Penggunaan Kata “Parit” Sebagai Ciri Khas Perkampungan Jawa di Malaysia
Sabtu, 30 November 2019
1 Komentar
Telah Maklum bahwa sejak dahulu orang Jawa gemar merantau keberbagai belahan dunia, meskipun demikian dalam rangka melakukan perantauannya, orang Jawa memiliki ciri khasnya tersendiri. Di Malaysia khususnya di wilayah Semenanjung Melayu, orang Jawa dari abad 16 hingga abad 19 Masehi banyak mendirikan perkampungan Jawa.
Uniknya kampung-kampung Jawa itu mempunyai ciri khas yang tidak dijumpai kecuali di Malaysia, ciri khasnya adalah penggunaan kata parit untuk menamai perkampungannya, seperti kampung “Parit Jawa”, “Parit Sulong”, “Parit Raja” dan lain sebagainya. Digunakannya kata “Parit” untuk menamai kampung Jawa ada asal-usul dan filosofisnya tersendiri.
Secara umum, kedatangan orang-orang Jawa ke Semenanjung Melayu membawa keahlian bertani, mereka lebih gemar membangun perkampungan dari nol, membabad hutan belukar untuk kemudin dijadikan sebgai tempat tinggal mereka. Sebelum membuat perkampungan, orang Jawa terlebih dahulu membuat Parit (Kalen/Sungai Kecil) untuk dijadikan media pengairan sawah dan kebun-kebun pertanian yang mereka buat, dari itulah orang-orang Melayu setempat kemudian mengidentikan perkampungan Jawa dengan sebutan “Parit”.
Pada abad 16, sebagaimana yang tercatat dalam laporan Tome Pires, disebutkan bahwa “Komunitas muslim Jawa telah menguasai perkapalan di antara Melaka dan Kepulauan Melayu. Orang Jawa juga telah memiliki perkmpungan sendiri yaitu Kampung Jawa dan Parit Jawa” (Pires, 2004: 224)
Laporan Tome Pires sebagaimana di atas adalah bukti bahwa penggunaan kata “Parit” untuk menamai perkampungan yang dibangun oleh orang Jawa di Semenanjung Melayu telah terjadi sejak lama, yaitu terjadi sebelum Tome Pires menginjakan kakinya di Malaka (1511).
Selanjutnya, sejarah kedatangan orang Jawa ke Malaysia abad ke-19 dan ke-20 dilihat sebagai periode pesatnya migrasi ke Semenanjung Tanah Melayu. Fenomena ini dapat dinilai menjadi bagian dari kelanjutan peristiwa sejak ratusan tahun lalu. Dengan kata lain, adanya hubungan erat antara orang Jawa dengan masyarakat Melayu di Semenanjung Melayu (Malaysia) telah berlangsung selama berabad-abad.
Di Semenanjung Melayu, komunitas orang Jawa merupakan golongan migran terbesar dan terkenal sebagai kelompok masyarakat yang rajin dan ulet bekerja (Kassim Rukiman, 2001: 126). Sebagai contoh, jumlah orang Jawa di Johor sampai tahun 1890 terdapat kurang lebih 15.000 orang dan pada tahun 1894 mengalami peningkatan signifikan dengan jumlah hampir mencapai 25.000 orang (Sariyan, 2005: 7). Dalam perkembangannya orang Jawa oleh Pemerintah Penjajah Inggris dan Malaysia diakui sebagai bangsa Melayu sehingga juga muncul istilah Melayu-Jawa.
