Kerajaan Galuh Masa Pendirian, Kejayaan dan Keruntuhannya
Jumat, 03 April 2020
Tulis Komentar
Kerajaan Galuh didirikan oleh Wretikandayun, ia menikah dengan Pwah Bungatak Mangale (Manawati). Dalam pernikahanya tersebut ia memperoleh tiga orang putra. Pertama, Sempakwaja (620 M), Jantaka (Lahir 622 M), dan Amara atau lebih dikenal Mandiminyak (lahir 624 M).
Mandiminyak atau Amara sebagai penerus tahta selanjutnya, Mandiminyak memiliki seorang putra dari Rababu (istri selingkuhan Sempakwaja) yang bernama Sena atau Bratasena yang kelak menjadi penerus tahta ayahnya. Begitu banyak gunjingan akhirnya Wretikandayun menjodohkan Mandiminyak dengan Parwati putri kalingga. Mandiminyak wafat tahun 709 M sepeninggal tahta galuh dilanjutkan oleh Sena.
Sena atau Bratasena (anak hasil hubungan gelap bersama istri sempakwaja) memerintah galuh selama 7 tahun berakhir pada tahun 716 M karena dikudeta oleh Purbasora cucu dari Wretikandayun dan anak dari Sempakwaja dan Rabbabu. Dikarenakan Purbasora merasa dirinya lebih berhak atas tahta Galuh mengingat bahwasanya sempakwaja adalah anak pertama dari Wretikandayun. Kemarahanya memuncak ketika Bratasena atau Sena diangkat menjadi Raja Galuh ketiga, Purbasora menggangap ia hanya seorang anak yang berasal dari perselingkuhan. Setelah dikudetanya Sena atau Bratasena. Purbosora melarikan diri ke Pakuan meminta perlindungan kepada Tarusbawa.
Dibalik masalah ini terdapat dendam dari sang anak Bratasena karena ayahnya di lengserkan secara tragis oleh Purbasora. Anak itu bernama Sanjaya. Oleh karena itu Sanjayapun mempersiapkan misi balas dendam terhadap keluarga Purbasora. Sanjaya meminta bantuan kepada Tarusbawa selaku raja sunda dan dengan menyiapkan pasukan Khusus di daerah gunung Sawal atas bantuan Rabbuyut Sawal, yang juga sahabat baik sena atau Bratasena. Pasukan Khusus ini di pimpin oleh sena sedangkan pasukan Sunda dipimpin oleh patih Anggada.
Serangan dilansungkan dimalam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora akhirnya meninggal dunia. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjabat sebagai patih galuh, bersama segelintir pasukan saja.
Sanjaya mendapat perintah dari sena selaku ayahnya bahwa sanjaya kecuali Purbasora ia harus tetap menghormati anggota keluarga Purbasora. Dan sebenya sanjaya pun tidak punya hasrat atau niatan untuk menjadi raja Galuh. Dan sebenarnya sanjaya pun langsung menghubungi uwaknya Sempakwaja di Galunggung dan meminta demnawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Tapi ketidakpercayaan sempakwaja terhadap sanjaya mengakibatkan penolakan. Sempakwaja takut permintaanya itu hanya sebagai tipu muslihat saja yang bertujuan untuk membunuh adiknya Purbasora yaitu demnawan.
Dengan terpaksa Sanjayapun menerima tahta Galuh, akan tetapi kehadiranya kurang disenangi selain itu ia juga harus memerintah di kerajaan Sunda hingga akhirnya dia mengangkat cucu Purbasora yang bernama Permana Dikusuma. Permana Dikusuma menikah dengan Naganingrum dan memiliki putera yang bernama Surotama alias manarah atau dalam dalam literatur sunda klasik dikenal dengan nama Ciung wanara. Ia lahir pada tahun tahun 718 M, jadi baru berusia 5 tahun saat Sanjaya menyerang Galuh.
Untuk mengikat kesetian Permanadikusumah Sanjayapun menjodhokan Permana dikusumah dengan Dewi Pangrenyep puteri dari Anggada yang merupakan Patih Sunda. Kedudukan permana serba sulit karena ia sebagai raja galuh harus Tunduk kepada perintah Raja Sunda yang berarti tunduk juga kepada Sanjaya yang notabennya adalah orang yang telah membunuh kakeknya.
