Makam Sunan Gunung Jati Gagal di Bom Belanda
Selasa, 21 Januari 2020
Tulis Komentar
Tingkah penjajah Belanda saat menguasai Kesultanan Cirebon beraneka ragam, kadang menampakan persahabatan juga dilain waktu menampakan wujud aslinya, yaitu serakah, licik dan tentunya kejam. Salah satu tingkah penjajah Belanda yang terbilang licik adalah rencana pengeboman pada makam Sunan Gunung Jati.
Bagi masyarakat Cirebon, Sunan Gunung Jati adalah sosok yang tiada duanya, sebab beliau merupakan leluhur dan Sultan Cirebon pertama sekaligus juga Wali Allah yang mendakwahkan Islam di Pasundan, sehingga kedudukan Sunan Gunung Jati bagi masyarat Cirebon amat begitu dihormati.
Bagi orang Cirebon yang memegang teguh kehormatan leluhur dan ajaran Islam bahwa memusuhi leluhurnya yang notabene sebagai wali Allah termasuk didalamnya menghinakan makam sang Wali dianggap sebagai penghinaan atas Islam dan leluhur mereka. Maka jika saja rencana Belanda untuk mengebom makam Sunan Gunung Jati dilaksanakan sepertinya catatan sejarah perlawanan rakyat Cirebon pada penjajah Belanda akan lain ceritanya.
Dipahami secara sepintas, memang sepertinya rencana Belanda untuk mengebom makam Sunan Gunung Jati dipenghujuang tahun 1818 Masehi adalah rencana terbodoh selama Belanda menjajah Cirebon. Akan tetapi jika dipahami secara mendalam rencana pengeboman makam Sunan Gunung Jati pada hakikatnya merupakan strategi licik Belanda yang terbukti efektif dalam memadamkan pemberontakan di Cirebon yang berlarut-larut.
Pemberontakan bersekala besar memang tidak terjadi setiap bulan, namun terdapat dua periode perlawanan yaitu tahun 1802-1812 M yang dipimpin oleh Bagus Rangin dan periode tahun 1816-1818 M yang dipimpin oleh Bagus Jabin dan Bagus Serit pada kedua periode itulah para pejuang kerap melancarkan aksi-aksi mematikan yang merugikan Belanda. Pemberontakan besar karena dukungan dari para Pangeran dari Keraton dan kaum Ulama yang menghendaki kehancuran Belanda di Cirebon.
Pemberontakan Rakyat Cirebon yang terjadi pada Tahun 1802-1818 berdampak serius bagi pemerintah kolonial Belanda. Menurut Surnyaman sebagaimana yang dikutip Rahayu (2016, hlm 15), bahwa Belanda sekurang-kurangnya telah kehilangan banyak nyawa serdadunya, selain itu dalam rangka melakukan upaya penumpasan, Belanda juga sekurang-kurangnya telah menghabiskan sebanyak 150.000 Gulden.
Dampak buruk pemberontakan Rakyat Cirebon bagi Belanda juga tercatat dalam tulisan P.H. Van Der Kemp yang menyaksikan langsung peristiwa itu, ia mencatat bahwa “Pemberontakan sungguh sudah gawat sekali. ...”, Dicatat pula “...,Bupati Sumedang diminta agar mengirim pasukan bersenjata ke medan pertempuran, sebanyak yang dapat dikumpulkan segera, semuanya untuk diperbantukan kepada Residen Cirebon ...” . Dan selain dari Sumedang, berbagai pasukan bersenjata dari daerah-daerah lainpun didatangkan”. (Kemp, 1979, hlm 16-20)
Sulitnya Belanda dalam menumpas pemberontakan dikarenakan para pejuang menggunakan berbagai macam strategi perang grilya dan strategi tipuan yang jitu.
