Asas-Asas Pemungutan Pajak

Mengenai tujuan hukum pada umumnya, kita pernah mendegar ajaran berbagai sarjana, Aristoteles yang telah terkenal dalam bukunya, Rhetorica, menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya keadilan. 

Demikian pula dalam hukum pajak karena pada hakekatnya pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta  ke sektor negara, dan dapat di paksakan. 

Agar tidak menimbulkan perlawanan, pemungutan pajak harus memenuhi syarat beberapa syarat antara lain membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak (Asas Keadilan) Asas keadilan ini harus senantiasa di pegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang- undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari. 

Inilah sendi pokok yang seharusnya di perhatikan baik-baik oleh setiap negara untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak. 

Syarat mutlak bagi pembuat undang- undang (pajak), juga syarat mutlak bagi aparatur setiap pemerintahan yang berkewajiban melaksanakannya, adalah pertimbangan-pertimbangan dan perbuatan-perbuatan yang adil pula.

Syarat keadilan dapat dibagi menjadi: Kadilan horisontal, wajib pajak mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama.Keadilan vertikal, wajib pajak mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus di kenakan pajak yang tidak sama.

Mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemumutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya bahwa pajak di kenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuan untuk membayar pajak tersebut, dengan manfaat yang di terimanya.

Lepas dari kenyataan bahwa pada pelaksanaannya pembuat undang-undang pajak harus selalu memegang teguh kepada asas keadilan, seringlah juga di persoalkan, apakah pemungutan pajak oleh suatu negara berdasarkan pula asas keadilan.

Dari abad ke abad, selalu timbul pertanyaan di dalam hati sanubari orang-orang yang berfikir panjang, apa dasar hukumnya, maka ada kewajiban membayar pajak, dengan perkataan lain: atas dasar apakah maka negara seakan-akan memberikan hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan yang disebut pajak itu, karenanya, semenjak abad ke-18 timbullah berbagai teori guna memberikan dasar-menyatakan-keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya.

Untuk memberi dasar menyatakan-keadilannya, dibawah ini dibentangkan teori-teori pajak yang dilancarkan dari zaman ke zaman:

Teori Asuransi (verzeringstheory)

Teori ini menyatakan bahwa termasuk dalam tugas negara untuk melindungi orang dan segala kepentingannya: keselamatan dan keamanan jiwa, juga harta bendanya. 

Sebagaimana juga hanya dengan setiap perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk perlindungan tersebut di atas di perlakukan pembayaran premi, dan di dalam hal ini, pajak inilah yang di anggap sebagai preminya,yang pada waktu-waktu yang tertentu harus dibayar oleh masing-masing. 

Hal inilah yang menjadi kelemahan dari teori asuransi,karena: Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara, Antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung, namun teori ini oleh para penganutnya dipertahankan, sekedar untuk memberikan dasar hukum kepada pemungutan pajak saja.

Pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh sesorang kepada perusahaan pertanggungan.

Teori Kepentingan (Belangentheory)

Teori ini dalam ajarannya yang semula, hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. 

Pembagian beban ini harus didsarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. 

Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya, dibedakan kepada seluruh penduduk tersebut. 

Terhadap teori ini pun juga mulai di tinggalkan sebab dalam ajarannya pajak di kacaukan pula dengan retribusi. Hal ini menjadi sulit karena besar kecilnya kepentingan masyarakat dihubungkan dengan tugas atau jasa pelayanan negara.

Teori Gaya Pikul

Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan  kekuatan membayar dari Wajib Pajak (individu-individu) jadi tekanan semua pajak-pajak harus sesuai dengan daya pikul Wajib Pajak dengan memerhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja wajib pajak tersebut.

Menurut Prof.W.J de Lange daya pikul adalah besarnya kekuatan sesorangn untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak kebutauhan yang primer (biaya hidup yang sangat mendasar). 

Kekuatan untuk menyerahkan uang, kepada (pajak) barulah ada, jika kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak manusia pertama adalah hak untuk hidup, maka sebagai analisir yang pertama adalah minimum kehidupan.

Menurut Mr.A.J.Cohen Stuart daya pikul diumpakan sebuah jembatan,yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani dengan beban yang lain. Beliau menyarakan bahwa yang sangat diperlukan dalam kehidupan tidak dimasukkan ke dalam daya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada jika kebetuhan-kebutuhan primer untuk hidup sudah tersedia.

Kelemahan dari teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat daya pikul sesorang,karena akan berbeda dan selalu berubah-ubah.

Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti

Teori ini didasari paham organisai negara yang mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunya tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan di pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. 

Menurut teori ini dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara, dimana negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar pajak.

Kelemahan dari teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemumutan pajak.

Teori Daya Beli 

Teori ini adalah teori modern, teori tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak melaikan banyak melihat kepada  “efeknya” dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya.

Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagia gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. 

Teori ini mengajarkan, bahwa menyelenggarakan  kepentingan masyarakat inilah yang dapat di anggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak,bukan kepentingan individu,juga bukan kepentingan negara,melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu.

Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak, yakni fungsi mengatur.

Menurut para penganutnya, termasuk Prof.Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam ekonomi bebas maupun ekonomi perencanaan yang terpimpin.

Teori-teori ini merupakan pemecahan atas dasar menyatakan keadilannya pemungutan pajak oleh negara, sehingga para ahli atau pemikir menamakannya sebagai asas menurut falsafah hukm, yang dalam “The four maxims” termasuk maxim pertama.

Meskipun demikian, beberapa prinsip telah berhasil juga di kembangkan sepanjang masa sehingga memberikan suatu kerangka yang dapat di gunakan sebagi kiteria-kiteria sistem perpajakn yang adil. Prinsip-prinsip ini adalah antara lain, prinsip manfaat, dan prinsip kemampuan membayar.

Asas Yuridis 

Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Maka mengenai pajak di negara hukum segala sesuatu harus ditetapkan dalam undang-undang. 

Juga dalam Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia dicantumkan ( dalam pasal 23 ayat 2), bahwa penegenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang. 

Rasionya mengapa pengenaan pajak harus berdasarakan undang-undang adalah sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor rakyat ke sektor pemerintahan(untuk membiayai pengeluaran negara); untuk itu tidak dapat di tunjuk kontraprestasi secara langsung terhadap individu. Padahal peralihan kekayaan dari sektor ke sektor yang lain tanpa adanya kontraprestasi, hanya dapat terjadi bila terjadi suatu hibah(wasiat).

Kemungkinan yang lain adalah, bahwa bilamana peralihan kekyaan itu terjadi karena kekerasan/paksaan, yaitu dalam peristiwa perampasan atau perampokan. Itulah sebabnya maka di inggris berlakunya suatu dalil yang berbunyi: “No taxation without respresentation”, dan Amerika: “Taxation withoutreprestation is robbery”.

Selain secara formal harus ada dipungut berdasarkan/dengan undang-undang, dalam menyusun undang-undang tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak dengan mengindahkan keempat unsur dari Alam Smith’s Canon. 

Karenanya, niscaya tidak lagi cara-cara lama akan terulang, yaitu untuk Fiskus hanya dicantumkan haknya, dan untuk wajib pajak hanya kewajibannya saja; kedua-duanya harus diatur rapi pada pihak masing-masing. In concreto secra umum tidak boleh dilupakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama : Hak-hak fiskus(yaitu Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Jendral Bea Cukai) yang telah di berikan oleh pembuat undang-undang harus dijamin dapat terlaksana dengan lancar;

Kedua : Sebaiknya para wajib pajak harus pula mendapatkan jaminan hukum, agar supaya ia tidak diperlakukan dengan sewanang-wenang oleh Fiskus dengan aparaturnya. Segala sesuatu harus diatur dengan terang dan tegas, bukan hanya mengenai kewajiban-kewajiban, melainkan juga menganai hak-hak wajib pajak.

Ketiga : jaminan terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkannya kepada instansi-instansi pajak, dan yang harus tidak disalahkan guanakan oleh penjabatnya.

Asas Ekonomis 

Selain fungsi budgeter, pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perokonomian, tidak mungkin suatu negara menghendaki merosotnya kehidupan ekonomi masyarakat;karenanya maka politik pemungutan pajakanya:

Harus diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancaranya produksi dan perdagangan.

Harus diusahakan supaya jangan menghalang-halang rakyat dalam usahanaya menuju ke kebahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum.

Kesimpulannya adalah, bahwa keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh tertanggu karenanya, bahakan harus tetap dipupuk olehnya,sesuai dengan fungsi kdeua dari pumungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.

Asas Finansial

Sesuai dengan fungsi budgeternya, maka sudah barang tentu bahwa biaya-biaya untuk mengenakan dan untuk memungutnya harus sekecil-kecilna apalagi dalam bandingan dengan pendapatannya, sebab inilah hasil yang dicapainya, yang harus dapat menyumbang banyak dalam menuntup pengeluaran-pengeluaran yang di lakukan oleh negara, termasuk juga biaya-biaya untuk aparatur Fiskus sendiri.

Di dalam prakteknya di indonesia pernah dikeluarkan suatu perintah intren untuk jawaban pajak, bahwa tunggakan-tunggakan pajak sebesar tidak lebih dari lima rupiah tidak perlu dipungut. Sungguh suatu instruksi yang bijaksana karena pikiran, tenaga, waktu, dan alat-alat untuk mengejar uang lima rupiah itu mungkin sekali nilainya lebih besar dari pada jumlah yang dikejar-kejarnya.

 Selain itu, untuk menghindarkan tertimbulnya tunggakan-tunggakn pajak, haruslah selalu diteliti, apakah syarat-syarat penting telah di penuhi untuk dapat memungut pajak dengan efektif. Syarat ini antara lain adalah bahwa pajak pengenaan pajak harus di lakukan pada saat yang terbaik bagi yang harus membayarnya, yaitu harus sedekat-dekatnya saatnya dengan saat terjadinya perbuatan, peristiwa, ataupun keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak itu, sehingga sangat mudahnya dibayar oleh orang-orang yang bersangkutan. 

Sistem ini sesuai dengan anjuran para ahli dalam hukum pajak yang mendengungkan dalil “pay as you earn”, seperti pula, bahwa pengenaan pajak tadi sangat menyusahkan wajib pajak karena hal lain-lainnya, misalnya: dalam tahun 1957 di keluarakan sekaligus surat Ketetapan Pajak Pendapatan untuk lima tahun berturut-turut mulai tahun 1952 bagi seorang. 

Celakalah wajib pajak yang bersangkutan, sebab dalam undang-undang(pajak) tidaklah ditemukan suatu peraturan yang mengatakan bahwa pengenaan pajak secara itu tidak sah. Adalah sesuai pula dengan asas finansial, bahwa bilamana pembuat undang-undang (pajak) ingin menghapuskan satu macam pajak, ia menilik terlebih dahulu, bagaimana keadaan keuangan negara. Bilamana angaran pajak tadi di pertahankan dulu untuk sementara waktu. 

Belum ada Komentar untuk "Asas-Asas Pemungutan Pajak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel