Zaman Kaliyuga Bunga Pralaya dan Runtuhnya Pajajaran
Rabu, 24 Juni 2020
Tulis Komentar
Tahun 1535 Masehi, Prabu Sanghiyang Surawisesa wafat. la digantikan oleh puteranya, Prabu Ratudewata. Prabu Ratudewata memperisteri Ratu Sanghiyang, adik Ratu Wiratala, putera Adipati Surakerta (Sunda Kalapa). la menjalankan kehidupan seperti Rajaresi. Berpuasa, hanya meminum susu (lumaku ngarajaresy tapa pwah susu).
Pada masa pemerintahannya, sudah tidak lagi menghargai keagamaan. Pendeta sakti di Sumedang, dianiaya. Pendeta di Ciranjang, dibunuh tanpa dosa. Pendeta di Jayagiri, mati ditenggelamkan ke dasar laut. Akan tetapi, ada pendeta sakti, Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan ke dasar laut, tapi tidak mati. la tetap hidup, menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Sang Prabu Ratudewata, tidak memperdulikan perjanjian Pakungwati-Pajajaran, yang telah disepakati ayahnya. Beberapa wilayah bawahan yang telah dikuasai oleh Pakungwati Cirebon, direbutnya kembali. Bahkan banyak tajug (masjid) yang dirusak dan pondok (pesantren) yang dirampok.
Pasukan bersenjata Sang Prabu Ratudewata, senantiasa menciptakan huru hara, keonaran, dan melakukan kejahatan terhadap masyarakat. Mereka sudah mengingkari etika purbatisti purbajati Sunda, Sanghiyang Siksakandang Karesian, yang diamanatkan oleh Sri Baduga Maharaja.
Oleh karena itulah, tibalah bencana serangan musuh "kasar" (nampak nyata), tidak diketahui asal usulnya (datang na bancana musuh ganas tambuh sangkane). Perang di Buruan Ageung (Alun alun) (prangrang di buruan ageung).
Pada tahun 1465 Saka (1543 Masehi), pasukan bersenjata Surasowan Wahanten, di bawah komando Panembahan Hasanuddin, didampingi puteranya (Panglima Maulana Yusuf), menyerang ibukota Pakuan Pajajaran.
Serangan laskar Surasowan Wahanten, sangat beralasan. Karena, karakter penguasa Sunda Pajajaran yang mereka hadapi, sudah jauh mengingkari karakter leluhurnya, Sri Baduga Maharaja. Sesungguhnya, berdasarkan hak historis alur darah keturunan, Panembahan Hasanuddin adalah cicitnya Sri Baduga Maharaja. la pun akhli waris tahta Sunda Pajajaran.
Dalam pertempuran sengit di Alun alun kota Pakuan, Sang Prabu Ratudewata, Adipati Wiralaya (Rata Sanghiyang), Adipati Dharmabhuwana (Ratu Sarendet), pejabat, perwira, pengawal raja, ponggawa ponggawa kerajaan, tewas berjatuhan.
Kemungkinan, serangan laskar "tambuh sangkane" (tanpa identitas resmi) itu, tidak sungguh sungguh, hanya sebagai "pemanasan" laskar Surasowan. Mengingat, ayahnya, Susuhunan Jati Cirebon, masih terikat oleh perjarijian Pakungwati Pajajaran.
Atau boleh jadi, serangan kilat ke kota Pakuan itu, sekaligus merupakan "unjuk rasa", akibat tidak langsung dari peristiwa penobatan Pangeran Pasarean. Sebagai anak sulung dari isteri pertama Susuhunan Jati (Kawung Anten), Panembahan Hasanuddin lebih berhak atas tahta Pakungwati Cirebon. Sebab, setelah puas melakukan serangan kilat ke kota Pakuan, laskar Surasowan Wahanten ditarik mundur, melanjutkan gerakannya ke arah utara. Serangan terjadi ke wilayah Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri.
Penulis naskah kuna Kropak 406 Carita Parahiyangan, menyindir tajam kelakuan Prabu Ratudewata "Ya, berhati hatilah orang orang yang hidup di kemudian hari, janganlah engkau kalah perang karena rajin berpuasa" (nya iyatnayatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan). Prabu Ratudewata menjadi Raja Sunda Pajajaran, selama 8 tahun. Dari tahun 1457 Saka (1535 Masehi), hingga tahun 1465 Saka (1543 Masehi).
