Asal-Usul Ampu Jatmika, Leluhur Raja-Raja Banjar
Rabu, 17 Juni 2020
Tulis Komentar
Ampu Jatmika dalam Hikayat Banjar disebut sebagai pendiri Kerajaan Negara Daha yang dikemudian hari berubah menjadi Kesultanan Banjar ketika Kerajaan itu diprintah oleh Raden Samudra.
Ampu Jatmika dalam Hikayat Banjar berasal dari Keling, ia di kisahkan berlayar dari negerinya Keling untuk mencari tanah baru sehingga berhasil mendirikan perkampungan yang dikemudian hari menjadi Kerajaan Negara Daha atau juga disebut Negara Dipa.
Negeri Keling sebagai asal-usul Ampu Jatmika yang dikisahkan dalam Hikayat Banjar masih menjadi perdebatan, sebagian orang menganggap yang dimaksud Keling adalah negeri Kalingga yang lokasinya berada di India, sementara sebagian lainnya berpendapat Keling adalah Kerajaan bawahan Majapahit yang lokasinya berada di Pulau Jawa. Perdebatan mengenai maksud Keling dalam Hikayat Banjar tersebut sebetulnya dapat disudahi apabila mengamati kandungan Hikayat Banjar secara seksama.
Dari kedua pendapat yang dikemukakan sebetulnya pendapat yang paling valid adalah pendapat yang kedua, dikatakan demikian karena dalam Hikayat Banjar sendiri sebetulnya dikisahkan lamanya perjalanan Ampu Jatmika menuju tanah baru (Kalimantan/Banjar) memakan waktu selama 3 bulan dengan menggunakan perjalanan kapal layar.
Waktu yang pendek tersebut tentu tidak mungkin jika Ampu Jatmika berlayar dari India. Sebab sekurang-kurangnya perjalanan dari India (Keling/India Utara) menuju Kalimantan paling sedikit memakan waktu 6 hingga 8 Bulan perjalanan dengan Kapal Layar. Oleh karena itu yang dimaksud Keling lebih cocok berada di Pulau Jawa.
Pada abad 13 hingga abad 15 awal, Keling merupakan bagian dari Kerajaan bawahan Majapahit yang namanya disebut-sebut dalam berbagai sumber sejarah, adapun penguasa Kerajaan Keling dalam struktur kerajaan Majapahit bergelar “Bre Keling”.
Kerajaan bawahan Majapahit di Jawa yang disebut Keling sebetulnya ada dua, yaitu Kalinggapura (Holing) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa, merupakan kerajaan tua yang sudah ada sejak abad 7 Masehi, eksistensi Kalinggapura di Jawa beritanya tercatat dalam berita Cina dan lokal. Sementara itu Kerajaan Keling yang selanjutnya adalah kerajaan yang letaknya berdampingan dengan Daha (Kediri).
Berikut ini gambaran wilayah inti beberapa kerajaan bawahan Majapahit di pulau Jawa yang dikisahkan dalam berbagai sumber sejarah :
Asal-usul Ampu Jatmika yang berasal dari Kerajaan Keling bawahan Majapahit sendiri sebetulnya juga dapat dipahami dengan membaca secara seksama gejala budaya Jawa yang terkandung dari naskah Hikayat Banjar.
Ampu Jatmika jelas merupakan nama yang mengandung unsur bahasa Jawa, kata "Ampu" dipastikan sama seperti kata Empu atau Mpu. Dalam bahasa Jawa Ampu, Empu atau Mpu bermaksud tuan, atau orang terpandang, gelar Empu dalam masyarakat Jawa disandang oleh orang-orang terhormat yang berjasa pada Negara, seperti contohnya Mpu Mada (Patih Majapahit), Mpu Tantular (Pujangga Majaphit), Mpu Gandring (Pandai Besi) dan lain sebagainya.
Indikasi lainnya, adalah nama-nama anak Ampu Jatmika yang disebutkan dalam Hikayat Banjar mengandung unsur budaya Jawa era Majapahit yang sangat jelas. Seperti kedua anak Ampu Jatmika yang bernama Lambung Jaya Wanagiri dan Lambung Mangkurat, kata Lambung kemungkinan besar adalah pelafalan dari kata “Lembu” yang dituliskan secara keliru oleh penulis Hikayat Banjar.
Kata “Lembu” dalam bahasa Jawa bermaksud “Kerbau” kata tersebut biasnya disandingkan untuk seseorang yang mempunyi kedudukan setingkat mentri (bangsawan) contoh pejabat Majapahit yang menggunakan gelar Lembu diantaranya, Lembu Sora.
Selain nama Lembu, hampir seluruh kata yang terkandung dalam nama kedua anak Ampu Jatmika juga merupakan bahasa jawa, kata Jaya Wanagiri jelas bahasa Jawa kuno yang maksudnya orang kuat (jaya) dari Hutan Bergunung (Wana=Hutan, Giri= Gunung), pun juga demikian dengan kata “Mangkurat” berasal dari bahasa Jawa A-Mangkurat yang maksudnya Pewaris Tahta (Mangku=Memangku, Rat=Ratu/Kekuasaan).
