Sejarah Munculnya Budaya Carok di Madura
Kamis, 11 Juni 2020
Tulis Komentar
Budaya carok di Madura tidak datang tiba-tiba, muncul akibat kepiawaian Belanda dalam mengadu domba sesama orang Madura, Belanda berharap melalui carok orang Madura mudah dipecah belah dan mudah dikuasai.
Carok secara bahasa berasal dari bahasa Jawa/Kawi Kuno, yang artinya “pertarungan” atau “perkelahian”. Meskipun demikian secara budaya, sebelum kedatangan Belanda di Pulau Madura tidak dikenal tradisi carok. Tradisi pertarungan sampai mati dengan menggunakan senjata berupa clurit tersebut baru muncul abad 19 selepas pemberontakan Sakera, Pahlawan Madura dari kalangan Santri dan Petani yang melakukan perlawanan di Jawa Timur dengan bersenjatakan Clurit.
Sakera bagi pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai seorang ekstrimis, meskipun pada kenyataannya Sakera merupakan sosok mandor tani tebu yang dikenal jago (Blater) dalam bertarung, yang diperangi Sakera bukan rakyat biasa melainkan pemerintah Kolonial dan perusahaan dan para kaki tangannya yang sewenang-wenang.
Setelah Sakera digantung akibat pemberontakan yang dilancarkannya, pemerintah kolonial Belanda perlu memperburuk citra Sakera di mata masyarakat, khususnya orang Madura, agar masyarakat Madura tidak meniru pemberontakan yang pernah dilakukan Sakera.
Salah satu cara Belanda menghancurkan Citra Sakera adalah dengan cara menjadikan tradisi pertarungan sampai mati dikalangan orang Madura dengan menggunakan Senjata Clurit, senjata yang digunakan Mandor Petani Tebu Sakera ketika dahulu melakukan perlawanan.
Para Blater (Jagoan) Madura yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda mulai dipersenjatai oleh Belanda dengan clurit, para golongan Blater inilah yang kemudian seringkali melakukan Carok pada masa itu, mereka menantang carok bagi orang-orang yang menentang kekuasaan majikan Balandanya. Lambat laun orang Madura dan Cluritnya dianggap sebagai simbol kebrutalan, sekaligus juga dianggap simbol ketangguhan, mereka tidak sadar bahwa Belanda memanafatkan suasana tersebut untuk memperburuk citra.
Lambat laun, Carok menjadi tradisi bagi orang Madura, baik di pulau Madura maupun yang tinggal diluar pulau Madura. Mereka akan melakukan carok apabila harga dirinya merasa diinjak-injak dengan terlebih dahulu melakukan tantangan, mereka meniru gaya Para Blater (Jagoan) kaki tangan Belanda dalam menyelesikan masalah dan perselisihan. Hingga kini budaya yang memberikan efek negatif bagi suku Madura ini masih tetap ada meskipun tentunya tidak sebanyak zaman Belanda.
Akibat budaya carok, orang Madura dikenal sebagai orang-orang kasar, brutal, suka membunuh dengan clurit dan lain sebagainya, padahal kebanyakan orang Madura tidak begitu, orang Madura dikenal agamis dan hanya beberapa glintir saja dari keseluruhan orang Madura yang bersikap barbar semacam itu.
Carok secara bahasa berasal dari bahasa Jawa/Kawi Kuno, yang artinya “pertarungan” atau “perkelahian”. Meskipun demikian secara budaya, sebelum kedatangan Belanda di Pulau Madura tidak dikenal tradisi carok. Tradisi pertarungan sampai mati dengan menggunakan senjata berupa clurit tersebut baru muncul abad 19 selepas pemberontakan Sakera, Pahlawan Madura dari kalangan Santri dan Petani yang melakukan perlawanan di Jawa Timur dengan bersenjatakan Clurit.
Sakera bagi pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai seorang ekstrimis, meskipun pada kenyataannya Sakera merupakan sosok mandor tani tebu yang dikenal jago (Blater) dalam bertarung, yang diperangi Sakera bukan rakyat biasa melainkan pemerintah Kolonial dan perusahaan dan para kaki tangannya yang sewenang-wenang.
Setelah Sakera digantung akibat pemberontakan yang dilancarkannya, pemerintah kolonial Belanda perlu memperburuk citra Sakera di mata masyarakat, khususnya orang Madura, agar masyarakat Madura tidak meniru pemberontakan yang pernah dilakukan Sakera.
Salah satu cara Belanda menghancurkan Citra Sakera adalah dengan cara menjadikan tradisi pertarungan sampai mati dikalangan orang Madura dengan menggunakan Senjata Clurit, senjata yang digunakan Mandor Petani Tebu Sakera ketika dahulu melakukan perlawanan.
Para Blater (Jagoan) Madura yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda mulai dipersenjatai oleh Belanda dengan clurit, para golongan Blater inilah yang kemudian seringkali melakukan Carok pada masa itu, mereka menantang carok bagi orang-orang yang menentang kekuasaan majikan Balandanya. Lambat laun orang Madura dan Cluritnya dianggap sebagai simbol kebrutalan, sekaligus juga dianggap simbol ketangguhan, mereka tidak sadar bahwa Belanda memanafatkan suasana tersebut untuk memperburuk citra.
Lambat laun, Carok menjadi tradisi bagi orang Madura, baik di pulau Madura maupun yang tinggal diluar pulau Madura. Mereka akan melakukan carok apabila harga dirinya merasa diinjak-injak dengan terlebih dahulu melakukan tantangan, mereka meniru gaya Para Blater (Jagoan) kaki tangan Belanda dalam menyelesikan masalah dan perselisihan. Hingga kini budaya yang memberikan efek negatif bagi suku Madura ini masih tetap ada meskipun tentunya tidak sebanyak zaman Belanda.
Akibat budaya carok, orang Madura dikenal sebagai orang-orang kasar, brutal, suka membunuh dengan clurit dan lain sebagainya, padahal kebanyakan orang Madura tidak begitu, orang Madura dikenal agamis dan hanya beberapa glintir saja dari keseluruhan orang Madura yang bersikap barbar semacam itu.
Berlangsungnya Carok
Carok bisa berlangsung dengan cara satu orang melawan satu orang, satu lawan dua orang, atau dua lawan satu orang, dan bahkan ada juga kasus Carok antara satu orang melawan tiga orang atau lebih.
Jika Carok dilakukan oleh lebih dari satu orang, pasti pelaku Carok dibantu oleh kerabat dekatnya (taretan dalem) yang memiliki sifat egois atau sebagai orang yang sangat jago. Bahkan, juga kerabat yang ikut membantu Carok.
Apabila ada balasan dari pihak yang kalah terhadap pihak yang menang. Biasanya, ada kemungkinan yang akan melakukannya adalah orang tua. Jika orang tua tidak mampu melakukan dikarenakan alasan usia yang sudah tua atau alasan tertentu, maka ada kemungkinan yang lain adalah saudara kandungnya (kakak atau adik) atau kerabat dekatnya, seperti saudara sepupu.
Incaran Carok balasan adalah orang yang menjadi pemenang pada Carok sebelumnya. Akan tetapi, Carok balasan tidak langsung di lakukan apabila musuhnya masih di dalam penjara yang hukuman tidak pidananya berkisar rata-rata tiga sampai lima tahun.
Sasaran berikutnya adalah kerabat dekatnya, terutama orang tua. Karena itu di anggap sebagai representasi dari musuhnya. Jika tidak memungkinkan, misalnya sudah meninggal dunia. Maka yang menjadi incaran kedua adalah saudara-saudara laki-lakinya, sepupu laki-lakinya atau kerabat lain yang di anggap masih ada ikatan saudara dengan keluarga dalam. Sasaran itu harus dilakukan kepada orang yang sangat kuat dalam segi fisik dan ekonominya.
Pada dasarnya, seorang pelaku Carok hanya mempunyai dua pilihan ketika hendak melakukan Carok, adalah dengan berhadap-hadapan dan cara nyelep.
Carok yang dilakukan dengan cara berhadap-hadapan sangat membuat leluasa bagi pelaku untuk melontarkan saling menyerang/membacok. Akibatnya, sangat mungkin kedua belah pihak sama-sama menderita luka parah atau bahkan keduanya meninggal dunia.
Berbeda dengan Carok yang dilakukan dengan cara nyelep. Karena salah satu pelakunya melakukan serangan pembalasan dari belakang dan bisa juga dari samping ketika musuhnya dalam keadaan lengah, maka yang menderita luka-laka parah atau meninggal dunia adalah pihak yang diserangnya. Pihak penyerang biasanya jarang sekali mengalami luka-luka, apalagi meninggal dunia.
Baca Juga: Joko Tole, Raja Agung Dari Madura
Penulis : Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Incaran Carok balasan adalah orang yang menjadi pemenang pada Carok sebelumnya. Akan tetapi, Carok balasan tidak langsung di lakukan apabila musuhnya masih di dalam penjara yang hukuman tidak pidananya berkisar rata-rata tiga sampai lima tahun.
Sasaran berikutnya adalah kerabat dekatnya, terutama orang tua. Karena itu di anggap sebagai representasi dari musuhnya. Jika tidak memungkinkan, misalnya sudah meninggal dunia. Maka yang menjadi incaran kedua adalah saudara-saudara laki-lakinya, sepupu laki-lakinya atau kerabat lain yang di anggap masih ada ikatan saudara dengan keluarga dalam. Sasaran itu harus dilakukan kepada orang yang sangat kuat dalam segi fisik dan ekonominya.
Pada dasarnya, seorang pelaku Carok hanya mempunyai dua pilihan ketika hendak melakukan Carok, adalah dengan berhadap-hadapan dan cara nyelep.
Carok yang dilakukan dengan cara berhadap-hadapan sangat membuat leluasa bagi pelaku untuk melontarkan saling menyerang/membacok. Akibatnya, sangat mungkin kedua belah pihak sama-sama menderita luka parah atau bahkan keduanya meninggal dunia.
Berbeda dengan Carok yang dilakukan dengan cara nyelep. Karena salah satu pelakunya melakukan serangan pembalasan dari belakang dan bisa juga dari samping ketika musuhnya dalam keadaan lengah, maka yang menderita luka-laka parah atau meninggal dunia adalah pihak yang diserangnya. Pihak penyerang biasanya jarang sekali mengalami luka-luka, apalagi meninggal dunia.
Baca Juga: Joko Tole, Raja Agung Dari Madura
Penulis : Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Munculnya Budaya Carok di Madura"
Posting Komentar