Selanjutnya Prabu Ratudewata digantikan oleh menantunya, Sang Prabu Sakti Sang Mangabatan. Prameswari Sang Prabu Sakti adalah Dewi Sekarwangi, puteri Prabu Ratudewata.
Jika mertuanya bersikap pura pura alim (lumaku ngarajaresi), Sang Prabu Sakti bertindak sangat kejam. Ketika situasi Kerajaan Sunda Pajajaran sudah kian memburuk, ia bertindak sesuka hatinya, tidak lagi mentaati norma pemerintahan. la membunuh orang tidak berdosa, merampas tanpa rasa malu, tidak hormat terhadap yang tua, dan menghinakan para pendeta (mati mati wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prege, lan bakti ring wong atuha, asampe ring sang pandita).
Puncak kebiadabannya, Sang Prabu Sakti memperisteri estri larangan, dan memperisteri ibu tirinya, janda dari ayahnya, Prabu Ratudewata. Prabu Sakti diturunkan dari tahtanya, akibat perilaku buruk seorang raja, terkena bencana oleh wanita terlarang dari luar dan oleh ibu tiri (kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana arnbu tere).
Prabu Sakti masih beruntung. Pada masa pemerintahannya, sebagian besar pasukan Surasowan Wahanten, tahun 1546 Masehi sudah berada di Jepata. Keberadaannya di sana, atas permohonan bantuan Sultan Trenggono, untuk ikut menyerang Pasuruan.
Keberangkatannya ke Demak, Panembahan Hasanuddin mengikutsertakan armada Portugis, yang dipimpin oleh Fernao Mendes Pinto atau Tome Pinto. la salah seorang penandatangan perjanjian Pajajaran Portugis 21 Agustus 1522 Masehi di Pakuan. Dalam buku Peregrinacao (Penjelajahan), Fernao Mendes Pinto (1510 1583), mencatat semua kejadian, sejak ia berangkat dari Goa memakai jung (kapal layar) Fedro de Faria.
Sebagian dari catatan perjalanannya, adalah sebagai berikut:
Ketika ia datang di pelabuhan Banten, raja sendiri yang datang menjemputnya dan menyertainya ke tempat peristirahatan besar di istana lalu diterima oleh isterinya dan raja sendiri kemudian pergi ke bangunan lain.
Raja raja di sini telah biasa menyerahkan urusan kerajaan yang penting ditangani para wanita terutama bila kelancaran urusan tergantung kepada mereka. Hal demikian itu tidak saja mengenai permohonan bantuan urusan pribadi raja dan para perunding wanita umumnya telah berumur dan pandai menimbang-nimbang, serta memiliki beberapa persyaratan lainnya lagi.
Setelah Niay Pombaya menyampaikan pesan yang dibawanya kepada raja Sunda, bertolaklah ia dari kota Banten dan raja menyediakan tandu untuknya. la membawa armada yang terdiri atas 30 calalulez dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalanan dan peralatan perang. Dalarn 40 kapal itu terdapat 7.000 orang, tidak terbitung para pendayung.
Dari 46 orang Portugis yang kebetulan sedang berusaha di Banten, 40 orang ikut serta dan dengan kejadian ini raja berjanji akan membantu perdagangan Portugis di Banten. Dengan demikian, pergi mengikuti ekspedisi perang ini (merupakan kesempatan yang) tak dapat dilewatkan.
Raja Sunda bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 Januari 1546 dan tiba pada tanggal 19 bulan itu di kota Jepara. Di sana peralatan perang sedang disiapkan (Danasasmita, 1984: 46 47).
Fernao Mendes Pinto, tidak mengetahui kekerabatan utusan Niay Pombaya dengan Bupati Hasanuddin. Niay Pombaya yang dimaksud Fernao Mendes Pinto, adalah Nyai Pembayun, isterinya Fadhillah Khan, adik Sultan Trenggono.
Tagaril yang dimaksud Fernao Mendes Pinto, adalah Ki Fadil, panggilan Fadhillah Khan sehari hari. Berdasarkan pendengaran, masyarakat Sunda Kalapa sendiri, menyebut Fadhillah Khan menjadi "Palatehan", dan menyebut Fadhillah menjadi "Patahilah"
Ketika Fernao Mendes Pinto mencatatnya, Fadhillah Khan sedang berada di Surasowan Wahanten (Banten). Dari pendengaran, ia beranggapan bahwa "Adipati Sunda Kalapa" Fadhillah Khan itu adalah "raja Sunda".