Konsentrasi komunitas Jawa di Semenanjung Melayu berada di kawasan negeri Johor, Perak dan Selangor. Dalam salah satu data statistik di Johor, pada tahun 1921 di Batu Pahat komunitas muslim Jawa berjumlah 12.995 orang dan pada tahun 1931 mengalami peningkatan yang pesat melebihi penduduk pribumi Melayu yang mencapai 38.644 orang sebagaimana dalam tabel di bawah ini:
Mayoritas tempat yang dihuni oleh komunitas muslim Jawa di Semenanjung khususnya di Johor, nama desa atau kampungnya diawali dengan kata Parit, sesuai dengan sistem pembukaan tanah orang Jawa yang ditandai dengan pembangunan parit sebagai irigasi untuk mengairi kawasan pertanian dan kemudian membentuk pola penempatan orang Jawa untuk membagi kawasan tersebut antara satu kampung dengan kampung lainnya. (Sariyan, 2005: 8), meskipun demikian banyak juga perkmpungan yang didirikan orang Jawa tanpa menggunakan kata Parit. Hanya saja kata “Parit” sebagai ciri khas bahwa kmpung tersebut didirikan oleh orang Jawa.
Sebagaimana kampung Sungai Nibong, Semerah, Batu Pahat telah dibuka oleh pendatang keturunan Jawa pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Berdasarkan informasi di Kantor Pertanahan Daerah Batu Pahat terdapat 21 lot tanah di kampung ini yang telah mendapat surat kepemilikan sementara pada tahun 1913 sampai tahun 1915. Sedangkan pada tahun 1916 sampai tahun 1920 ada 117 lot yang juga mendapat surat kepemilikan sementara. Hal ini membuktikan bahwa kawasan Sungai Nibong telah dibuka oleh komunitas Jawa sejak sebelum tahun 1913. Para pendatang periode awal di antaranya Hassan Bin Toibi yang kemudian dilantik menjadi ketua kampung yang pertama kemudian Haji Idris Bin Abdul Karim, Haji Alias, Haji Hussin, Haji Mas”ud dan Haji Sulaiman. (Azura. 1995: 25-26)
Aruza (1995, 27-28) menambahkan bahwa pembukaan tanah dan pembangunan kawasan di kampung Sungai Nibong yang dekat dengan pantai dan jalan utama penghubung Kota Muar dengan Batu Pahat ini dilakukan oleh pendatang dari Jawa Tengah. Sedangkan kawasan yang jauh dari pantai dan jalan utama, yang juga dikenal sebagai kawasan Sungai Nibong Darat, kebanyakan diduduki oleh pendatang dari Jawa Timur. Pembagian ini masih diberlakukan sampai saat ini. Hal ini diketahui melalui logat bahasa Jawa yang agak berbeda antara orang Sungai Nibong dengan orang Sungai Nibong Darat. Di antara generasi pertama yang telah membuka tanah di kampung Sungai Nibong Darat ialah Haji Kusni Bin Janawi, Haji Abdul Rahman, Haji Sarnon, dan Abu Yamin yang juga datang dalam kurun tahun 1920-an.
Dalam perkembangannya masyarakat muslim Jawa menyebar ke beberapa kampung di daerah Batu Pahat, Johor. Salah satunya di kampung Parit Warijo. Sejarah kampung Parit Warijo berawal dari kedatangan Warijo Joyo pada tahun 1926 yang berasal dari Desa Grogol, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo. Kampung Parit Warijo dan mayoritas kampung di sekitarnya awalnya hanya berupa hutan. Pembukaan kampung Parit Warijo juga mendorong dibukanya kawasan baru oleh rekan-rekan Warijo seperti di Parit Dayos dan Parit Baru. Masuknya sejumlah muslim Jawa di beberapa kampung daerah Batu Pahat juga digerakkan oleh Samuri Iman Rejo yang kemudian dilantik menjadi ketua kampung. Hal yang sama juga terdapat di kampung kawasan luar Sri Medan seperti di Parit Bingan dekat Parit Raja yang dihuni oleh mayoritas orang Ponorogo.(Sobry, 2012: 263)
Pada waktu itu komunitas muslim Jawa mendapat banyak kesempatan sekaligus peluang untuk membuka perkampungan baru di Batu Pahat. Di kampung Parit Nipah Darat, Parit Raja, Batu Pahat misalnya dibuka oleh orang Ponorogo yang datang secara berkelompok pada tahun 1911 sehingga mayoritas penduduknya keturunan dari Ponorogo. Sedangkan kampung Parit Bingan dibuka pada tahun 1929. Nama kampung Parit Bingan diambil dari nama Bingan bin Abu Kahar sebagai pembuka lahan dan ketua kampung pertama. Maka tak heran jika mayoritas penduduk kampung tersebut sampai saat ini masih kuat menjalankan tradisi dan adat Jawa sebagaimana di tanah asalnya bahkan masih ada yang sering datang ke Jawa untuk mengunjungi kerabatnya. (Dwiyanto, 2017: 234)
Memahami penjelasan di atas, maka benar adanya jika kampung yang didirikan orang Jawa di Malaysia khususnya di Malaysia Barat (Semenanjung) menggunakan kata “Parit” sebagai ciri khasnya, meningat lebih dari lima kampung yang didirikan orang Jawa menggunakan kata “Parit”.
