Sejarah Brunei Darussalam

Bungfei.com-Brunei adalah salah satu negara yang mempunyai luas wilayah yang tergolong kecil, dan menempati urutan ke-148 di dunia setelah Siprus dan sebelum  Trinidad.  Dalam  perbandingannya  negara Brunei Darussalam sebanding dengan luas wilayah Aceh Tengah di Indonesia. Dengan luas wilayah 5.765 Km2, berpenduduk sekitar  281.000  jiwa(1995),  dengan kepadatan 178 per mil. Penduduknya terdiri dari  Melayu  65%,  China  20%, dan sisanya sekitar 15%, adalah penduduk Brunei lainnya dari suku dayak yang menghuni daerah pinggiran.
Masjid Di Brunai
Brunei mempunyai sejarah yang panjang. Hal ini terbukti dengan adanya sumber-sumber sejarah yang menjelaskan keberadaannya sebelum menjadi sebuah kesultanan Brunei. Sejarah mencatat bahwa Brunei sudah ada abad ke-6 Masehi, Brunei di sebut dengan Po-li, Po-lo,Pu-ni.

 Di zaman Dinasti Liang (T.M. 502-556) Po-li dikatakan sebuah kerajaan memerintah 136 tempat  (kampung), sedangkan rajanya bernama ‘Pinka’. Pada tahun 518 raja Pinka telah menghantar utusan ke China untuk mambawa surat dan hadiah terdiri dari tikar emas.  Sedangkan pada T.M. 523 raja Pinka sekali lagi menghantar utusan ke China yang diketuai Chu-pa-ti tujuannya membawa hadiah barang-barang antaranya burung nuri, alat perkakas kaca, kapas, cawan-cawan terbuat dari kulit siput, wangi- wangian dan obat-obatan.

Dalam zaman Dinasti Sui (589-618 M). Raja Po-li pada masa itu bernama Hu-Lan-Na-Po (orang cerdik). Dalam T.M 616 raja Hu-Lan-Na-Po ini telah menghantar utusan kepada Maharaja China dengan membawa bermacam-macam hadiah.

Menurut Dinasti Tang (610-906 M) Po-Li disebut Po-Lo, tetapi rajanya bernama Hu-la-na-po juga, sama sebagaimana  Dinasti  Sui  riwayatkan.  Akan tetapi ketika ke luar istana, raja Hu-la-na po menggunakan kendaraan yang di tarik gajah dan membawa hasil negri untuk dijadikan barang dagangan ke China.

Diantaranya mutiara, kulit kura dan kerang-kerangan. Raja Dinasti Tang  pada  tahun 669 M, telah mengantar utusan ke China bersama-sama utusan Huan-wang (siam) tujuanya menguatkan hubungan yang telah putus.
Kota Bandar Sri Begawan
Dalam zaman Dinasti Sung (960-1279 M) Po-li atau Po-lo disebut Puni. Sementara dalam catatan sejarah China masa dinasti Sung (960-1276). Terdapat cacatan mengenai kerajaan Islam, yang disebut  P’u-ni  dan  letaknya  di  pantai barat Borneo ( Kalimantan) dan yang dimaksud Puni ialah Brunei.

Sedangkan rajanya bermana Hiang-ta. Pada tahun 977 M ada seorang  saudagar  China  bernama Pu-lu-shieh berniaga ke Puni. Dan kala itu raja Hiang-ta memerintahkan pembesarnya agar memperbaiki kapal saudagar China karena rusak.

Pada masa Pu-lu-shieh ini raja Hiang-ta telah mengantar utusan ke China diketuai oleh Pu- ya-li, Shih Nu dan Qadhi Kasim untuk membawa surat dan barang-barang hadiah tediri dari 100 kulit kura-kura, kapur barus, lima keping gaharu, tiga dulang cendana, kayu raksamala dan enam batang gading gajah.  Isi  surat  yang  di serahkan kepada raja China berisikan di antaranya:

  • Memberitahu mengenai kedatangan Pu-li-shieh ke Brunei dan telah membantu dan telah membantu memperbaiki  kapal  Pu-li-shieh  yang rusak.
  • Menghantar utusan menghadap raja China sebagai wakil baginda (Puni) untuk menyerahkan barang-barang dari baginda.
  • Meminta jasa raja China untuk memberitahukan kerajaan Champa agar memelihara keselamatan kapal-kapal Brunei yang tergampar di Champa.

Sedangkan dalam Dinasti Ming (1368-1643 M), pada tahun 1370 M Maharaja Hung-wu telah memerintahkan satu utusan ke  jawa,  diketuai  oleh  Chang Ching Tze bersama seorang pegawai Daerah Fukien bernama Sin-tze dan utusan tersebut singgah di Puni.
Sultan dan Ratu Brunei
Menurut Sin-tze raja Puni itu beragama Islam, bernama Ma-ha-mo-sha. Dari riwayat tersebut ternyata raja Puni yang bernama Ma-ha-mo-sha beragama Islam sebutan bagi Sultan Muhammad Shah yang sesuai dengan Awak Alak Betatar sebagaimana diceritakan orang tua-tua dalam sejarah Islam.
Penyebutan semua tentang Brunei diatas, berdasarkan kepada nama-nama yang ditemukan mengacu kepada penamaan kerajaan Brunei sebelum kedatangan Islam.

Sedangkan dalam sumber lain yaitu Naskah Nagarakertagama karya Prapanca Brunei dikenal dengan nama Barune(ng), berdasarkan kepada nama-nama tersebut ditemukan data yang mengacu kepada penamaan kerajaan Brunei sebelum Islam.