Bukti terakhir yang mendukung bahwa Ampu Jatmika berasal dari Keling (Majapahit) adalah rasa hormatnya terhadap negeri asal-usulnya. Sebagai warga Negara Majapahit dari kalangan Saudagar ia tidak berani mengangkat dirinya sebagai Raja di Kerajaan Negara Daha/Dipa yang ia bangunnya, sebab Raja harus dari kalangan Kesatria yang tentunya harus dilegitimasi oleh Majapahit, bahkan ia juga memerintahkan anaknya agar Jangan berani-berani menjadi Raja di Negara Daha/Dipa.
Ketidak bernaian Ampu Jatmika untuk mengangkat diri sebagai Raja sebelum mendapat pengakuan dari Majapahit sebetulnya tergambar dari kisah yang diceritakan dalam Hikayat Banjar itu sendiri, dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa ; Mulanya ketika membangun kerajaan Ampu Jatmika membuat patung sebagai lambang Raja mereka, meskipun ia sendiri dan anak-anaknya yang memerintah Negara Daha.
Sepeninggal Ampu Jatmika, kedua anak Ampu Jatmika mengambil Putri Jungjung Buih (Putri dari Jawa-Kediri/Daha/Jenggala) untuk dijadikan Ratu/Penguasa di Negara Daha/Dipa.
Putri Jungjung Buih juga nantinya dikawinkan dengan Pangeran Majapahit yang bernama Raden Putra (Raden Suryanata). Selepas perkawinan, kedunya menjadi Raja dan Ratu di Kerajaan Negara Daha yang didirikan oleh Ampu Jatmika.
Beberapa urian yang diambil dari beberapa petikan Hikayat Banjar di atas, jelas memperkuat pendapat kedua, yaitu Keling yang dimksud negeri asal Ampu Jatmika adalah negeri bawahan Majapahit yang mulanya bagian dari Kediri (Daha). Hal tersebut juga sekaligus mengindikasikan bahwa Kerajaan Negara Daha/Dipa yang didirikan Ampu Jatmika merupakan bagian dari kekuasaan Majapahit, karena Raja dan Ratu yang memerintah di Kerajaan itu berasal dari putri Kediri (bawahan Majapahit) dan Pangeran dari Pusat Kerajaan Majapahit.
Meskipun begitu, yang perlu di catat adalah, asal-usul Putri Jungjung Buih dan Pangeran Putra (Suryanata) yang dikisahkan dalam Hikayat Banjar disusupi kisah-kisah mitos untuk mengaburkan kisah yang sesungguhnya. Padahal dilihat dari nama lain Putri Jungjuh Buih (Putri Ratna Jenggala Kediri) jelas sang putri berasl dari Jenggala/Kediri adapun Raden Putra jelas salah satu Pangeran dari Majapahit karena ia berjuluk Suryanata. Kata Suryanata dimungkinkan diambil dari kata “Surya (Cahaya) dan Nata (Penguasa/Penata/Pemerintah)” yang kemungkinan merujuk pada simbol lambang Majapahit yang disebut “Surya Majapahit” sehingga dengan demikian Raden Putra/Surya Nata betul-betul Pangeran Majapahit yang dikirim ke Banjar untuk menata/memerintah disana, bukan Pangeran yang lahir dari anugrah Dewa.
Baca Juga: Sultan Trenggono dan Berdirinya Kesultanan Banjar
Negeri Keling sebagai asal-usul Ampu Jatmika yang dikisahkan dalam Hikayat Banjar masih menjadi perdebatan, sebagian orang menganggap yang dimaksud Keling adalah negeri Kalingga yang lokasinya berada di India, sementara sebagian lainnya berpendapat Keling adalah Kerajaan bawahan Majapahit yang lokasinya berada di Pulau Jawa. Perdebatan mengenai maksud Keling dalam Hikayat Banjar tersebut sebetulnya dapat disudahi apabila mengamati kandungan Hikayat Banjar secara seksama.
Dari kedua pendapat yang dikemukakan sebetulnya pendapat yang paling valid adalah pendapat yang kedua, dikatakan demikian karena dalam Hikayat Banjar sendiri sebetulnya dikisahkan lamanya perjalanan Ampu Jatmika menuju tanah baru (Kalimantan/Banjar) memakan waktu selama 3 bulan dengan menggunakan perjalanan kapal layar.
Waktu yang pendek tersebut tentu tidak mungkin jika Ampu Jatmika berlayar dari India. Sebab sekurang-kurangnya perjalanan dari India (Keling/India Utara) menuju Kalimantan paling sedikit memakan waktu 6 hingga 8 Bulan perjalanan dengan Kapal Layar. Oleh karena itu yang dimaksud Keling lebih cocok berada di Pulau Jawa.
(Sumber: JJR. Hikayat Banjar: Hlm 24) |
Kerajaan bawahan Majapahit di Jawa yang disebut Keling sebetulnya ada dua, yaitu Kalinggapura (Holing) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa, merupakan kerajaan tua yang sudah ada sejak abad 7 Masehi, eksistensi Kalinggapura di Jawa beritanya tercatat dalam berita Cina dan lokal. Sementara itu Kerajaan Keling yang selanjutnya adalah kerajaan yang letaknya berdampingan dengan Daha (Kediri).
Berikut ini gambaran wilayah inti beberapa kerajaan bawahan Majapahit di pulau Jawa yang dikisahkan dalam berbagai sumber sejarah :
Peta Kerajaan Bawahan Majapahit |
Ampu Jatmika jelas merupakan nama yang mengandung unsur bahasa Jawa, kata "Ampu" dipastikan sama seperti kata Empu atau Mpu. Dalam bahasa Jawa Ampu, Empu atau Mpu bermaksud tuan, atau orang terpandang, gelar Empu dalam masyarakat Jawa disandang oleh orang-orang terhormat yang berjasa pada Negara, seperti contohnya Mpu Mada (Patih Majapahit), Mpu Tantular (Pujangga Majaphit), Mpu Gandring (Pandai Besi) dan lain sebagainya.
Indikasi lainnya, adalah nama-nama anak Ampu Jatmika yang disebutkan dalam Hikayat Banjar mengandung unsur budaya Jawa era Majapahit yang sangat jelas. Seperti kedua anak Ampu Jatmika yang bernama Lambung Jaya Wanagiri dan Lambung Mangkurat, kata Lambung kemungkinan besar adalah pelafalan dari kata “Lembu” yang dituliskan secara keliru oleh penulis Hikayat Banjar.
Kata “Lembu” dalam bahasa Jawa bermaksud “Kerbau” kata tersebut biasnya disandingkan untuk seseorang yang mempunyi kedudukan setingkat mentri (bangsawan) contoh pejabat Majapahit yang menggunakan gelar Lembu diantaranya, Lembu Sora.
Selain nama Lembu, hampir seluruh kata yang terkandung dalam nama kedua anak Ampu Jatmika juga merupakan bahasa jawa, kata Jaya Wanagiri jelas bahasa Jawa kuno yang maksudnya orang kuat (jaya) dari Hutan Bergunung (Wana=Hutan, Giri= Gunung), pun juga demikian dengan kata “Mangkurat” berasal dari bahasa Jawa A-Mangkurat yang maksudnya Pewaris Tahta (Mangku=Memangku, Rat=Ratu/Kekuasaan).
Bukti terakhir yang mendukung bahwa Ampu Jatmika berasal dari Keling (Majapahit) adalah rasa hormatnya terhadap negeri asal-usulnya. Sebagai warga Negara Majapahit dari kalangan Saudagar ia tidak berani mengangkat dirinya sebagai Raja di Kerajaan Negara Daha/Dipa yang ia bangunnya, sebab Raja harus dari kalangan Kesatria yang tentunya harus dilegitimasi oleh Majapahit, bahkan ia juga memerintahkan anaknya agar Jangan berani-berani menjadi Raja di Negara Daha/Dipa.
Ketidak bernaian Ampu Jatmika untuk mengangkat diri sebagai Raja sebelum mendapat pengakuan dari Majapahit sebetulnya tergambar dari kisah yang diceritakan dalam Hikayat Banjar itu sendiri, dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa ; Mulanya ketika membangun kerajaan Ampu Jatmika membuat patung sebagai lambang Raja mereka, meskipun ia sendiri dan anak-anaknya yang memerintah Negara Daha.
Sepeninggal Ampu Jatmika, kedua anak Ampu Jatmika mengambil Putri Jungjung Buih (Putri dari Jawa-Kediri/Daha/Jenggala) untuk dijadikan Ratu/Penguasa di Negara Daha/Dipa.
(Sumber: JJR. Hikayat Banjar: Hlm 30) |
(Sumber: JJR. Hikayat Banjar: Hlm 31-32) |
Meskipun begitu, yang perlu di catat adalah, asal-usul Putri Jungjung Buih dan Pangeran Putra (Suryanata) yang dikisahkan dalam Hikayat Banjar disusupi kisah-kisah mitos untuk mengaburkan kisah yang sesungguhnya. Padahal dilihat dari nama lain Putri Jungjuh Buih (Putri Ratna Jenggala Kediri) jelas sang putri berasl dari Jenggala/Kediri adapun Raden Putra jelas salah satu Pangeran dari Majapahit karena ia berjuluk Suryanata. Kata Suryanata dimungkinkan diambil dari kata “Surya (Cahaya) dan Nata (Penguasa/Penata/Pemerintah)” yang kemungkinan merujuk pada simbol lambang Majapahit yang disebut “Surya Majapahit” sehingga dengan demikian Raden Putra/Surya Nata betul-betul Pangeran Majapahit yang dikirim ke Banjar untuk menata/memerintah disana, bukan Pangeran yang lahir dari anugrah Dewa.
Baca Juga: Sultan Trenggono dan Berdirinya Kesultanan Banjar
Penulis : Bung Fei
Editor: Sejarah Cirebon
Belum ada Komentar untuk "Asal-Usul Ampu Jatmika, Leluhur Raja-Raja Banjar"
Posting Komentar