Kerena dihadapkan dengan permasalahan seperti itu maka permanapun lebih memilih untuk bertapa, ia meninggalkan tahta galuh dan kedua Istrinya. Sedangkan urusan pemerintahan di serahkan kepada patihnya yakni Tamperan yang sekaligus menjadi mata dan telinga Sanjaya. Tamperan sendiri mewarisi watak buyutnya yakni Mandiminyak yang suka membuat skandal. Tamperanpun begitu ia terlibat skandal dengan pangrenyep, istri permana dan melahirkan kamarasa alias Bangga. (723 M)).
Pada tahun 732 M Tamperan sebagai Raja, sanjaya mewarisi tahta kerajaan Mataram dan yang kemudian tahta di sunda di serahkan kepada Tamperan.
Sementara itu Manarah (Ciung wanara), dengan diam-diam dengan bimbingan buyutnya Ki Balangtrang, Ciungwanarapun mempersiapkan perebutan tahta Galuh dan berniat membalaskan dendam karena ayahnya telah dibunuh oleh Tamperan. Temperanpun lalai mengawasi anak Tirinya itu dan malah temperan menganggap Manarah (Ciung wanara) seperti anaknya sendiri.
Sesuai dengan rencana Ki Balangtrang, penyerbuan terhadap galuhpun dilakukan pada siang hari yang bertepatan dengan pesta sambung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir dalam pseta ittu termasuk Bangga. Manarah dan pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyambung ayam, kemudian Ki Balangtrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang ke keraton. Kudeta itupun berhasil dalam waktu yang sangat singkat.
Peristiwa ini diceritakan didalam cerita parahyangan, cuplikannya sebagai berikut:
Setelahnya Manarah menjadi Raja di Galuh dan mempunyai pengaruh terhadap Kerajaan sunda pertikaian-pertikaian yang terjadi baik di dalam kerajaan ataupun dengan orang luar kerajaan jarang sekali terjadi. Hanya saja setelahnya Sunda dan Galuh di perpadukan sering terjadi perpindahan pusat kerajaan.
Setelahnya penyatuan antara Galuh dengan Sunda ibokota pemerintahan sering berpindah-pindah dari barat (Pakuan) ke timur (Kawali dan sekitarnya) dan sebaliknya.sehubungan Ibukota kerajaan pajajaran pindah ke pakuan, maka Jayade wata atau Sribaduga maharaja (prabu siliwangi) menunjuk jaya ningrat, salah seorang putra Dewa Niskala untuk menjadi raja Galuh. Pada saat itu Cirebon masih di bawah kekuasaan Galuh.
Kemudian pada masa Surawisesa menjadi Raja Pajajaran, terjadi perang antara pajajaran dengan Cirebon yang di bantu oleh Banten dan Demak, perang ini berlangsung selama 5 tahun itu terjadi karena pasukan dari cirebon tidak berani naik ke darat sedangkan dari pajajaran tidak punya armada laut yang kuat. Cirebon kala itu hanya berhasil menguasai kota pelabuhan. Menurut cerita parahiangan pertarungan antara cirebon dan pajajaran terjadi sebanyak 15 kali.
Tapi walaupun begitu Galuh masih menganggap bahwa Cirebon berada dibawah Galuh, oleh karena itu ia mengirim surat kepada Syarif Hidayat, agar membayar upeti kepada Galuh, dengan ancaman akan digempur. Tapi Syarif Hidayat menolak dan segera memberiyahukan Fadillah Khan untuk membawa pasukan Demak guna melindungi pakungwati.
Serangan Galuh dilakukan pada tahun 1528, terjadi pertempuran di dekat gunung Gundul. Namun pasukan Kuningan yang diserahi tanggung jawab untuk menghadang serangan Galuh tidak mampu menahan serangan Galuh, untuk kemudian melarikan diri ke Pakungwati.