Adanya anggapan seperti itu, dikuatkan oleh peran Fadhillah Khan, nampak lebih menonjol jika dibandingkan dengan Maulana Hasanuddin. Sebab, selain menjadi Bupati Sunda Kalapa, Fadhillah Khan berperan pula sebagai menantu Susuhunan Jati Cirebon, karena pernikahannya dengan Ratu Ayu janda Pangeran Sabrang Lor.
Fadhillah Khan, mempunyai kedudukan penting lainnya, yaitu sebagai panglima angkatan perang di Demak yang diperbantukan pula di Pakungwati Cirebon. Di dalam pemerintahan Pakungwati Cirebon, Fadhillah Khan merupakan "orang ketiga", setelah Susuhunan Jati dan Pangeran Pasarean. Sedangkan Maulana Hasanuddin, baru berperan sebagai Adipati Wahanten, berada di bawah kekuasaan Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu dapat dimaklumi, kalau Fernao Mendes Pinto menyangka "raja" Wahanten dan Sunda adalah di bawah kekuasaan Fadhillah Khan (Tagaril).
Dari catatan Fernao Mendes Pinto, yang penting diperhatikan, adalah tentang adanya hubungan multilateral, antara Wahanten Sunda Kalapa Pakungwati Demak Portugis. Portugis yang semula dimusuhi, bagi kepentingan mitra dagang, akhirrya menjadi "negara sahabat".
Bahkan, Portugis diijinkan membuka kantor dagang di pelabuhan Wahanten Pasisir, serta menempatkan armada lautnya di sana. Portugis menerima kenyataan seperti itu, karena semua pelabuhan milik Kerajaan Sunda (Pajajaran), dianggap sudah berada "di bawah pengaruh" Demak. Sehingga Fernao Mendes Pinto mencatatnya, bahwa raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia.
Kembali kepada Prabu Sakti, penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran. Penulis Kropak 406 Carita Parahiyangan, memperingatkan: Jangan ditiru oleh mereka yang kemudian, kelakuan raja ini (aja tirut de sang kawuri, polah sang nata).
Prabu Sakti menjadi Raja Sunda Pajajaran selama 8 tahun, dari tahun 1465 Saka (1543 Masehi), hingga tahun 1473 Saka (1551 Masehi). la wafat di Pengpelangan.
Sang Prahu Sakti digantikan oleh puteranya, Sang Prabu Nilakendra, yang dikenal pula dengan sebutan Sang Penguasa di Majaya (Tohaan di Majaya).
Pada masa pemerintahannya, keadaan Kerajaan Sunda (Pajajaran) sudah demikian rusak. Sehingga penulis Kropak 406 Carita Parahiyangan, mencatat pada masa pemerintahannya, dianggap sudah tibanya kaliyuga (jaman kali). Jaman yang sudah berada di ambang pralaya (kiamat, kehancurarr), yang hanya menampilkan kejahatan dan kemaksiatan.
Pemerintahan Prabu Nilakendra dijadikan pertanda, bahwa tidak akan lama lagi, Kerajaan Sunda (Pajajaran) akan pralaya, akibat angkara murka penguasanya. Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa puas dengan tanaman yang sudah ada (wong huma darpa mamangan, tan igar yan ta pepelakan).
Pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra, keagamaan Sunda (purbatisti purbajati Sunda), sudah dicampakkan jauh-jauh. Prabu Nilakendra "memuja bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun taman berbalai tanah diperkeras dengan batu, yang mengapit gerbang terlarang. Yang mendirikan bangunan megah 17 baris, dilukis dengan emas, menggambarkan bermacam-macam dongeng mitos (nu ngibuda sanghiyang panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapikeun dora larangan. Nu migawe bale bobot pitu welas jajar tinulis pinarada warnana cacaritaan).
Setiap saat, keraton Pakuan Pajajaran, dimeriahkan oleh pesta pora. Makan enak, sambil minum minum "air yang memabukkan sebagai penyedap makanan" (cai tiningkalan nidra wisaya ning baksakilang) sampai mabuk. Bagi Prabu Nilakendra, tidak ada ilmu yang disukainya, kecuali perihal makarran lezat yang sesuai dengan kekayaannya (tatan agama gyan kwaliya rnarnangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar).