Menurut catatan Opan Safari (2015) sebagaimana yang ia peroleh dari sumber-sumber tradisional, bahwa para pejuang dalam peristiwa pemberontakan rakyat Cirebon melakukan penyerangan dengan menggunakan strategi gerilya yang berbeda-beda. Hal itu membuat pihak kolonial tidak mudah membaca pergerakan para pejuang perang ini. Salah satu strategi yang digunakan ialah strategi yang dikenal dengan istilah strategi suluhan yang dilakukan dengan cara menjebak dan mengecoh perhatian pasukan Pemerintah Kolonial dengan menggunakan ratusan kunang-kunang.
Akibat pemberontakan yang dilancarkan rakyat Cirebon, pada tahun 1806, Nicholaus Engelhard, seorang Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang ditugasi untuk mengatasi permasalah tersebut, mendapati aktivitas di Cirebon terhenti. Banyak abdi dalem keraton yang keluar dan bergabung dalam gerakan perlawanan (Ekadjati, hlm 100)
Selanjutnya dalam laporan Residen Servatius pada tahun 1817 disebutkan bahwa selama gerakan perlawanan tahun 1806 penduduk telah membakar semua pabrik gula serta membinasakan tanaman tebu. Sementara itu menurut Daendels, korban jiwa akibat gerakan perlawanan itu kira-kira sebanyak satu per lima jumlah penduduk. (Breman, 1986, hlm 21-28)
Jumlah rakyat yang mengangkat senjata sangat banyak yakni sekitar 40.000 orang. Mereka terbentuk dari orang-orang yang telah siap untuk bertempur dan dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari berbagai wilayah Cirebon, seperti wilayah kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Karawang dan Subang. Pasukan-pasukan perlawanan terdiri dari Pasukan Pengawal Raja, Pasukan Santri dan Pasukan Suratani (Opan Safari, 2015).
Pasukan pengawal raja merupakan pasukan yang berasal dari keraton-keraton Cirebon seperti beberapa Pasukan Keraton Kasepuhan yang dibawa Pangeran Muhammad Syafiudin ketika meninggalkan keraton. Sementara Pasukan Santri merupakan para santri yang telah dibekali kemampuan bela diri di pesantren-pesantren Cirebon yang dibangun oleh para tokoh keraton yang juga merupakan tokoh agama. Dan Pasukan suratani merupakan pasukan yang terdiri dari para petani yang peran utamanya adalah sebagai penyedia bahan makanan ketika pelaksanaan gerakan perlawanan tersebut.
Karena gerakan perlawanan rakyat yang begitu masif dan tidak mau diajak berunding, akhirnya Simton Hendrik Rose dan Letnan Kolonel Gauf selaku komandan ekspedisi memutuskan untuk menyelesaikan pemberontakan tersebut dengan senjata dan pasukan yang besar pula sebelum pemberontak mencapai kota. Pasukan Belanda dan pasukan pribumi dikerahkan. Para sultan dan bupati yang daerahnya terletak di sekitar daerah pemberontakan diperintahkan untuk mempersiapkan dan mengirim pasukannya untuk menghentikan "pemberontakan". Pasukan dari Sumedang dan Cirebon ditugaskan untuk mengepung daerah perlawanan dari arah Timur dan Selatan dengan membangun markas di Darmawangi dan Tomo serta menjaga daerah sepanjang Sungai Cimanuk. Selain itu, pasukan dari Subang dan Karawang ditugaskan untuk mengepung dari arah barat dan utara (Ekadjati, hlm 106).
Setelah peristiwa pengepungan itu, para pejuang menghentikan gerakan perlawanan untuk sementara, selanjutnya Engelhard mencoba untuk mengajak rakyat berunding kembali dengan mengirim beberapa utusan. Melalui para utusan tersebut para tokoh perlawanan dapat berkomunikasi dengan Engelhard melalui surat. Akhirnya perundingan dilakukan pada tanggal 7 Agustus 1806 dengan beberapa kesepakatan di antaranya ialah Pemerintah Belanda akan memperbaiki keadaan rakyat dan orang Cina tidak akan diperbolehkan lagi tinggal di pedalaman Cirebon serta para pemimpin pemberontak harus menyerahkan diri sebelum tanggal 17 Agustus 1806. Sebelum tanggal yang ditetapkan, banyak pemimpin perlawanan yang menyerahkan diri, namun tidak dengan Bagus Rangin. Dia tidak mau menyerah berjuang untuk rakyat.
Bagus Rangin yang selalu terpanggil untuk memperjuangkan rakyat berhasil mengumpulkan dan membina para pasukannya lagi. Perlawanan-perlawanan berupa perang terbuka maupun penyerangan tiba-tiba terus dilancarkan. Pada 16-29 Februari 1812 pertempuran di Bantar Jati meletus. Dalam pertempuran itu, pasukan Bagus Rangin dipukul mundur dan berhasil meloloskan diri. Mereka terus dikejar oleh pasukan Belanda hingga pada tanggal 27 Juni 1812 Bagus Rangin tertangkap di daerah Panongan dan dijatuhi hukuman mati.
Setelah tertangkapnya Bagus Rangin, perlawanan berhenti sementara hingga kemudian muncul kembali pada tahun 1816 sampai 1818 yang dipimpin oleh Bagus Jabin lalu oleh Bagus Serit. Pada pertengahan kedua Januari 1818 terjadi “pemberontakan” yang dilakukan oleh 100 orang di Distrik Blandong. Demang Among Pances sebagai kepala Distrik Blandong bersama jurutulisnya dibunuh. Perlawanan rakyat itu secara umum dipimpin oleh Bagus Jabin dan berkembang pula di daerah Majalengka yang menjadi perbatasan dengan Priangan. Dalam laporannya tanggal 23-24 Januari 1818, Servatius mengatakan bahwa para pemberontak mendobrak penjara Palimanan dan membebaskan rekan-rekan mereka yang dipenjara serta membakar jembatan-jembatan. (Kemp, hlm 18)
Setelah memperoleh laporan pertama tentang munculnya perlawanan itu, Servatius segera mengutus Raden Adipati Nitidiningrat dan Prudant, masing-masing adalah Bupati Bengawan Wetan dan opsiner kehutanan Banyaran, untuk pergi ke daerah yang melakukan perlawanan sebagai pendamai. Selain itu, Servatius juga mengutus Bupati Linggarjati ke sana yang dalam surat perintahnya disebutkan bahwa “..menurut laporan yang susul-menyusul dan mencemaskan, pemberontakan ini sungguh sudah gawat sekali.”Namun demikian, mereka tidak mampu menghadapi para pejuang perlawanan rakyat itu dan menyingkir. Bahkan Bupati Nitidiningrat terbunuh beserta dua orang mantrinya dalam misi pendamaian itu.
Tak hanya Residen Cirebon, setelah mengetahui peristiwa perlawanan tersebut, Residen Priangan yakni Van Motman segera berangkat menuju perbatasan untuk melindungi gudang-gudang kopi di Tomo dan Karangsambung serta bermaksud meneruskan perjalanan ke Cirebon untuk berunding dengan Servatius namun tidak terlaksana karena pasukan rakyat yang melakukan perlawanan telah memutuskan segala perhubungan.
Di samping itu, Wali Negara pun memberi perhatian yang cukup besar terhadap permasalah ini. Berdasarkan beslit tanggal 25 Januari 1818 No.1 Wali Negara memerintahkan beberapa pasukan untuk segera berangkat ke Cirebon melalui jalur laut. Pasukan-pasukan tersebut terdiri dari pasukan infantri resimen 5 dari batalyon 1 yang berada di Weltevreden, kompi pribumi dari batalyon 19 infantri dan 30 orang dari artileri beserta 2 buah meriam. Untuk mengepalai keseluruhan ekpedisi itu, Wali Negara menunjuk Letkol Richemont dari batalyon 1. Selain itu, dikirim pula pasukan dari Bogor melalui jalur darat yang terdiri dari dua macam kavaleri dan satu pasukan tombak Benggal untuk pengawalan. Pasukan tersebut berada di bawah pimpinan Halsuher von Harlach yang diperuntukkan membantu Residen Cirebon dan Residen Priangan. Dari Bogor juga diberangkatkan satu pasukan huzar (pasukan berkuda) yang beranggotakan 50 orang di bawah pimpinan Letnan Elberg. (Kem, hlm 21-22)
Pada tanggal 25 Januari 1818 juga, diperintahkan secara lisan kepada Laksamana Muda Wolterbeek agar memberangkatkan kapal meriam No.7 ke Cirebon di bawah komando Letnan W.H. Hunter serta membawa pesan kilat untuk Residen Cirebon bahwa pasukan bantuan akan segera datang. Namun semua pasukan tersebut dirasa belum cukup kuat untuk langsung menggempur kaum perlawanan rakyat, sehingga masih menunggu pasukan bantuan dari Semarang dan pasukan-pasukan tersebut ditempatkan di Karangsambung sebelum akhirnya dikirim ke medan tempur.
Residen Cirebon dalam suratnya tanggal 30 Januari 1818 memberitahukan bahwa serangan umum pada kaum perlawanan ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1818 dan dengan optimis dia berkata “.. kita akan dapat segera mengetahui berhasilnya operasi militer itu.” Namun ternyata, serangan umum pada awal bulan Februari yang telah dipersiapkan dengan lengkap itu justru mengalami kekalahan (Kemp, hlm 21-22)
Pada tanggal 6 Agustus 1818, pasukan perlawanan melakukan penyerangan ke markas besar di Palimanan. Dinding gardu yang sedang dalam proses pembangunan diserbu dan mereka berhasil merebut sebagian dari persenjataan. Pasukan pelopor Belanda yang bersiaga di sana merasa gentar dan mundur ke Kali Tanjung. Namun kemudian, pasukan perlawanan juga mundur setelah Kriege datang dan mengerahkan pasukannya, sehingga tak ada pasukan perlawanan yang tertangkap termasuk Bagus Serit. (Kemp, hlm 46)
Pada tanggal 8 Agustus 1818 bentrokan antara pasukan perlawanan dan pasukan Belanda di bawah pimpinan Krieger kembali pecah di dekat desa Sumber. Pasukan Bagus Serit berhasil mengalahkan pasukan dipimpin J. Franken, namun Franken berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi pada tahap selanjutnya pasukan Franken yang dibantu pihak penguasa local berhasil mengalahkan pasukan perlawanan pimpinan Bagus Serit, Bagus Serit tertangkap. Dan setelah melewati proses pengadilan, Bagus Serit dan Nairem dijatuhi hukuman mati pada tanggal 17 November 1818. Sementara itu, dilakukan sejumlah pembuangan terhadap para anggota perlawanan yang tertangkap. Berdasarkan beslit tanggal 12 Desember 1818 No. 6, 14 orang tahanan dikirim ke Banda untuk bekerja seumur hidup di perusahaan pemerintah, 7 orang tahanan dibuang ke Banyuwangi untuk bekerja di kebun kopi gubernemen, dan bagi tiga orang pengacau lain yakni Sapie, Lejo dan Ribut dijatuhi hukuman dera dan dibuang selama 7 tahun dengan memakai rantai. (Kemp, hlm 46)
Setelah peristiwa dihukum matinya para pimpinan perlawanan, gerakan perlawanan rakyat Cirebon pun berhenti. Namun menurut penuturan Akbarudin, perlawanan rakyat tersebut masih berlanjut, perlawanan setelah peristiwa tahun 1818 benar-benar baru berhenti setelah Belanda mengancam akan mengebom makam Sunan Gunung Jati. (Rahayu, 2016:172). Oleh karena itu menurutnya karena perlawanan berhenti, maka Belanda mengurungkan niat pengeboman pada makam Sunan Gunung Jati.