Dari arah pakungwati tibalah pasukan besar dibawah pimpinan Pangeran Cakrabuana. Pasukan cirebon dibantu pasukan demak yang membawa meriam. Oleh karena itu pasukan Galuh menjadi tidak berdaya dan ahirnya dapat dikalahkan pada tahun 1528 dalam pertempuran di Gunung Gundul Palimanan. Kemudian sisa-sisa kekuatan Galuh mundur dan menghimpun kekuatan di Talaga, penguasa Talaga pada waktu itu adalah Sunan Parung Gangsa atau Prabu Pucuk Umum Talaga, cucu Sri baduga Maharaja dari puteranya Munding Surya Ageung. Di Talaga berkumpul pula Jayaningrat, Arya Kiban, Jayasamara.
Hingga kemudian diceritakan didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa barat (1983-1984), di jelaskan tentang adanya pengumpulan kekuatan galuh di Talaga. Cirebon sempat menghentikan serangannya ke Talaga di karenakan pada tahun 1529 Cakra Buana (Walangsungsang) wafat.
Pada tahun berikutnya serangan kembali di lakukan ke Talaga, maka kemudian pada tahun 1530 Talaga dapat dikalahkan dan Talaga menjadi bawahan Cirebon. Dan penguasa Talaga generasi berikutnya jadi memeluk agama islam. Kekalahan Galuh disebabkan kurang matangnya persiapan perang dan minimnya peralatan perang yang dimiliki. Banyak sejarawan menyatakan bahwa Kerajaan Galuhruntuh dalam pertempuran dua kali, yakni pada 1528 di Gunung Gundul Palimanan dan tahun 1530 dihancurkan di Talaga. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Galuh yang didirikan Wretikandayun.
Penulis: Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Mandiminyak atau Amara sebagai penerus tahta selanjutnya, Mandiminyak memiliki seorang putra dari Rababu (istri selingkuhan Sempakwaja) yang bernama Sena atau Bratasena yang kelak menjadi penerus tahta ayahnya. Begitu banyak gunjingan akhirnya Wretikandayun menjodohkan Mandiminyak dengan Parwati putri kalingga. Mandiminyak wafat tahun 709 M sepeninggal tahta galuh dilanjutkan oleh Sena.
Sena atau Bratasena (anak hasil hubungan gelap bersama istri sempakwaja) memerintah galuh selama 7 tahun berakhir pada tahun 716 M karena dikudeta oleh Purbasora cucu dari Wretikandayun dan anak dari Sempakwaja dan Rabbabu. Dikarenakan Purbasora merasa dirinya lebih berhak atas tahta Galuh mengingat bahwasanya sempakwaja adalah anak pertama dari Wretikandayun. Kemarahanya memuncak ketika Bratasena atau Sena diangkat menjadi Raja Galuh ketiga, Purbasora menggangap ia hanya seorang anak yang berasal dari perselingkuhan. Setelah dikudetanya Sena atau Bratasena. Purbosora melarikan diri ke Pakuan meminta perlindungan kepada Tarusbawa.
Dibalik masalah ini terdapat dendam dari sang anak Bratasena karena ayahnya di lengserkan secara tragis oleh Purbasora. Anak itu bernama Sanjaya. Oleh karena itu Sanjayapun mempersiapkan misi balas dendam terhadap keluarga Purbasora. Sanjaya meminta bantuan kepada Tarusbawa selaku raja sunda dan dengan menyiapkan pasukan Khusus di daerah gunung Sawal atas bantuan Rabbuyut Sawal, yang juga sahabat baik sena atau Bratasena. Pasukan Khusus ini di pimpin oleh sena sedangkan pasukan Sunda dipimpin oleh patih Anggada.
Serangan dilansungkan dimalam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora akhirnya meninggal dunia. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjabat sebagai patih galuh, bersama segelintir pasukan saja.
Sanjaya mendapat perintah dari sena selaku ayahnya bahwa sanjaya kecuali Purbasora ia harus tetap menghormati anggota keluarga Purbasora. Dan sebenya sanjaya pun tidak punya hasrat atau niatan untuk menjadi raja Galuh. Dan sebenarnya sanjaya pun langsung menghubungi uwaknya Sempakwaja di Galunggung dan meminta demnawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Tapi ketidakpercayaan sempakwaja terhadap sanjaya mengakibatkan penolakan. Sempakwaja takut permintaanya itu hanya sebagai tipu muslihat saja yang bertujuan untuk membunuh adiknya Purbasora yaitu demnawan.