Prabu Nilakendra adalah penganut Tantrayana, yang sangat percaya kepada khasiat rnantera dan ajimat. Tantrayana, adalah kepercayaan mistis sinkretis, yang mengadopsi spiritual Budha dan Hindu. Akan tetapi, Tantrayana yang dianut oleh Prabu Nilakendra, telah,jauh mengingkari agama Budha dan Hindu yang sesunggulmya.
Makan minum sampai mabuki, itulah, untuk mempercepat proses tak sadarkan diri, dalam mendahului upacara Tantrayana. Pikukuh (ajaran) Sunda tentang "makan sekedar pelapas lapar, minum tuak sekedar pelepas dahaga" (nyatu tamba ponyo, nginum tuak tamba hanaang) telah ditinggalkan lama sekali.
Semua itu dilakukan oleh Prabu Nilakendra, dalam keadaan Kerajaan Sunda Pajajaran terancam musuh, serta dihantui bencana kelaparan. Itulah bunga pralaya yang disebut kaliyuga. Kerajaan Sunda Pajajaian telah berada di ambang pintu kiamat.
Pada tahun 1567 Masehi, serangan besar besaran laskar Surasowan Wahanten tiba, menembus jantung ibukota Pakuan. bendera keramat, jimat-jimat, mantera-mantera Tantrayana, tidak sanggup menahan gema "Allahhu Akbar" laskar Surasowan Wahanten. secepat kilat, pertahanan pasukan Pakuan Pajajaran dilumpuhkan.
Serangan laskar Surasowan Wahanten kali ini, sangat menarik untuk dicermati. Manakala tahta Kerajaan Sunda Pajajaran, sudah tidak lagi dipegang oleh keturunan Sri Baduga Maharaja. Sebab, ayahnya Prabu Nilakendra, yaitu Prabu Sakti, adalah menantu Prabu Ratudewata.
Panembahan Hasanuddin sebagai cicit Sri Baduga Maharaja, mempunyai hak yang sama, dengan para penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran. Selain itu, ia telah membuktikan, bahwa Surasowan Wahanten, adalah negeri yang kuat. Untuk melumpuhkan Kerajaan Sunda Pajajaran, tidak memerlukan bantuan Pakungwati atau pun Demak.
Tidak direbut dan tidak didudukinya kota Pakuan secara total, hanya disebabkan oleh rasa hormat kepada orang tuanya, Susuhunan Jati Cirebon, sebagai penanda tangan perjanjian Pakungwati Pajajaran.
Persoalan merebut wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat. Berita tentang serangan kedua laskar Surasowan ini, dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, hanya tertulis secara singkat; Tohaan di Majaya kalah perang, karena itu tidak tinggal di Keraton (tohaan di majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan).
Tidak pernah ada berita, di mana Prabu Nilakendra dipusarakan. Mungkin dia tewas di pengungsian. Prabu Nilakendra berkuasa selama 16 tahun, dari tahun 1473 Saka (1551 Masehi), hingga tahun 1489 Saka (1567 Masehi). Kerajaan Sunda Pajajaran telah ditinggalkan oleh rajanya. Nasib kehidupan kota Pakuan, hanya dipercayakan kepada para pembesar yang tersisa, yang tidak menyertainya ke pengungsian.
Pada masa pemerintahannya, sudah tidak lagi menghargai keagamaan. Pendeta sakti di Sumedang, dianiaya. Pendeta di Ciranjang, dibunuh tanpa dosa. Pendeta di Jayagiri, mati ditenggelamkan ke dasar laut. Akan tetapi, ada pendeta sakti, Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan ke dasar laut, tapi tidak mati. la tetap hidup, menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Sang Prabu Ratudewata, tidak memperdulikan perjanjian Pakungwati-Pajajaran, yang telah disepakati ayahnya. Beberapa wilayah bawahan yang telah dikuasai oleh Pakungwati Cirebon, direbutnya kembali. Bahkan banyak tajug (masjid) yang dirusak dan pondok (pesantren) yang dirampok.
Pasukan bersenjata Sang Prabu Ratudewata, senantiasa menciptakan huru hara, keonaran, dan melakukan kejahatan terhadap masyarakat. Mereka sudah mengingkari etika purbatisti purbajati Sunda, Sanghiyang Siksakandang Karesian, yang diamanatkan oleh Sri Baduga Maharaja.
