan Mayat Raja Badung |
Oleh karena itu untuk meredam pemberontakan rakyat, maka pada tanggal 1 Oktober 1917 atas desakan tokoh-tokoh masyarakat di Lombok seperti I Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan, serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Denpasar selepas 10 tahun masa pembuangan.
Selanjutnya pada tahun 1929, setelah pembangunan kembali Puri (Istana) Agung Denpasar yang hancur selama penaklukan, Belanda dengan segala taktik liciknya mengangkat, I Gusti Alit Ngurah sebagai Regent Badung (Raja Badung) dengan gelar Cokorda Alit Ngurah, tapi pengangkatan Regen/Raja Badung Kali ini dibawah nanungan pemerintah Hindia Belanda, dengan kata lain Pemimpin Badung waktu itu adalah bawahan Ratu Belanda.
Demikianlah kisah mengenai tipuan Kapal Karam Belanda dalam penaklukan Kerajaan Badung, tipuan model ini juga dilakukan oleh Belanda dalam menaklukan di wilayah-wilayah lain di Nusantara. Begitulah cara cerdik dan licik Belanda dalam mencapai kekuasaan di Nusantara.
Belum ada Komentar untuk "Tipuan Kapal Karam Dalam Penaklukan Kerajaan Badung"
Posting Komentar