(2) P.H. Van Der Kemp, 1979. Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 Terj. B Panjaitan, Jakarta : Yayasan Idayu
Bagi masyarakat Cirebon, Sunan Gunung Jati adalah sosok yang tiada duanya, sebab beliau merupakan leluhur dan Sultan Cirebon pertama sekaligus juga Wali Allah yang mendakwahkan Islam di Pasundan, sehingga kedudukan Sunan Gunung Jati bagi masyarat Cirebon amat begitu dihormati.
Bagi orang Cirebon yang memegang teguh kehormatan leluhur dan ajaran Islam bahwa memusuhi leluhurnya yang notabene sebagai wali Allah termasuk didalamnya menghinakan makam sang Wali dianggap sebagai penghinaan atas Islam dan leluhur mereka. Maka jika saja rencana Belanda untuk mengebom makam Sunan Gunung Jati dilaksanakan sepertinya catatan sejarah perlawanan rakyat Cirebon pada penjajah Belanda akan lain ceritanya.
Dipahami secara sepintas, memang sepertinya rencana Belanda untuk mengebom makam Sunan Gunung Jati dipenghujuang tahun 1818 Masehi adalah rencana terbodoh selama Belanda menjajah Cirebon. Akan tetapi jika dipahami secara mendalam rencana pengeboman makam Sunan Gunung Jati pada hakikatnya merupakan strategi licik Belanda yang terbukti efektif dalam memadamkan pemberontakan di Cirebon yang berlarut-larut.
Latar Belakang Rencana Pengeboman Makam Sunan Gunung Jati
Memasuki abad ke 19 awal, yaitu dari mulai Tahun 1802 hingga 1818 di wilayah Kesultanan Cirebon meletus pemberontakan besar yang menguras keuangan pemerintah kolonial Belanda.Pemberontakan bersekala besar memang tidak terjadi setiap bulan, namun terdapat dua periode perlawanan yaitu tahun 1802-1812 M yang dipimpin oleh Bagus Rangin dan periode tahun 1816-1818 M yang dipimpin oleh Bagus Jabin dan Bagus Serit pada kedua periode itulah para pejuang kerap melancarkan aksi-aksi mematikan yang merugikan Belanda. Pemberontakan besar karena dukungan dari para Pangeran dari Keraton dan kaum Ulama yang menghendaki kehancuran Belanda di Cirebon.
Pemberontakan Rakyat Cirebon yang terjadi pada Tahun 1802-1818 berdampak serius bagi pemerintah kolonial Belanda. Menurut Surnyaman sebagaimana yang dikutip Rahayu (2016, hlm 15), bahwa Belanda sekurang-kurangnya telah kehilangan banyak nyawa serdadunya, selain itu dalam rangka melakukan upaya penumpasan, Belanda juga sekurang-kurangnya telah menghabiskan sebanyak 150.000 Gulden.
Dampak buruk pemberontakan Rakyat Cirebon bagi Belanda juga tercatat dalam tulisan P.H. Van Der Kemp yang menyaksikan langsung peristiwa itu, ia mencatat bahwa “Pemberontakan sungguh sudah gawat sekali. ...”, Dicatat pula “...,Bupati Sumedang diminta agar mengirim pasukan bersenjata ke medan pertempuran, sebanyak yang dapat dikumpulkan segera, semuanya untuk diperbantukan kepada Residen Cirebon ...” . Dan selain dari Sumedang, berbagai pasukan bersenjata dari daerah-daerah lainpun didatangkan”. (Kemp, 1979, hlm 16-20)
Sulitnya Belanda dalam menumpas pemberontakan dikarenakan para pejuang menggunakan berbagai macam strategi perang grilya dan strategi tipuan yang jitu.
Menurut catatan Opan Safari (2015) sebagaimana yang ia peroleh dari sumber-sumber tradisional, bahwa para pejuang dalam peristiwa pemberontakan rakyat Cirebon melakukan penyerangan dengan menggunakan strategi gerilya yang berbeda-beda. Hal itu membuat pihak kolonial tidak mudah membaca pergerakan para pejuang perang ini. Salah satu strategi yang digunakan ialah strategi yang dikenal dengan istilah strategi suluhan yang dilakukan dengan cara menjebak dan mengecoh perhatian pasukan Pemerintah Kolonial dengan menggunakan ratusan kunang-kunang.