Oleh karena itulah, tibalah bencana serangan musuh "kasar" (nampak nyata), tidak diketahui asal usulnya (datang na bancana musuh ganas tambuh sangkane). Perang di Buruan Ageung (Alun alun) (prangrang di buruan ageung).
Pada tahun 1465 Saka (1543 Masehi), pasukan bersenjata Surasowan Wahanten, di bawah komando Panembahan Hasanuddin, didampingi puteranya (Panglima Maulana Yusuf), menyerang ibukota Pakuan Pajajaran.
Serangan laskar Surasowan Wahanten, sangat beralasan. Karena, karakter penguasa Sunda Pajajaran yang mereka hadapi, sudah jauh mengingkari karakter leluhurnya, Sri Baduga Maharaja. Sesungguhnya, berdasarkan hak historis alur darah keturunan, Panembahan Hasanuddin adalah cicitnya Sri Baduga Maharaja. la pun akhli waris tahta Sunda Pajajaran.
Dalam pertempuran sengit di Alun alun kota Pakuan, Sang Prabu Ratudewata, Adipati Wiralaya (Rata Sanghiyang), Adipati Dharmabhuwana (Ratu Sarendet), pejabat, perwira, pengawal raja, ponggawa ponggawa kerajaan, tewas berjatuhan.
Kemungkinan, serangan laskar "tambuh sangkane" (tanpa identitas resmi) itu, tidak sungguh sungguh, hanya sebagai "pemanasan" laskar Surasowan. Mengingat, ayahnya, Susuhunan Jati Cirebon, masih terikat oleh perjarijian Pakungwati Pajajaran.
Atau boleh jadi, serangan kilat ke kota Pakuan itu, sekaligus merupakan "unjuk rasa", akibat tidak langsung dari peristiwa penobatan Pangeran Pasarean. Sebagai anak sulung dari isteri pertama Susuhunan Jati (Kawung Anten), Panembahan Hasanuddin lebih berhak atas tahta Pakungwati Cirebon. Sebab, setelah puas melakukan serangan kilat ke kota Pakuan, laskar Surasowan Wahanten ditarik mundur, melanjutkan gerakannya ke arah utara. Serangan terjadi ke wilayah Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri.
Penulis naskah kuna Kropak 406 Carita Parahiyangan, menyindir tajam kelakuan Prabu Ratudewata "Ya, berhati hatilah orang orang yang hidup di kemudian hari, janganlah engkau kalah perang karena rajin berpuasa" (nya iyatnayatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan). Prabu Ratudewata menjadi Raja Sunda Pajajaran, selama 8 tahun. Dari tahun 1457 Saka (1535 Masehi), hingga tahun 1465 Saka (1543 Masehi).
Selanjutnya Prabu Ratudewata digantikan oleh menantunya, Sang Prabu Sakti Sang Mangabatan. Prameswari Sang Prabu Sakti adalah Dewi Sekarwangi, puteri Prabu Ratudewata.
Jika mertuanya bersikap pura pura alim (lumaku ngarajaresi), Sang Prabu Sakti bertindak sangat kejam. Ketika situasi Kerajaan Sunda Pajajaran sudah kian memburuk, ia bertindak sesuka hatinya, tidak lagi mentaati norma pemerintahan. la membunuh orang tidak berdosa, merampas tanpa rasa malu, tidak hormat terhadap yang tua, dan menghinakan para pendeta (mati mati wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prege, lan bakti ring wong atuha, asampe ring sang pandita).
Puncak kebiadabannya, Sang Prabu Sakti memperisteri estri larangan, dan memperisteri ibu tirinya, janda dari ayahnya, Prabu Ratudewata. Prabu Sakti diturunkan dari tahtanya, akibat perilaku buruk seorang raja, terkena bencana oleh wanita terlarang dari luar dan oleh ibu tiri (kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana arnbu tere).
Prabu Sakti masih beruntung. Pada masa pemerintahannya, sebagian besar pasukan Surasowan Wahanten, tahun 1546 Masehi sudah berada di Jepata. Keberadaannya di sana, atas permohonan bantuan Sultan Trenggono, untuk ikut menyerang Pasuruan.