Dengan terpaksa Sanjayapun menerima tahta Galuh, akan tetapi kehadiranya kurang disenangi selain itu ia juga harus memerintah di kerajaan Sunda hingga akhirnya dia mengangkat cucu Purbasora yang bernama Permana Dikusuma. Permana Dikusuma menikah dengan Naganingrum dan memiliki putera yang bernama Surotama alias manarah atau dalam dalam literatur sunda klasik dikenal dengan nama Ciung wanara. Ia lahir pada tahun tahun 718 M, jadi baru berusia 5 tahun saat Sanjaya menyerang Galuh.
Untuk mengikat kesetian Permanadikusumah Sanjayapun menjodhokan Permana dikusumah dengan Dewi Pangrenyep puteri dari Anggada yang merupakan Patih Sunda. Kedudukan permana serba sulit karena ia sebagai raja galuh harus Tunduk kepada perintah Raja Sunda yang berarti tunduk juga kepada Sanjaya yang notabennya adalah orang yang telah membunuh kakeknya.
Kerena dihadapkan dengan permasalahan seperti itu maka permanapun lebih memilih untuk bertapa, ia meninggalkan tahta galuh dan kedua Istrinya. Sedangkan urusan pemerintahan di serahkan kepada patihnya yakni Tamperan yang sekaligus menjadi mata dan telinga Sanjaya. Tamperan sendiri mewarisi watak buyutnya yakni Mandiminyak yang suka membuat skandal. Tamperanpun begitu ia terlibat skandal dengan pangrenyep, istri permana dan melahirkan kamarasa alias Bangga. (723 M)).
Pada tahun 732 M Tamperan sebagai Raja, sanjaya mewarisi tahta kerajaan Mataram dan yang kemudian tahta di sunda di serahkan kepada Tamperan.
Sementara itu Manarah (Ciung wanara), dengan diam-diam dengan bimbingan buyutnya Ki Balangtrang, Ciungwanarapun mempersiapkan perebutan tahta Galuh dan berniat membalaskan dendam karena ayahnya telah dibunuh oleh Tamperan. Temperanpun lalai mengawasi anak Tirinya itu dan malah temperan menganggap Manarah (Ciung wanara) seperti anaknya sendiri.
Sesuai dengan rencana Ki Balangtrang, penyerbuan terhadap galuhpun dilakukan pada siang hari yang bertepatan dengan pesta sambung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir dalam pseta ittu termasuk Bangga. Manarah dan pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyambung ayam, kemudian Ki Balangtrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang ke keraton. Kudeta itupun berhasil dalam waktu yang sangat singkat.
Peristiwa ini diceritakan didalam cerita parahyangan, cuplikannya sebagai berikut:
Sang manarah males pati. / Rahiang Tamperan di tangkep ku anakna, / ku Sang manarah. / dipenjara beusi Rahian Temperan the. / Rahiang Bangga datang bari ceurik, / serta mawa sangu kana penjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah, / tuluy gelut jeung Sanghiang Banga. / Keuna beungeutna ku sanghyang Manarah. / Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, / Mangrupa persembahan . nurutkeun carita Jawa, / Rahiang Temperan / lilana ngadeg raja tujuh taun, . lantaran polahna resep / ngarusak nu tapa, / mana teu lana nyekel kakawasaanana oge. / Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh / taun, lantaran tabeatna hade.Temperan wafat pada tahun 739 M. posisinya di galuh di gantikan oleh manarah, sedangkan Banga, anak Temperan menggantikan posisinya di Sunda, ketika itu Sunda berada di bawah kontrol Manarah dari Galuh. Hal ini sejalan dengan maksud dari buku sejarah Jawa Barat, kerajaan sunda berada di bawah kontrol kerajaan Galuh terhitung pada tahun 739 M sampai 759 M, sedangkan Manarah sendiri berkuasa di Galuh sejak tahun 739 sampai 783 M.