Sumber lain juga menyebutkan bahwa asal mula nama Brunei berasal dari bahasa sansekerta “Varunai” yang semula diambil  dari  kata  sansekerta “Varunadvipa” yang berarti Pulau Kalimantan. Pada awalnya kata tersebut dieja ”Brunai” yang kemudian berubah menjadi “Brunei” ejaan yang benar.
Sultan Brunei bersama Presiden Indonesia
Dalam beberapa cacatan Arab Brunei dikenal dengan sebutan Zabaj, Ranj. Dalam kitab Nukhbatud Dahri fii’ Ajaaibil Barri wal Bahri, karya dari Syekh Syamsuddin Al-Damsyik (1281/1865 m) Brunei dikenal oleh kalangan pedagang Arab dengan nama Zabaj. Akan tetapi data tentang terbentuknya kerajaan Brunei sangat minim sekali tetapi ada data. Itupun hanya dari cerita rakyat yang berlaku sampai sekarang yang menyatakan bahwa :
“...menjelang tebentuknya kerajaan Brunei bermula dari pencarian lokasi yang baik oleh Alak Betatar sebagai penguasa Brunei, waktu dan rombongan menggunakan kendaraan perahu masuk dan menyusuri sungai, sampailah rombongan itu di suatu kawasan yang nyaman dan strategis yaitu di sebuah kelokan sungai. ketika rombongan sampai ke tepi sungai, berkatalah seseorang “Baru Nah”,sebutan Brunei waktu itu masih memakai sebutan po-lo”

Kata “Baru Nah” ini diduga yang kemungkinannya berubah menjadi  sebutan Brunei.

Data sejarah menunjukan bahwa pada  abad  XIV  M,  Brunei telah menjadi pusat pemerintahan dengan bentuk kerajaan dan pusat perdagangan antara China dengan wilayah Asia Tenggara. Pada saat itu kerajaan Brunei baru mengalami perubahan corak pemerintahan. Hal ini diketahui dari pergantian nama rajanya yang semula bernama Alak Betatar, kemudian berganti sultan Muhammad Syah.

Masuknya Islam Ke Brunei

Menurut Barbara Watsson dan Leonerd T, Andaya, bahwa Islam datang pertama kali ke Brunei Darussalam dari bagian barat Asia  Tenggara,  setelah  melalui India, Sumatra Utara, dan Malaka sejak abad XVI M.

Akan tetapi pendapat  rupanya bertentangan dengan bukti-bukti sejarah lain. Termasuk data Arkeologi sejarah “Batu Tarsilah atau Silsilah Brunei” yang  menarik garis belakang Brunei mundur lebih jauh lagi sebelum abad XI M.

Hal itu didukung dengan di temukan Nisan bertulisan Putri Sultan Abdul Majid bin Muhammad Shah Al Sultan tertanggal 440 H/ 1048 di Brunei. Hampir semasa dengan keberadaan seorang muslimah di Leran (Gersik) bernama Fatimah binti Maeimun bin Hibatallah (1082 M), nyaris semasa dengan nisan Ahmad anak Abu Ibrahim, anak Abu Arradah (1039 M) di Phan-rang/Padhurangga, suatu tempat di wilayah Champa.

Batu Tarsilah dalam bentuk bendanya  sebagai  benda  Arkeologi  dari masa lalu kesultanan Brunei Darussalam dan berfungsi sebagai data kesejarahan melalui inskripsi dimana terukir di dalamnya juga kesultanan Brunei Darussalam. Sedangkan bentuk bendanya seperti sebuah cermin, dan terbuat dari batu pasir,  yang beriasan suluran di bagian pinggirnya, tiga buah bunga menghiasi bagian atasnya dan kedua pinggirnya.

Data yang tertulis ialah berupa tentang  susunan  nama-nama  raja/sultan yang pernah menaiki tahta kesultanan Brunei,  sejak  masa  Sultan  Muhammad Shah (Awang Alak Betatar) sampai sultan Muhammad Tajuddin. Jumlah nama sultan yang tertulis di Batu Tarsilah berjumlah 29 nama.

Namun dalam kenyataanya menurut hitungannya sampai kepada sultan Hasanal Bolkiah Mu’izuddin Waddaulah telah naik tahta sampai pada urutan ke-31 sultan. Perbedaaan ini disebabkan adanya sultan menaiki tahta dua kali dan ada  pula karena meninggal yang baru beberapa saat naik tahta, kemudian digantikan sultan sebelumnya.
Makam Sultan Bolkiah V Brunei
Kajian sejarah memberikan gambaran bahwa penyiaran Islam ke Brunei dilakukan oleh Da’i atau Mubaliq yang datang dari Arab dan Parsi, melalui negeri China, Indo China dan Melayu. Penemuan Arkeologi yang berangka tahun 440 H/ 1048 M, memberikan gambaran bahwa islamisasi di Brunei dari abad ke-11, penyebaranya menjadi tangung jawab para pedagang Arab dan Persia.

Pedagang tersebut melalui jalan Tiongkok, Indocina, dan Semenanjung Malaya, untuk menyebarkan Islam ke daerah terpencil Brunei (Pedalaman Tutung, Belait dan Temburong). Karna penduduk lokal (Melayu) dari ibukota yang lebih awal memeluk Islam.

Baca Juga: Sultan Bolkiah V Belajar bertani Ke Jawa

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Brunei Darussalam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel