Mu’tazilah Aliran Rasioanlis dalam Islam
Selasa, 08 Januari 2019
Tulis Komentar
MU’TAZILAH-Dilihat dari sejarah dan kiprah para pelakunya, Mu’tazilah sering dikatakan sebagai aliran dalam islam yang rasionalis, dalam aliran ini akal dijadikan semacam panduan utama ketimbang wahyu, anggapan semacam ini sebenarnya ada benar dan ada salahnya.Untuk mengenal lebih lanjut apakah aliran ini demikian atau tidak perlu dilacak dari ajaran-ajaran teologinya.
Ditinjau dari kemunculannya, Mu’tazilah muncul sebagai respons persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah karena peristiwa tahkim. Aliran Mu’tazilah muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Timbulnya aliran pemikiran teologi mu’tazilah ini memiliki banyak versi dan salah satunya menyatakan bahwa pemberian nama mu’tazilah berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil Bin ‘Atha serta temannya, ‘Amr Bin Ubaid, dan Hasan AL-Basri di Barsah.
Pada waktu Washil mengikuti pelajaran yang di berikan oleh Hasan Al-Basri di Masjid Basrah, datang seseorang yeng bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.”
Kemudian, Washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi ketempat lain di lingkungan masjid. Di sana, Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’anna).”
Menurut Asy-Syahrastani (474-548 H), kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa di atas disebut kaum Mu’tazilah.
Pada perkembangannya kelompok ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran teologi baru dalam Islam. Kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tizal , artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazilah berarti kaum yang menyisihkan diri.
Ada banyak pandangan bahkan kontroversi para ahli dalam menelusuri keawalmulaan lahirnya (istilah) Mu’tazilah. Jamali Sahrodi dalam bukunya Pengantar Falsafah Kalam (2009) misalnya banyak mengutip para ahli soal pertentangan itu, yang ia sebut sebagai sebuah kekaburan validitas sumber sejarah.
Salah satunya ketika mengutip sejumlah pertanyaan krusial yang dilontarkan oleh an-Nasyar, bahwa apakah nama Mu’tazilah itu timbul secara tiba-tiba? Atau nama itu timbul pada majlis Hasan al-Bashri? Atau juga, karena kaum muslimin dan Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah tidak menyukainya? Lebih dari semuanya, apakah nama itu merupakan perkembangan sejarah bagi prinsip-prinsip tertentu yang lahir dan kajian ilmiah dan pergulatan pemikiran (mind) di sekitar nash-nash agama?.
Sirajudin Abbas, mengemukakan sekurangnya 4 sebab-sebab mengapa kemudian kelompk ini dinamai Mu’tazilah. Salah satunya, ia menyebutkan bahwa salah satu sebab yang bisa masuk akal adalah peristiwa Wasil bin ‘Atha saat berbeda pendapat dengan gurunya, lalu ia menyisihkan diri.
Tetapi memang poros dari kata Mu’tazilah adalah menyisihkan atau mengasingkan diri. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Falah bahwa banyak pendapat bahwa Mu’tazilah yang menyisihkan diri dari majelis guru, dari masyarakat, tidak suka pakaian mewah, adalah tidak benar adanya, tetapi lebih subtantif dari itu adalah bahwa Mu’tazilah menyisihkan diri dari paham dan itikad umat Islam arus utama saat itu.
Sementara paham teologi yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dapat kita identifikasi sebagai berikut;
Pertama, bahwa Mu’tazilah menyetujui bahwa Allah itu Esa, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Allah tidak berbentuk seperi makhluk. Tetapi Allah tidak bersifat. Sirajuddin Abbas berpendapat bahwa bagi kaum Mu’tazilah, Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, Tuhan melihat dengan Zat-Nya dan Tuhan berkata dengan Zat-Nya.
Golongan Mu’tazilah menolak segala sifat yang kadim. Menurut mereka, Tuhan “mengetahui” dengan zat-Nya, “berkuasa” dengan zat-Nya, “hidup” dengan zat-Nya: bukan dengan “mengetahui” atau “berkuasa” atau “hidup”, yang dianggap sifat atau entitas yang kadim (ma’an) yang ada pada-Nya.
Kedua, rasionalisasi. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa buruk dan baiknya ditentukan oleh aqal. Mana yang baik kata aqal baiklah dia dan mana yang buruk kata aqal buruklah dia. Tetapi menurut Jamali Sahrodi, pemikiran rasional Mu’tazilah hanya terikat pada al-Qur’an dan hadits mutawatir atau minimal hadits yang diriwayatkan oleh 20 sanad.
Menurut aliran ini juga Al-Qur’an adalah makhluk Allah dan diungkapkan dalam huruf atau suara yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. pada waktu, tempat dan bahasa tertentu. Ayat-ayat-Nya yang menyebutkan tangan, wajah, mata Tuhan dan yang seperti itu hendaklah dipahami secara metaforis.
Selain itu menurut mereka, Tuhan hanya berbuat baik dan mesti berbuat baik sebagai kewajiban-Nya untuk kepentingan manusia. Ia tidak bisa dilihat dengan mata jasmani, bahkan saja di dunia, juga di akhirat.
Manusia dalam pandangan mereka mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengetahui dengan akalnya kewajiban untuk bersyukur kepada Tuhan dan mengamalkan kebaikan. Manusia memiliki kemauan bebas dan kebebasan bertindak dan terhadap kebebasannya itu Tuhan akan mengadilinya nanti di akhirat.
Ketiga, soal pendosa besar. Persoalan ini dapat dilacak dari keyakinan Wasil bin ‘Atha bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati atas dosanya tidak lagi mukmin dan tidak pula kafi tetapi di antara kafir dan mukmin. Inilah yang kemudian dikenal dengan jargon al-Manzilah bain al-Manzilatain.
Selain tiga pokok paemahaman teologi Mu’tazilah di atas, menurut Sirajuddin Abbas, bahwa Mu’tazilah juga menolak adanya mi’raj Nabi Muhammad SAW, ‘asry, malaikat Raqib dan Atid, tak ada timbangan amal, hisab, syafa’at, azab kubur, dan lain-lain.
Sedangkan al-Syahrastani mengatakan, bahwa ketika seorang mukmin meninggal dunia, taat kepada hukum Allah dan bertobat, ia berhak mendapatkan pahala, tsawab, dan imbalan (iwadh), tetapi memberikan sesuatu yang melebihi atau melampaui pahala disebut tafadhdhaul.
Ditinjau dari kemunculannya, Mu’tazilah muncul sebagai respons persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah karena peristiwa tahkim. Aliran Mu’tazilah muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Timbulnya aliran pemikiran teologi mu’tazilah ini memiliki banyak versi dan salah satunya menyatakan bahwa pemberian nama mu’tazilah berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil Bin ‘Atha serta temannya, ‘Amr Bin Ubaid, dan Hasan AL-Basri di Barsah.
Pada waktu Washil mengikuti pelajaran yang di berikan oleh Hasan Al-Basri di Masjid Basrah, datang seseorang yeng bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.”
Kemudian, Washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi ketempat lain di lingkungan masjid. Di sana, Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’anna).”
Menurut Asy-Syahrastani (474-548 H), kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa di atas disebut kaum Mu’tazilah.
Pada perkembangannya kelompok ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran teologi baru dalam Islam. Kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tizal , artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazilah berarti kaum yang menyisihkan diri.
Ada banyak pandangan bahkan kontroversi para ahli dalam menelusuri keawalmulaan lahirnya (istilah) Mu’tazilah. Jamali Sahrodi dalam bukunya Pengantar Falsafah Kalam (2009) misalnya banyak mengutip para ahli soal pertentangan itu, yang ia sebut sebagai sebuah kekaburan validitas sumber sejarah.
Salah satunya ketika mengutip sejumlah pertanyaan krusial yang dilontarkan oleh an-Nasyar, bahwa apakah nama Mu’tazilah itu timbul secara tiba-tiba? Atau nama itu timbul pada majlis Hasan al-Bashri? Atau juga, karena kaum muslimin dan Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah tidak menyukainya? Lebih dari semuanya, apakah nama itu merupakan perkembangan sejarah bagi prinsip-prinsip tertentu yang lahir dan kajian ilmiah dan pergulatan pemikiran (mind) di sekitar nash-nash agama?.
Sirajudin Abbas, mengemukakan sekurangnya 4 sebab-sebab mengapa kemudian kelompk ini dinamai Mu’tazilah. Salah satunya, ia menyebutkan bahwa salah satu sebab yang bisa masuk akal adalah peristiwa Wasil bin ‘Atha saat berbeda pendapat dengan gurunya, lalu ia menyisihkan diri.
Tetapi memang poros dari kata Mu’tazilah adalah menyisihkan atau mengasingkan diri. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Falah bahwa banyak pendapat bahwa Mu’tazilah yang menyisihkan diri dari majelis guru, dari masyarakat, tidak suka pakaian mewah, adalah tidak benar adanya, tetapi lebih subtantif dari itu adalah bahwa Mu’tazilah menyisihkan diri dari paham dan itikad umat Islam arus utama saat itu.
Sementara paham teologi yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dapat kita identifikasi sebagai berikut;
Pertama, bahwa Mu’tazilah menyetujui bahwa Allah itu Esa, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Allah tidak berbentuk seperi makhluk. Tetapi Allah tidak bersifat. Sirajuddin Abbas berpendapat bahwa bagi kaum Mu’tazilah, Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, Tuhan melihat dengan Zat-Nya dan Tuhan berkata dengan Zat-Nya.
Golongan Mu’tazilah menolak segala sifat yang kadim. Menurut mereka, Tuhan “mengetahui” dengan zat-Nya, “berkuasa” dengan zat-Nya, “hidup” dengan zat-Nya: bukan dengan “mengetahui” atau “berkuasa” atau “hidup”, yang dianggap sifat atau entitas yang kadim (ma’an) yang ada pada-Nya.
Kedua, rasionalisasi. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa buruk dan baiknya ditentukan oleh aqal. Mana yang baik kata aqal baiklah dia dan mana yang buruk kata aqal buruklah dia. Tetapi menurut Jamali Sahrodi, pemikiran rasional Mu’tazilah hanya terikat pada al-Qur’an dan hadits mutawatir atau minimal hadits yang diriwayatkan oleh 20 sanad.
Ilustrasi |
Selain itu menurut mereka, Tuhan hanya berbuat baik dan mesti berbuat baik sebagai kewajiban-Nya untuk kepentingan manusia. Ia tidak bisa dilihat dengan mata jasmani, bahkan saja di dunia, juga di akhirat.
Manusia dalam pandangan mereka mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengetahui dengan akalnya kewajiban untuk bersyukur kepada Tuhan dan mengamalkan kebaikan. Manusia memiliki kemauan bebas dan kebebasan bertindak dan terhadap kebebasannya itu Tuhan akan mengadilinya nanti di akhirat.
Ketiga, soal pendosa besar. Persoalan ini dapat dilacak dari keyakinan Wasil bin ‘Atha bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati atas dosanya tidak lagi mukmin dan tidak pula kafi tetapi di antara kafir dan mukmin. Inilah yang kemudian dikenal dengan jargon al-Manzilah bain al-Manzilatain.
Selain tiga pokok paemahaman teologi Mu’tazilah di atas, menurut Sirajuddin Abbas, bahwa Mu’tazilah juga menolak adanya mi’raj Nabi Muhammad SAW, ‘asry, malaikat Raqib dan Atid, tak ada timbangan amal, hisab, syafa’at, azab kubur, dan lain-lain.
Sedangkan al-Syahrastani mengatakan, bahwa ketika seorang mukmin meninggal dunia, taat kepada hukum Allah dan bertobat, ia berhak mendapatkan pahala, tsawab, dan imbalan (iwadh), tetapi memberikan sesuatu yang melebihi atau melampaui pahala disebut tafadhdhaul.
Belum ada Komentar untuk "Mu’tazilah Aliran Rasioanlis dalam Islam"
Posting Komentar