Setelahnya Manarah menjadi Raja di Galuh dan mempunyai pengaruh terhadap Kerajaan sunda pertikaian-pertikaian yang terjadi baik di dalam kerajaan ataupun dengan orang luar kerajaan jarang sekali terjadi. Hanya saja setelahnya Sunda dan Galuh di perpadukan sering terjadi perpindahan pusat kerajaan.
Setelahnya penyatuan antara Galuh dengan Sunda ibokota pemerintahan sering berpindah-pindah dari barat (Pakuan) ke timur (Kawali dan sekitarnya) dan sebaliknya.sehubungan Ibukota kerajaan pajajaran pindah ke pakuan, maka Jayade wata atau Sribaduga maharaja (prabu siliwangi) menunjuk jaya ningrat, salah seorang putra Dewa Niskala untuk menjadi raja Galuh. Pada saat itu Cirebon masih di bawah kekuasaan Galuh.
Kemudian pada masa Surawisesa menjadi Raja Pajajaran, terjadi perang antara pajajaran dengan Cirebon yang di bantu oleh Banten dan Demak, perang ini berlangsung selama 5 tahun itu terjadi karena pasukan dari cirebon tidak berani naik ke darat sedangkan dari pajajaran tidak punya armada laut yang kuat. Cirebon kala itu hanya berhasil menguasai kota pelabuhan. Menurut cerita parahiangan pertarungan antara cirebon dan pajajaran terjadi sebanyak 15 kali.
Tapi walaupun begitu Galuh masih menganggap bahwa Cirebon berada dibawah Galuh, oleh karena itu ia mengirim surat kepada Syarif Hidayat, agar membayar upeti kepada Galuh, dengan ancaman akan digempur. Tapi Syarif Hidayat menolak dan segera memberiyahukan Fadillah Khan untuk membawa pasukan Demak guna melindungi pakungwati.
Serangan Galuh dilakukan pada tahun 1528, terjadi pertempuran di dekat gunung Gundul. Namun pasukan Kuningan yang diserahi tanggung jawab untuk menghadang serangan Galuh tidak mampu menahan serangan Galuh, untuk kemudian melarikan diri ke Pakungwati.
Dari arah pakungwati tibalah pasukan besar dibawah pimpinan Pangeran Cakrabuana. Pasukan cirebon dibantu pasukan demak yang membawa meriam. Oleh karena itu pasukan Galuh menjadi tidak berdaya dan ahirnya dapat dikalahkan pada tahun 1528 dalam pertempuran di Gunung Gundul Palimanan. Kemudian sisa-sisa kekuatan Galuh mundur dan menghimpun kekuatan di Talaga, penguasa Talaga pada waktu itu adalah Sunan Parung Gangsa atau Prabu Pucuk Umum Talaga, cucu Sri baduga Maharaja dari puteranya Munding Surya Ageung. Di Talaga berkumpul pula Jayaningrat, Arya Kiban, Jayasamara.
Hingga kemudian diceritakan didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa barat (1983-1984), di jelaskan tentang adanya pengumpulan kekuatan galuh di Talaga. Cirebon sempat menghentikan serangannya ke Talaga di karenakan pada tahun 1529 Cakra Buana (Walangsungsang) wafat.
Pada tahun berikutnya serangan kembali di lakukan ke Talaga, maka kemudian pada tahun 1530 Talaga dapat dikalahkan dan Talaga menjadi bawahan Cirebon. Dan penguasa Talaga generasi berikutnya jadi memeluk agama islam. Kekalahan Galuh disebabkan kurang matangnya persiapan perang dan minimnya peralatan perang yang dimiliki. Banyak sejarawan menyatakan bahwa Kerajaan Galuhruntuh dalam pertempuran dua kali, yakni pada 1528 di Gunung Gundul Palimanan dan tahun 1530 dihancurkan di Talaga. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Galuh yang didirikan Wretikandayun.
Penulis: Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Belum ada Komentar untuk "Kerajaan Galuh Masa Pendirian, Kejayaan dan Keruntuhannya"
Posting Komentar