Pengertian dan Aspek Pembentuk Resiliensi
Kamis, 20 Agustus 2020
Tulis Komentar
Resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melaksanakan perubahan sehubungan dengan ujian yang dialami. Resiliensi juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk dapat bangkit kembali setelah mengalami situasi traumatis. (Hadianti, Nurwati, & Darwis, 2017).
Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang di alami dalam kehidupannnya (Shatte, 2002)
Holaday (1997) individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress yang ekstrim dan kesengsaraan. Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan atau bangkit dalam mengatasi segala tekanan-tekanan.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah suatu keadaan dimana individu sedang mengalami keadaan yang sulit baik secara fisik maupun mental lalu individu tersebut mampu untuk mengatasi segala kesulitannya dan mampu beradaptasi sehingga menjadi lebih kuat menghadapi masalah yang dialaminya.
Kemampuan mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat tentu kapasitasnya muncul karena beberapa aspek pembentuk resiliensi.Menurut Reivich dan Shatte (2002) terdapat tujuh aspek yang membentuk resiliensi, yaitu:
Reivich dan Shatte, mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melaukan regulasi emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stres yang dialami oleh individu.
Reivich dan Shatte menjabarkan pencegahan dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan pada dirinya sendiri, seprti “apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?”, “apakah manfaat dari ini semua?”.
Optimisme adalah perasaan dimana seseorang melihat bahwa masa depannya cemerlang dan bahagia. Jika individu memiliki optimisme yang tinggi menandakan bahwa individu tersebut yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau masalah yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan self-efficacy yang dimiliki seseorang yaitu kepercayaan individu bahwa ia dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dan mapu mengendalikan hidupnya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi dan kesuksesan.
Seligman (dalam Reivich dan Shatte) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab maslaah yaitu gaya berpikir explanatory. Gaya berpikir explanatory adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang di alami dalam kehidupannnya (Shatte, 2002)
Holaday (1997) individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress yang ekstrim dan kesengsaraan. Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan atau bangkit dalam mengatasi segala tekanan-tekanan.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah suatu keadaan dimana individu sedang mengalami keadaan yang sulit baik secara fisik maupun mental lalu individu tersebut mampu untuk mengatasi segala kesulitannya dan mampu beradaptasi sehingga menjadi lebih kuat menghadapi masalah yang dialaminya.
Aspek Pembentuk Resiliensi
Pskologi didalamnya mengenal istilah resiliensi, secara istilah resiliensi bermaksud kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang di alami dalam kehidupannnya.Kemampuan mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat tentu kapasitasnya muncul karena beberapa aspek pembentuk resiliensi.Menurut Reivich dan Shatte (2002) terdapat tujuh aspek yang membentuk resiliensi, yaitu:
Regulasi Emosi (Emotion Regulation)
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tenang ketika kondisi sedang tertekan. Kemampuan regulasi emosi dalam diri individu dapat membantu dalam memecahkan suatu permasalahan karena mampu mengeskpresikan emosi positif maupun negatif dengan tepat dan dapat mengendalikan emosi negatif dalam dirinya.Reivich dan Shatte, mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melaukan regulasi emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stres yang dialami oleh individu.
Pengendalian Impuls (Impulse Control)
Pengendalian impuls merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalamu perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka.Reivich dan Shatte menjabarkan pencegahan dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan pada dirinya sendiri, seprti “apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?”, “apakah manfaat dari ini semua?”.
Optimisme (Optimism)
Individu yang optimis adalah individu yang memiliki resiliensi tinggi karena mereka yakin bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka juga memiliki harapan yang baik dan tinggi untuk masa depannya.Optimisme adalah perasaan dimana seseorang melihat bahwa masa depannya cemerlang dan bahagia. Jika individu memiliki optimisme yang tinggi menandakan bahwa individu tersebut yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau masalah yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan self-efficacy yang dimiliki seseorang yaitu kepercayaan individu bahwa ia dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dan mapu mengendalikan hidupnya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi dan kesuksesan.
Analisis Penyebab Masalah (Causal Analysis)
Analisis penyebab masalah merupakan kemampuan individu dalam mengidentifikasi penyebab setiap masalah yang dihadapinya dengan akurat. Menurut Reivich dan Satte individu yang resilien tidak akan meilmpahkan kesalahannya pada orang lain hanya untuk menghindari diri mereka sendiri dari rasa bersalah.Seligman (dalam Reivich dan Shatte) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab maslaah yaitu gaya berpikir explanatory. Gaya berpikir explanatory adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Belum ada Komentar untuk "Pengertian dan Aspek Pembentuk Resiliensi "
Posting Komentar