Teori Konsep Diri
Rogers, salah seorang tokoh aliran humanistik, prasyarat yang terpenting bagi aktualisasi diri adalah konsep diri yang luar dan fleksibel, sesuatu yang memungkinkan kita untuk menyerap secara luas seluruh pengalaman dan mengekspresikan diri kita secara penuh. Konsep diri sebagian besar merupakan hasil pengalaman kita pada waktu kecil, terutama pengalaman bersama orang tua kita sendiri. Semua anak secara alamiah mendambakan kehangatan dan penerimaan.
Rogers meyakini bahwa orangtua mempunyai peran yang besar dalam membantu anak-anak mereka mengembangkan self-esteem dan menempatkan mereka pada jalur self-actualization dengan menunjukkan pada mereka unconditional positive regard-memuji mereka berdasarkan nilai dari dalam diri mereka, tanpa memandang perilaku mereka pada saat itu. Dengan cara pemberian penghargaan dan penilaian yang bersifat positif inilah anak dapat mengembangkan self-actualization dan self-concept yang positif. Sebaliknya, penilaian yang bersifat negatif terhadap anak akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi mereka. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini cenderung dikeluarkan anak dari konsep diri mereka, sehingga menghasilkan konsep diri yang tidak selaras dengan organisme. Dengan konsep diri yang demikian, anak akan berusaha menjadi apa yang diinginkan oleh orang tua, dan tidak berusaha menjadi apa yang sebenarnya ia inginkan (Desmita, 2009: 46).
Leonard (2010, 343) mengatakan konsep diri terbentuk karena suatu proses umpan balik dari individu lain. Banyak penelitian yang menyatakan pengaruh positif yang diberikan oleh konsep diri terhadap hasil belajar, artinya, konsep diri merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh setiap pendidik di jenjang manapun mereka berada.
Semakin berkembang seseorang, semakin lebih mampu dia mengatasi lingkungannya. Namun, sementara dia mengetahui lingkungannya, dia pun mengetahui siapa dirinya, dan dia pun mengembangkan sikap terhadap dirinya sendiri dan perilakunya. Pengetahuan dan sikap ini dikenal sebagai konsep diri (self concept).
Hurlock (2001: 58) mengatakan bahwa konsep diri adalah gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Lebih lanjut lagi Burn (1993: i) mengatakan bahwa konsep diri adalah gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan, orang-orang berpendapat mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Konsep diri meliputi apa yang seseorang pikirkan dan rasakan tentang dirinya. Karena itu, Taylor seperti dikutip oleh Rakhmat (2003: 100), mendefinisikan konsep diri sebagai all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself. (Semua yang kita pikirkan, kita rasakan, dan kompleksitas keyakinan serta sikap yang kita pegang tentang diri kita).
Dalam bagian lain, Lussier (1996: 80) menyatakan your self-concept is your overall attitude about yourself. (Konsep dirimu adalah keseluruhan sikap tentang dirimu sendiri). Lussier menambahkan bahwa self-concept is your perception of yourself, which may not be the way others perceive you. (Konsep diri adalah persepsi kamu tentang dirimu sendiri, yang mana tidak ada cara yang lain untuk mempersepsikan dirimu). Sehingga, individu memikirkan dan merasakan tentang dirinya sendiri termasuk keyakinan dan sikapnya mengenai individu tersebut.
Konsep diri merupakan kesadaran dan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri mengenai pikiran dan berbagai persepsi tentang dirinya sendiri atau dengan kata lain bahwa sumber data utama konsep diri berasal dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, dirinya sendiri yang aktif untuk terus meneliti dan mengevaluasi mengenai keadaan dan kemampuan diri sendiri secara lengkap.
Solomon (2004: 150) berpendapat bahwa the self-concept refers to the beliefs a person holds about his or her own attributes, and how he or she evaluates these qualities. Although one’s overall self-concept may be positive, there certainly are parts of the self that are evaluated mor positively than other. (Konsep diri berhubungan dengan keyakinan yang dipegang seseorang mengenai sifatnya dan bagaimana dia mengevaluasi kualitas dari sifatnya tersebut. Walaupun secara keseluruhan konsep diri kemungkinan positif, tentu saja ada bagian dari diri kita yang dinilai lebih positif dari yang lainnya).
Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang selalu memiliki penilaian yang menurutnya dia memiliki kelebihan dalam hal atau bidang tertentu. Pesan-pesan intern mengenai diri individu, dalam kadar yang besar mengarahkan individu tersebut untuk merasakan diri dalam berhubungan dengan orang lain.
Konsep diri pada dasarnya terdiri dari dua komponen yang meliputi citra diri (self-image) yang merupakan deskripsi sederhana mengenai diri kita, serta harga diri (self-esteem) yang merupakan suatu kesatuan kepercayaan yang selalu kita bawa kemana-mana yang telah kita terima kebenarannya terlepas dari apakah itu benar atau tidak.
Meskipun konsep diri adalah milik seseorang secara individual, ternyata konsep diri juga terbentuk melalui interaksi dengan orang lain dan mengacu pada bagaimana pendapat orang tentang dirinya. Seperti yang dikatakan Mulyana (2001: 7) yang mendefinisikan konsep diri sebagai pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan oleh orang lain kepada kita.
Pandangan lain yang juga menekankan pada peran interaksi dalam proses pembentukan konsep diri tertuang dalam buah pikiran Cooley (Burns, 1993: 10) yang mengemukakan sebuah teori yang dikenal dengan teori “diri kaca cermin” (looking-glass self), dengan pemikiran bahwa konsep diri sesorang dipengaruhi dengan berarti oleh apa yang diyakini individu-individu bahwa orang-orang berpendapat mengenai dia. Kaca cermin memantulkan evaluasi-evaluasi yang dibayangkan orang-orang lain tentang seseorang.
Dari sini dapat dikatakan bahwa konsep diri ditentukan oleh apa yang seseorang pikirkan mengenai pikiran orang lain terhadapnya. Jadi menekankan pada pentingnya respon orang lain yang diinterprestasikan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri.
Proses konseptualisasi diri ini pada prinsipnya berlangsung sepanjang hayat. Konsep diri kita yang paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga, dan orang-orang dekat lainnya di sekitar kita, termasuk kerabat. Mereka itulah yang disebut dengan Significant Others. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Ketika tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita.
Persepsi individu mengenai dirinya meliputi berbagai karakteristik. Hurlock (2001: 58) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang tentang diri mereka sendiri– karakteristik fisik, psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi.
Hal senada juga dikemukakan oleh Brooks (Rakhmat, 2003: 99) yang mendefinisikan konsep diri sebagai, those physical, social, and psycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others. (Seluruh persepsi tentang diri kita termasuk dari segi fisik, sosial, dan psikologis yang kita turunkan dari pengalaman-pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain).
Dari hal di atas dapat dikatakan bahwa konsep diri merupakan pandangan, perasaan, sikap dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri yang dapat berupa fisik, psikologis dan sosial yang diperolehnya dari pengalaman dan interaksinya dengan orang lain. Citra fisik diri biasanya terbentuk pertama kali dan berkaitan dengan penampilan fisik, daya tariknya dan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya, serta pentingnya berbagai bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri seseorang di mata yang lain. Sedangkan citra psikologis didasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi yang berhubungan dengan kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, sifat-sifat seperti keberanian, kejujuran, kemandirian dan kepercayaan diri serta berbagai jenis aspirasi dan kemampuan. Untuk faktor sosial berkaitan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, peranan dan pengalaman masa lalu.
Burns (1993: 190) menyatakan konsep diri pada mulanya adalah citra tubuh, sebuah gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik. Kemudian, Pudjijogyanti (1988: 17) menambahkan bahwa penilaian yang positif terhadap keadaan fisik seseorang, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain, sangat membantu perkembangan konsep diri ke arah yang positif. Hal ini disebabkan penilaian positif akan menumbuhkan rasa puas terhadap keadaan diri. Rasa puas ini merupakan awal dari sikap positif terhadap diri sendiri.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa konsep diri itu berawal dari citra tubuh yang menggambarkan tentang keadaan fisik individu yang dinilai secara positif baik oleh diri sendiri maupun orang lain yang dapat menumbuhkan kepuasan terhadap keadaan diri individu tersebut. Aspek-aspek konsep diri seperti jenis kelamin, agama, kesukuan, pendidikan, pengalaman, rupa fisik kita, dan sebagainya, kita internalisasikan lewat pernyataan (umpan balik) orang lain yang menegaskan aspek-aspek tersebut kepada kita, yang pada gilirannya menuntut kita berperilaku sebagaimana orang lain memandang kita. Penilaian orang-orang di sekitarnya akan turut membantu individu tersebut untuk menilai dan mengevaluasi dirinya.
Konsep diri seseorang itu terdiri dari konsep diri yang positif dan konsep diri negatif. Menurut Rakhmat (2003:105), orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan 5 hal, yakni: (1) Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah, (2) Merasa setara dengan orang lain, (3) Menerima pujian tanpa rasa malu, (4) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat, dan (5) Mampu memperbaiki dirinya. Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif ditandai pula dengan 5 hal, yakni: (1) Peka pada kritik, (2) Responsif sekali terhadap pujian, (3) Sikap hiperkritis, (4) Merasa tidak disenangi orang lain, dan (5) Sikap pesimis.
Jadi, arah konsep diri individu yang positif dan negatif erat kaitannya dengan pembentukan konsep diri individu itu sendiri. Persepsi individu terhadap dirinya juga sangat mempengaruhi setiap aspek pengalaman hidupnya sehari-hari, termasuk dalam dunia kerja khususnya di bidang pendidikan. Konsep diri dalam proses pendidikan dibina melalui langkah melihat diri sendiri dan mulai membuat pernyataan-pernyataan tentang diri sendiri seperti individu tersebut melihat dirinya sendiri. Coyle (Lussier, 1996: 82) menyatakan bahwa self-concept affects individual’s performance and productivity in a variety of ways in the workplace on a daily basis. (Konsep diri dapat mempengaruhi produktivitas dan kinerja individu dalam berbagai lingkungan kerja sehari-hari).
Selanjutnya Tom Peter (Lussier, 1996: 82) menambahkan bahwa “states that worker’s self-concept is the key to their performance, which in turn affects the organization’s performance through the system effect”. (Konsep diri pekerja adalah kunci untuk kinerja mereka, yang mana akan mempengaruhi kinerja organisasi melalui perubahan sistem). Kemudian Lussier (Lussier, 1996: 82) mengemukakan bahwa in many respects, people with negative self-concept perform less well than people with positive self-concept. Low performance contributes to low self-concept, which in turn reinforces low self-esteem. (Orang dengan konsep diri yang negatif kinerjanya kurang baik daripada orang dengan konsep diri yang positif. Kinerja yang rendah dipengaruhi oleh konsep diri yang rendah, yang mana pada gilirannya penghargaan pada dirinya pun akan rendah).
Dari uraian teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri dalam penelitian ini merupakan pandangan, perasaan dan penilaian yang dimiliki seseorang mengenai diri sendiri yang didapat dari proses pengamatan terhadap diri sendiri maupun menurut persepsi orang lain berupa karakteristik fisik, psikologis dan sosial.
Belum ada Komentar untuk " Teori Konsep Diri"
Posting Komentar