Daftar Pustaka
[1]Abdul Jalil Abdul Ghani, 1976. Sejarah Batu Pahat: 1917-1942’. Latihan Ilmiah. UKM. Malaysia
[2]Tome Pires, 2014. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Fransisco Rodrigues, terj. Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak
[3]Azura Binti Miran, 1995. Penduduk Komuniti Jawa: Kajian Kes di Kampung Sungai Nibong, Semerah, Batu Pahat, Johor’, Latihan Ilmiah. Universiti Malaya. Kuala Lumpur
[4]Azrul Affandy Sobry. 2012. Misteri Etnik Malaysia. Kuala Lumpur: Penerbit Berita Harian
[5]Arik Dwijayanto. 2017. Migrasi, Adaptasi Dan Tradisi Komunitas Muslim Jawa Di Semenanjung Melayu. Poorogo. IAIN Sunan Giri Ponorogo
[6]Kassim Tukiman. 2001. Menelusuri Sejarah Tempatan Johor. Johor Baharu: Yayasan Warisan Johor
[7]Awang Sariyan, 2005. Persepsi Keturunan Jawa di Malaysia Terhadap Bangsa Jawa di Tanah Induknya dalam Konteks Keserumpunan Tamadun’ dalam Noriah Mohamed (editor), Sama Serumpun. Perak: Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris
Uniknya kampung-kampung Jawa itu mempunyai ciri khas yang tidak dijumpai kecuali di Malaysia, ciri khasnya adalah penggunaan kata parit untuk menamai perkampungannya, seperti kampung “Parit Jawa”, “Parit Sulong”, “Parit Raja” dan lain sebagainya. Digunakannya kata “Parit” untuk menamai kampung Jawa ada asal-usul dan filosofisnya tersendiri.
Secara umum, kedatangan orang-orang Jawa ke Semenanjung Melayu membawa keahlian bertani, mereka lebih gemar membangun perkampungan dari nol, membabad hutan belukar untuk kemudin dijadikan sebgai tempat tinggal mereka. Sebelum membuat perkampungan, orang Jawa terlebih dahulu membuat Parit (Kalen/Sungai Kecil) untuk dijadikan media pengairan sawah dan kebun-kebun pertanian yang mereka buat, dari itulah orang-orang Melayu setempat kemudian mengidentikan perkampungan Jawa dengan sebutan “Parit”.
Pada abad 16, sebagaimana yang tercatat dalam laporan Tome Pires, disebutkan bahwa “Komunitas muslim Jawa telah menguasai perkapalan di antara Melaka dan Kepulauan Melayu. Orang Jawa juga telah memiliki perkmpungan sendiri yaitu Kampung Jawa dan Parit Jawa” (Pires, 2004: 224)
Laporan Tome Pires sebagaimana di atas adalah bukti bahwa penggunaan kata “Parit” untuk menamai perkampungan yang dibangun oleh orang Jawa di Semenanjung Melayu telah terjadi sejak lama, yaitu terjadi sebelum Tome Pires menginjakan kakinya di Malaka (1511).