Akibat pemberontakan yang dilancarkan rakyat Cirebon, pada tahun 1806, Nicholaus Engelhard, seorang Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang ditugasi untuk mengatasi permasalah tersebut, mendapati aktivitas di Cirebon terhenti. Banyak abdi dalem keraton yang keluar dan bergabung dalam gerakan perlawanan (Ekadjati, hlm 100)
Selanjutnya dalam laporan Residen Servatius pada tahun 1817 disebutkan bahwa selama gerakan perlawanan tahun 1806 penduduk telah membakar semua pabrik gula serta membinasakan tanaman tebu. Sementara itu menurut Daendels, korban jiwa akibat gerakan perlawanan itu kira-kira sebanyak satu per lima jumlah penduduk. (Breman, 1986, hlm 21-28)
Jumlah rakyat yang mengangkat senjata sangat banyak yakni sekitar 40.000 orang. Mereka terbentuk dari orang-orang yang telah siap untuk bertempur dan dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari berbagai wilayah Cirebon, seperti wilayah kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Karawang dan Subang. Pasukan-pasukan perlawanan terdiri dari Pasukan Pengawal Raja, Pasukan Santri dan Pasukan Suratani (Opan Safari, 2015).
Pasukan pengawal raja merupakan pasukan yang berasal dari keraton-keraton Cirebon seperti beberapa Pasukan Keraton Kasepuhan yang dibawa Pangeran Muhammad Syafiudin ketika meninggalkan keraton. Sementara Pasukan Santri merupakan para santri yang telah dibekali kemampuan bela diri di pesantren-pesantren Cirebon yang dibangun oleh para tokoh keraton yang juga merupakan tokoh agama. Dan Pasukan suratani merupakan pasukan yang terdiri dari para petani yang peran utamanya adalah sebagai penyedia bahan makanan ketika pelaksanaan gerakan perlawanan tersebut.
Karena gerakan perlawanan rakyat yang begitu masif dan tidak mau diajak berunding, akhirnya Simton Hendrik Rose dan Letnan Kolonel Gauf selaku komandan ekspedisi memutuskan untuk menyelesaikan pemberontakan tersebut dengan senjata dan pasukan yang besar pula sebelum pemberontak mencapai kota. Pasukan Belanda dan pasukan pribumi dikerahkan. Para sultan dan bupati yang daerahnya terletak di sekitar daerah pemberontakan diperintahkan untuk mempersiapkan dan mengirim pasukannya untuk menghentikan "pemberontakan". Pasukan dari Sumedang dan Cirebon ditugaskan untuk mengepung daerah perlawanan dari arah Timur dan Selatan dengan membangun markas di Darmawangi dan Tomo serta menjaga daerah sepanjang Sungai Cimanuk. Selain itu, pasukan dari Subang dan Karawang ditugaskan untuk mengepung dari arah barat dan utara (Ekadjati, hlm 106).
Setelah peristiwa pengepungan itu, para pejuang menghentikan gerakan perlawanan untuk sementara, selanjutnya Engelhard mencoba untuk mengajak rakyat berunding kembali dengan mengirim beberapa utusan. Melalui para utusan tersebut para tokoh perlawanan dapat berkomunikasi dengan Engelhard melalui surat. Akhirnya perundingan dilakukan pada tanggal 7 Agustus 1806 dengan beberapa kesepakatan di antaranya ialah Pemerintah Belanda akan memperbaiki keadaan rakyat dan orang Cina tidak akan diperbolehkan lagi tinggal di pedalaman Cirebon serta para pemimpin pemberontak harus menyerahkan diri sebelum tanggal 17 Agustus 1806. Sebelum tanggal yang ditetapkan, banyak pemimpin perlawanan yang menyerahkan diri, namun tidak dengan Bagus Rangin. Dia tidak mau menyerah berjuang untuk rakyat.
Bagus Rangin yang selalu terpanggil untuk memperjuangkan rakyat berhasil mengumpulkan dan membina para pasukannya lagi. Perlawanan-perlawanan berupa perang terbuka maupun penyerangan tiba-tiba terus dilancarkan. Pada 16-29 Februari 1812 pertempuran di Bantar Jati meletus. Dalam pertempuran itu, pasukan Bagus Rangin dipukul mundur dan berhasil meloloskan diri. Mereka terus dikejar oleh pasukan Belanda hingga pada tanggal 27 Juni 1812 Bagus Rangin tertangkap di daerah Panongan dan dijatuhi hukuman mati.
Setelah tertangkapnya Bagus Rangin, perlawanan berhenti sementara hingga kemudian muncul kembali pada tahun 1816 sampai 1818 yang dipimpin oleh Bagus Jabin lalu oleh Bagus Serit. Pada pertengahan kedua Januari 1818 terjadi “pemberontakan” yang dilakukan oleh 100 orang di Distrik Blandong. Demang Among Pances sebagai kepala Distrik Blandong bersama jurutulisnya dibunuh. Perlawanan rakyat itu secara umum dipimpin oleh Bagus Jabin dan berkembang pula di daerah Majalengka yang menjadi perbatasan dengan Priangan. Dalam laporannya tanggal 23-24 Januari 1818, Servatius mengatakan bahwa para pemberontak mendobrak penjara Palimanan dan membebaskan rekan-rekan mereka yang dipenjara serta membakar jembatan-jembatan. (Kemp, hlm 18)
Setelah memperoleh laporan pertama tentang munculnya perlawanan itu, Servatius segera mengutus Raden Adipati Nitidiningrat dan Prudant, masing-masing adalah Bupati Bengawan Wetan dan opsiner kehutanan Banyaran, untuk pergi ke daerah yang melakukan perlawanan sebagai pendamai. Selain itu, Servatius juga mengutus Bupati Linggarjati ke sana yang dalam surat perintahnya disebutkan bahwa “..menurut laporan yang susul-menyusul dan mencemaskan, pemberontakan ini sungguh sudah gawat sekali.”Namun demikian, mereka tidak mampu menghadapi para pejuang perlawanan rakyat itu dan menyingkir. Bahkan Bupati Nitidiningrat terbunuh beserta dua orang mantrinya dalam misi pendamaian itu.
Tak hanya Residen Cirebon, setelah mengetahui peristiwa perlawanan tersebut, Residen Priangan yakni Van Motman segera berangkat menuju perbatasan untuk melindungi gudang-gudang kopi di Tomo dan Karangsambung serta bermaksud meneruskan perjalanan ke Cirebon untuk berunding dengan Servatius namun tidak terlaksana karena pasukan rakyat yang melakukan perlawanan telah memutuskan segala perhubungan.
Di samping itu, Wali Negara pun memberi perhatian yang cukup besar terhadap permasalah ini. Berdasarkan beslit tanggal 25 Januari 1818 No.1 Wali Negara memerintahkan beberapa pasukan untuk segera berangkat ke Cirebon melalui jalur laut. Pasukan-pasukan tersebut terdiri dari pasukan infantri resimen 5 dari batalyon 1 yang berada di Weltevreden, kompi pribumi dari batalyon 19 infantri dan 30 orang dari artileri beserta 2 buah meriam. Untuk mengepalai keseluruhan ekpedisi itu, Wali Negara menunjuk Letkol Richemont dari batalyon 1. Selain itu, dikirim pula pasukan dari Bogor melalui jalur darat yang terdiri dari dua macam kavaleri dan satu pasukan tombak Benggal untuk pengawalan. Pasukan tersebut berada di bawah pimpinan Halsuher von Harlach yang diperuntukkan membantu Residen Cirebon dan Residen Priangan. Dari Bogor juga diberangkatkan satu pasukan huzar (pasukan berkuda) yang beranggotakan 50 orang di bawah pimpinan Letnan Elberg. (Kem, hlm 21-22)
Pada tanggal 25 Januari 1818 juga, diperintahkan secara lisan kepada Laksamana Muda Wolterbeek agar memberangkatkan kapal meriam No.7 ke Cirebon di bawah komando Letnan W.H. Hunter serta membawa pesan kilat untuk Residen Cirebon bahwa pasukan bantuan akan segera datang. Namun semua pasukan tersebut dirasa belum cukup kuat untuk langsung menggempur kaum perlawanan rakyat, sehingga masih menunggu pasukan bantuan dari Semarang dan pasukan-pasukan tersebut ditempatkan di Karangsambung sebelum akhirnya dikirim ke medan tempur.
Residen Cirebon dalam suratnya tanggal 30 Januari 1818 memberitahukan bahwa serangan umum pada kaum perlawanan ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1818 dan dengan optimis dia berkata “.. kita akan dapat segera mengetahui berhasilnya operasi militer itu.” Namun ternyata, serangan umum pada awal bulan Februari yang telah dipersiapkan dengan lengkap itu justru mengalami kekalahan (Kemp, hlm 21-22)
Pada tanggal 6 Agustus 1818, pasukan perlawanan melakukan penyerangan ke markas besar di Palimanan. Dinding gardu yang sedang dalam proses pembangunan diserbu dan mereka berhasil merebut sebagian dari persenjataan. Pasukan pelopor Belanda yang bersiaga di sana merasa gentar dan mundur ke Kali Tanjung. Namun kemudian, pasukan perlawanan juga mundur setelah Kriege datang dan mengerahkan pasukannya, sehingga tak ada pasukan perlawanan yang tertangkap termasuk Bagus Serit. (Kemp, hlm 46)
Pada tanggal 8 Agustus 1818 bentrokan antara pasukan perlawanan dan pasukan Belanda di bawah pimpinan Krieger kembali pecah di dekat desa Sumber. Pasukan Bagus Serit berhasil mengalahkan pasukan dipimpin J. Franken, namun Franken berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi pada tahap selanjutnya pasukan Franken yang dibantu pihak penguasa local berhasil mengalahkan pasukan perlawanan pimpinan Bagus Serit, Bagus Serit tertangkap. Dan setelah melewati proses pengadilan, Bagus Serit dan Nairem dijatuhi hukuman mati pada tanggal 17 November 1818. Sementara itu, dilakukan sejumlah pembuangan terhadap para anggota perlawanan yang tertangkap. Berdasarkan beslit tanggal 12 Desember 1818 No. 6, 14 orang tahanan dikirim ke Banda untuk bekerja seumur hidup di perusahaan pemerintah, 7 orang tahanan dibuang ke Banyuwangi untuk bekerja di kebun kopi gubernemen, dan bagi tiga orang pengacau lain yakni Sapie, Lejo dan Ribut dijatuhi hukuman dera dan dibuang selama 7 tahun dengan memakai rantai. (Kemp, hlm 46)
Setelah peristiwa dihukum matinya para pimpinan perlawanan, gerakan perlawanan rakyat Cirebon pun berhenti. Namun menurut penuturan Akbarudin, perlawanan rakyat tersebut masih berlanjut, perlawanan setelah peristiwa tahun 1818 benar-benar baru berhenti setelah Belanda mengancam akan mengebom makam Sunan Gunung Jati. (Rahayu, 2016:172). Oleh karena itu menurutnya karena perlawanan berhenti, maka Belanda mengurungkan niat pengeboman pada makam Sunan Gunung Jati.
Daftar Bacaan
(1) Islamiati Rahayu, 2016. Strategi-Strategi Perlawanan Rakyat Cirebon Dalam Perang Kedongdong Tahun 1802-1818 M. Jurnal. IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Vol. 4 Edisi 1 Januari – Juni 2016(2) P.H. Van Der Kemp, 1979. Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 Terj. B Panjaitan, Jakarta : Yayasan Idayu
Belum ada Komentar untuk "Makam Sunan Gunung Jati Gagal di Bom Belanda"
Posting Komentar