Keberangkatannya ke Demak, Panembahan Hasanuddin mengikutsertakan armada Portugis, yang dipimpin oleh Fernao Mendes Pinto atau Tome Pinto. la salah seorang penandatangan perjanjian Pajajaran Portugis 21 Agustus 1522 Masehi di Pakuan. Dalam buku Peregrinacao (Penjelajahan), Fernao Mendes Pinto (1510 1583), mencatat semua kejadian, sejak ia berangkat dari Goa memakai jung (kapal layar) Fedro de Faria.
Sebagian dari catatan perjalanannya, adalah sebagai berikut:
E partindo da guy para a cumda, em dezassete dias chequey ao porto de Banta, que he onde comummente os Portugueses fazem sue fazenda. E porque neste tempo a terra estaua muyto falta da pimenta que hiamos buscar, nos foy forcado inuernarmos aly aquelle anno;com determinacao de para o outro seguinte nos irmos para a China. E suendo ja quasi dour mews qestauamos neste porn fazendo pacifiamente nossas mercancias na terra, veyo tera ella por mandado del Rey de Damrna, Emperador de toda a illla da Iaoa, Angenia, Bale, I Madura, cotodas as mail ilhas deste arapelago, hue moltrer que se charnaua Nhay Pombaya; Bona viuua de quasi sessenda annos de idade, aqual vinha de sua pane dar recado ao Tagaril Rey da cmnda, que tambem era seu vassafo como os mais Reys desta monarchia, paraque pessoalmete, em termo de mes I meyo fosse ter com elle a cidade de lapara onde entao se fazia prestes para yr sobre o reyno de Passeruao.
Terjemahannya:
Begitu berangkat (dari Malaka) menuju Sunda, dalam jangka tujuh belas hari saya sampai di pelabuhan Banta (Banten), tempat orang Portugis biasanya berdagang. Akan tetapi, karena negeri pada saat itu mengalami penipisan persediaan lada yang kami cari, maka kami terpaksa melewatkan musim hujan tahun ini di sana, dengan maksud perjalanan ke Tiongkok pada tahun berikutnya.Tatkala kami sudah berada di pelabuhan ini selama hampir dua bulan, dan dengan tenang berdagang di pasar setempat, seorang wanita bernama Nyai Pombaya tiba di sana sebagai duta sultan dari Demak. Dialah kaisar Pulau Jawa, Kangean, Bali, Madura dan semua pulau lain di kepulauan ini. Dialah seorang janda berusia menjelang enam puluhan. Dia diutus untuk menyampaikan suatu pesan atas nama kaisar kepada Tagaril, Raja Sunda, yang juga menjadi bawahannya, sama seperti semua raja lain dalam kekaisaran ini. Maksudnya, supaya dalam jangka waktu satu setengah bulan ia hendak menghadapnya secara pribadi di kota Japara, tempat ia sedang melakukan persiapan untuk menyerang Kerajaan Pasuruan (Heuken,1999: 90).Ketika ia datang di pelabuhan Banten, raja sendiri yang datang menjemputnya dan menyertainya ke tempat peristirahatan besar di istana lalu diterima oleh isterinya dan raja sendiri kemudian pergi ke bangunan lain.
Raja raja di sini telah biasa menyerahkan urusan kerajaan yang penting ditangani para wanita terutama bila kelancaran urusan tergantung kepada mereka. Hal demikian itu tidak saja mengenai permohonan bantuan urusan pribadi raja dan para perunding wanita umumnya telah berumur dan pandai menimbang-nimbang, serta memiliki beberapa persyaratan lainnya lagi.
Setelah Niay Pombaya menyampaikan pesan yang dibawanya kepada raja Sunda, bertolaklah ia dari kota Banten dan raja menyediakan tandu untuknya. la membawa armada yang terdiri atas 30 calalulez dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalanan dan peralatan perang. Dalarn 40 kapal itu terdapat 7.000 orang, tidak terbitung para pendayung.
Dari 46 orang Portugis yang kebetulan sedang berusaha di Banten, 40 orang ikut serta dan dengan kejadian ini raja berjanji akan membantu perdagangan Portugis di Banten. Dengan demikian, pergi mengikuti ekspedisi perang ini (merupakan kesempatan yang) tak dapat dilewatkan.
Raja Sunda bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 Januari 1546 dan tiba pada tanggal 19 bulan itu di kota Jepara. Di sana peralatan perang sedang disiapkan (Danasasmita, 1984: 46 47).