Selanjutnya, sejarah kedatangan orang Jawa ke Malaysia abad ke-19 dan ke-20 dilihat sebagai periode pesatnya migrasi ke Semenanjung Tanah Melayu. Fenomena ini dapat dinilai menjadi bagian dari kelanjutan peristiwa sejak ratusan tahun lalu. Dengan kata lain, adanya hubungan erat antara orang Jawa dengan masyarakat Melayu di Semenanjung Melayu (Malaysia) telah berlangsung selama berabad-abad.
Di Semenanjung Melayu, komunitas orang Jawa merupakan golongan migran terbesar dan terkenal sebagai kelompok masyarakat yang rajin dan ulet bekerja (Kassim Rukiman, 2001: 126). Sebagai contoh, jumlah orang Jawa di Johor sampai tahun 1890 terdapat kurang lebih 15.000 orang dan pada tahun 1894 mengalami peningkatan signifikan dengan jumlah hampir mencapai 25.000 orang (Sariyan, 2005: 7). Dalam perkembangannya orang Jawa oleh Pemerintah Penjajah Inggris dan Malaysia diakui sebagai bangsa Melayu sehingga juga muncul istilah Melayu-Jawa.
Konsentrasi komunitas Jawa di Semenanjung Melayu berada di kawasan negeri Johor, Perak dan Selangor. Dalam salah satu data statistik di Johor, pada tahun 1921 di Batu Pahat komunitas muslim Jawa berjumlah 12.995 orang dan pada tahun 1931 mengalami peningkatan yang pesat melebihi penduduk pribumi Melayu yang mencapai 38.644 orang sebagaimana dalam tabel di bawah ini:
Mayoritas tempat yang dihuni oleh komunitas muslim Jawa di Semenanjung khususnya di Johor, nama desa atau kampungnya diawali dengan kata Parit, sesuai dengan sistem pembukaan tanah orang Jawa yang ditandai dengan pembangunan parit sebagai irigasi untuk mengairi kawasan pertanian dan kemudian membentuk pola penempatan orang Jawa untuk membagi kawasan tersebut antara satu kampung dengan kampung lainnya. (Sariyan, 2005: 8), meskipun demikian banyak juga perkmpungan yang didirikan orang Jawa tanpa menggunakan kata Parit. Hanya saja kata “Parit” sebagai ciri khas bahwa kmpung tersebut didirikan oleh orang Jawa.
Sebagaimana kampung Sungai Nibong, Semerah, Batu Pahat telah dibuka oleh pendatang keturunan Jawa pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Berdasarkan informasi di Kantor Pertanahan Daerah Batu Pahat terdapat 21 lot tanah di kampung ini yang telah mendapat surat kepemilikan sementara pada tahun 1913 sampai tahun 1915. Sedangkan pada tahun 1916 sampai tahun 1920 ada 117 lot yang juga mendapat surat kepemilikan sementara. Hal ini membuktikan bahwa kawasan Sungai Nibong telah dibuka oleh komunitas Jawa sejak sebelum tahun 1913. Para pendatang periode awal di antaranya Hassan Bin Toibi yang kemudian dilantik menjadi ketua kampung yang pertama kemudian Haji Idris Bin Abdul Karim, Haji Alias, Haji Hussin, Haji Mas”ud dan Haji Sulaiman. (Azura. 1995: 25-26)
Aruza (1995, 27-28) menambahkan bahwa pembukaan tanah dan pembangunan kawasan di kampung Sungai Nibong yang dekat dengan pantai dan jalan utama penghubung Kota Muar dengan Batu Pahat ini dilakukan oleh pendatang dari Jawa Tengah. Sedangkan kawasan yang jauh dari pantai dan jalan utama, yang juga dikenal sebagai kawasan Sungai Nibong Darat, kebanyakan diduduki oleh pendatang dari Jawa Timur. Pembagian ini masih diberlakukan sampai saat ini. Hal ini diketahui melalui logat bahasa Jawa yang agak berbeda antara orang Sungai Nibong dengan orang Sungai Nibong Darat. Di antara generasi pertama yang telah membuka tanah di kampung Sungai Nibong Darat ialah Haji Kusni Bin Janawi, Haji Abdul Rahman, Haji Sarnon, dan Abu Yamin yang juga datang dalam kurun tahun 1920-an.