Fernao Mendes Pinto, tidak mengetahui kekerabatan utusan Niay Pombaya dengan Bupati Hasanuddin. Niay Pombaya yang dimaksud Fernao Mendes Pinto, adalah Nyai Pembayun, isterinya Fadhillah Khan, adik Sultan Trenggono.
Tagaril yang dimaksud Fernao Mendes Pinto, adalah Ki Fadil, panggilan Fadhillah Khan sehari hari. Berdasarkan pendengaran, masyarakat Sunda Kalapa sendiri, menyebut Fadhillah Khan menjadi "Palatehan", dan menyebut Fadhillah menjadi "Patahilah"
Ketika Fernao Mendes Pinto mencatatnya, Fadhillah Khan sedang berada di Surasowan Wahanten (Banten). Dari pendengaran, ia beranggapan bahwa "Adipati Sunda Kalapa" Fadhillah Khan itu adalah "raja Sunda".
Adanya anggapan seperti itu, dikuatkan oleh peran Fadhillah Khan, nampak lebih menonjol jika dibandingkan dengan Maulana Hasanuddin. Sebab, selain menjadi Bupati Sunda Kalapa, Fadhillah Khan berperan pula sebagai menantu Susuhunan Jati Cirebon, karena pernikahannya dengan Ratu Ayu janda Pangeran Sabrang Lor.
Fadhillah Khan, mempunyai kedudukan penting lainnya, yaitu sebagai panglima angkatan perang di Demak yang diperbantukan pula di Pakungwati Cirebon. Di dalam pemerintahan Pakungwati Cirebon, Fadhillah Khan merupakan "orang ketiga", setelah Susuhunan Jati dan Pangeran Pasarean. Sedangkan Maulana Hasanuddin, baru berperan sebagai Adipati Wahanten, berada di bawah kekuasaan Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu dapat dimaklumi, kalau Fernao Mendes Pinto menyangka "raja" Wahanten dan Sunda adalah di bawah kekuasaan Fadhillah Khan (Tagaril).
Dari catatan Fernao Mendes Pinto, yang penting diperhatikan, adalah tentang adanya hubungan multilateral, antara Wahanten Sunda Kalapa Pakungwati Demak Portugis. Portugis yang semula dimusuhi, bagi kepentingan mitra dagang, akhirrya menjadi "negara sahabat".
Bahkan, Portugis diijinkan membuka kantor dagang di pelabuhan Wahanten Pasisir, serta menempatkan armada lautnya di sana. Portugis menerima kenyataan seperti itu, karena semua pelabuhan milik Kerajaan Sunda (Pajajaran), dianggap sudah berada "di bawah pengaruh" Demak. Sehingga Fernao Mendes Pinto mencatatnya, bahwa raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia.
Kembali kepada Prabu Sakti, penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran. Penulis Kropak 406 Carita Parahiyangan, memperingatkan: Jangan ditiru oleh mereka yang kemudian, kelakuan raja ini (aja tirut de sang kawuri, polah sang nata).
Prabu Sakti menjadi Raja Sunda Pajajaran selama 8 tahun, dari tahun 1465 Saka (1543 Masehi), hingga tahun 1473 Saka (1551 Masehi). la wafat di Pengpelangan.
Sang Prahu Sakti digantikan oleh puteranya, Sang Prabu Nilakendra, yang dikenal pula dengan sebutan Sang Penguasa di Majaya (Tohaan di Majaya).
Pada masa pemerintahannya, keadaan Kerajaan Sunda (Pajajaran) sudah demikian rusak. Sehingga penulis Kropak 406 Carita Parahiyangan, mencatat pada masa pemerintahannya, dianggap sudah tibanya kaliyuga (jaman kali). Jaman yang sudah berada di ambang pralaya (kiamat, kehancurarr), yang hanya menampilkan kejahatan dan kemaksiatan.
Pemerintahan Prabu Nilakendra dijadikan pertanda, bahwa tidak akan lama lagi, Kerajaan Sunda (Pajajaran) akan pralaya, akibat angkara murka penguasanya. Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa puas dengan tanaman yang sudah ada (wong huma darpa mamangan, tan igar yan ta pepelakan).
Pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra, keagamaan Sunda (purbatisti purbajati Sunda), sudah dicampakkan jauh-jauh. Prabu Nilakendra "memuja bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun taman berbalai tanah diperkeras dengan batu, yang mengapit gerbang terlarang. Yang mendirikan bangunan megah 17 baris, dilukis dengan emas, menggambarkan bermacam-macam dongeng mitos (nu ngibuda sanghiyang panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapikeun dora larangan. Nu migawe bale bobot pitu welas jajar tinulis pinarada warnana cacaritaan).
Setiap saat, keraton Pakuan Pajajaran, dimeriahkan oleh pesta pora. Makan enak, sambil minum minum "air yang memabukkan sebagai penyedap makanan" (cai tiningkalan nidra wisaya ning baksakilang) sampai mabuk. Bagi Prabu Nilakendra, tidak ada ilmu yang disukainya, kecuali perihal makarran lezat yang sesuai dengan kekayaannya (tatan agama gyan kwaliya rnarnangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar).
Prabu Nilakendra adalah penganut Tantrayana, yang sangat percaya kepada khasiat rnantera dan ajimat. Tantrayana, adalah kepercayaan mistis sinkretis, yang mengadopsi spiritual Budha dan Hindu. Akan tetapi, Tantrayana yang dianut oleh Prabu Nilakendra, telah,jauh mengingkari agama Budha dan Hindu yang sesunggulmya.
Makan minum sampai mabuki, itulah, untuk mempercepat proses tak sadarkan diri, dalam mendahului upacara Tantrayana. Pikukuh (ajaran) Sunda tentang "makan sekedar pelapas lapar, minum tuak sekedar pelepas dahaga" (nyatu tamba ponyo, nginum tuak tamba hanaang) telah ditinggalkan lama sekali.
Semua itu dilakukan oleh Prabu Nilakendra, dalam keadaan Kerajaan Sunda Pajajaran terancam musuh, serta dihantui bencana kelaparan. Itulah bunga pralaya yang disebut kaliyuga. Kerajaan Sunda Pajajaian telah berada di ambang pintu kiamat.
Pada tahun 1567 Masehi, serangan besar besaran laskar Surasowan Wahanten tiba, menembus jantung ibukota Pakuan. bendera keramat, jimat-jimat, mantera-mantera Tantrayana, tidak sanggup menahan gema "Allahhu Akbar" laskar Surasowan Wahanten. secepat kilat, pertahanan pasukan Pakuan Pajajaran dilumpuhkan.
Serangan laskar Surasowan Wahanten kali ini, sangat menarik untuk dicermati. Manakala tahta Kerajaan Sunda Pajajaran, sudah tidak lagi dipegang oleh keturunan Sri Baduga Maharaja. Sebab, ayahnya Prabu Nilakendra, yaitu Prabu Sakti, adalah menantu Prabu Ratudewata.
Panembahan Hasanuddin sebagai cicit Sri Baduga Maharaja, mempunyai hak yang sama, dengan para penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran. Selain itu, ia telah membuktikan, bahwa Surasowan Wahanten, adalah negeri yang kuat. Untuk melumpuhkan Kerajaan Sunda Pajajaran, tidak memerlukan bantuan Pakungwati atau pun Demak.
Tidak direbut dan tidak didudukinya kota Pakuan secara total, hanya disebabkan oleh rasa hormat kepada orang tuanya, Susuhunan Jati Cirebon, sebagai penanda tangan perjanjian Pakungwati Pajajaran.
Persoalan merebut wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat. Berita tentang serangan kedua laskar Surasowan ini, dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, hanya tertulis secara singkat; Tohaan di Majaya kalah perang, karena itu tidak tinggal di Keraton (tohaan di majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan).
Tidak pernah ada berita, di mana Prabu Nilakendra dipusarakan. Mungkin dia tewas di pengungsian. Prabu Nilakendra berkuasa selama 16 tahun, dari tahun 1473 Saka (1551 Masehi), hingga tahun 1489 Saka (1567 Masehi). Kerajaan Sunda Pajajaran telah ditinggalkan oleh rajanya. Nasib kehidupan kota Pakuan, hanya dipercayakan kepada para pembesar yang tersisa, yang tidak menyertainya ke pengungsian.
Belum ada Komentar untuk "Zaman Kaliyuga Bunga Pralaya dan Runtuhnya Pajajaran"
Posting Komentar