Dalam perkembangannya masyarakat muslim Jawa menyebar ke beberapa kampung di daerah Batu Pahat, Johor. Salah satunya di kampung Parit Warijo. Sejarah kampung Parit Warijo berawal dari kedatangan Warijo Joyo pada tahun 1926 yang berasal dari Desa Grogol, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo. Kampung Parit Warijo dan mayoritas kampung di sekitarnya awalnya hanya berupa hutan. Pembukaan kampung Parit Warijo juga mendorong dibukanya kawasan baru oleh rekan-rekan Warijo seperti di Parit Dayos dan Parit Baru. Masuknya sejumlah muslim Jawa di beberapa kampung daerah Batu Pahat juga digerakkan oleh Samuri Iman Rejo yang kemudian dilantik menjadi ketua kampung. Hal yang sama juga terdapat di kampung kawasan luar Sri Medan seperti di Parit Bingan dekat Parit Raja yang dihuni oleh mayoritas orang Ponorogo.(Sobry, 2012: 263)
Pada waktu itu komunitas muslim Jawa mendapat banyak kesempatan sekaligus peluang untuk membuka perkampungan baru di Batu Pahat. Di kampung Parit Nipah Darat, Parit Raja, Batu Pahat misalnya dibuka oleh orang Ponorogo yang datang secara berkelompok pada tahun 1911 sehingga mayoritas penduduknya keturunan dari Ponorogo. Sedangkan kampung Parit Bingan dibuka pada tahun 1929. Nama kampung Parit Bingan diambil dari nama Bingan bin Abu Kahar sebagai pembuka lahan dan ketua kampung pertama. Maka tak heran jika mayoritas penduduk kampung tersebut sampai saat ini masih kuat menjalankan tradisi dan adat Jawa sebagaimana di tanah asalnya bahkan masih ada yang sering datang ke Jawa untuk mengunjungi kerabatnya. (Dwiyanto, 2017: 234)
Memahami penjelasan di atas, maka benar adanya jika kampung yang didirikan orang Jawa di Malaysia khususnya di Malaysia Barat (Semenanjung) menggunakan kata “Parit” sebagai ciri khasnya, meningat lebih dari lima kampung yang didirikan orang Jawa menggunakan kata “Parit”.
Daftar Pustaka
[1]Abdul Jalil Abdul Ghani, 1976. Sejarah Batu Pahat: 1917-1942’. Latihan Ilmiah. UKM. Malaysia
[2]Tome Pires, 2014. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Fransisco Rodrigues, terj. Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak
[3]Azura Binti Miran, 1995. Penduduk Komuniti Jawa: Kajian Kes di Kampung Sungai Nibong, Semerah, Batu Pahat, Johor’, Latihan Ilmiah. Universiti Malaya. Kuala Lumpur
[4]Azrul Affandy Sobry. 2012. Misteri Etnik Malaysia. Kuala Lumpur: Penerbit Berita Harian
[5]Arik Dwijayanto. 2017. Migrasi, Adaptasi Dan Tradisi Komunitas Muslim Jawa Di Semenanjung Melayu. Poorogo. IAIN Sunan Giri Ponorogo
[6]Kassim Tukiman. 2001. Menelusuri Sejarah Tempatan Johor. Johor Baharu: Yayasan Warisan Johor
[7]Awang Sariyan, 2005. Persepsi Keturunan Jawa di Malaysia Terhadap Bangsa Jawa di Tanah Induknya dalam Konteks Keserumpunan Tamadun’ dalam Noriah Mohamed (editor), Sama Serumpun. Perak: Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris
Makasih info nya masqu
BalasHapus