Penggunaan Kata “Parit” Sebagai Ciri Khas Perkampungan Jawa di Malaysia

Telah Maklum bahwa sejak dahulu orang Jawa gemar merantau keberbagai belahan dunia, meskipun demikian dalam rangka melakukan perantauannya, orang Jawa memiliki ciri khasnya tersendiri. Di Malaysia khususnya di wilayah Semenanjung  Melayu, orang Jawa dari abad 16 hingga abad 19 Masehi banyak mendirikan perkampungan  Jawa.

Uniknya kampung-kampung Jawa itu mempunyai ciri khas yang tidak dijumpai kecuali di Malaysia, ciri khasnya adalah penggunaan kata parit untuk menamai perkampungannya, seperti kampung “Parit Jawa”, “Parit Sulong”, “Parit Raja” dan lain sebagainya.  Digunakannya kata “Parit” untuk menamai kampung Jawa ada asal-usul dan filosofisnya tersendiri.

Secara umum, kedatangan orang-orang Jawa ke Semenanjung Melayu membawa keahlian bertani, mereka lebih gemar membangun perkampungan dari nol, membabad hutan belukar untuk kemudin dijadikan sebgai tempat tinggal mereka. Sebelum membuat perkampungan, orang Jawa terlebih dahulu membuat Parit (Kalen/Sungai Kecil) untuk dijadikan media pengairan sawah dan kebun-kebun pertanian yang mereka buat, dari itulah orang-orang Melayu setempat kemudian mengidentikan perkampungan Jawa dengan sebutan “Parit”.

Pada abad 16, sebagaimana yang tercatat dalam laporan Tome Pires, disebutkan bahwa “Komunitas muslim  Jawa telah  menguasai  perkapalan  di  antara  Melaka  dan Kepulauan  Melayu. Orang Jawa juga telah memiliki perkmpungan sendiri yaitu Kampung Jawa dan Parit Jawa” (Pires, 2004: 224)

Laporan Tome Pires sebagaimana di atas adalah bukti bahwa penggunaan kata “Parit” untuk menamai perkampungan yang dibangun oleh orang Jawa di Semenanjung Melayu telah terjadi sejak lama, yaitu terjadi sebelum Tome Pires menginjakan kakinya di Malaka (1511).

Selanjutnya, sejarah kedatangan  orang  Jawa ke Malaysia abad ke-19 dan ke-20 dilihat sebagai periode pesatnya migrasi ke Semenanjung Tanah Melayu. Fenomena ini dapat dinilai menjadi bagian dari kelanjutan peristiwa sejak ratusan tahun lalu. Dengan kata lain, adanya hubungan erat antara orang  Jawa dengan masyarakat Melayu di Semenanjung Melayu (Malaysia) telah berlangsung selama berabad-abad.

Di Semenanjung Melayu, komunitas orang Jawa merupakan golongan migran  terbesar dan  terkenal sebagai  kelompok  masyarakat yang rajin dan ulet bekerja (Kassim Rukiman, 2001: 126). Sebagai contoh, jumlah orang Jawa di Johor sampai tahun 1890 terdapat kurang lebih 15.000 orang dan pada tahun 1894 mengalami peningkatan signifikan dengan jumlah hampir mencapai 25.000 orang (Sariyan, 2005: 7). Dalam perkembangannya orang Jawa oleh Pemerintah Penjajah Inggris dan Malaysia diakui sebagai bangsa Melayu sehingga juga muncul istilah Melayu-Jawa.

Konsentrasi komunitas Jawa di Semenanjung Melayu berada di kawasan negeri Johor, Perak dan Selangor. Dalam salah satu data statistik di Johor, pada tahun 1921 di Batu Pahat komunitas muslim Jawa berjumlah 12.995 orang dan pada tahun 1931 mengalami peningkatan yang pesat melebihi penduduk pribumi Melayu yang mencapai 38.644 orang sebagaimana dalam tabel di bawah ini:
Mayoritas  tempat  yang  dihuni  oleh  komunitas  muslim  Jawa  di Semenanjung khususnya di Johor, nama desa atau kampungnya diawali dengan kata  Parit,  sesuai  dengan sistem  pembukaan tanah  orang  Jawa  yang ditandai dengan pembangunan parit sebagai irigasi untuk mengairi kawasan pertanian dan kemudian  membentuk  pola  penempatan  orang  Jawa  untuk  membagi  kawasan tersebut antara satu kampung dengan kampung lainnya. (Sariyan, 2005: 8), meskipun demikian banyak juga perkmpungan yang didirikan orang Jawa tanpa menggunakan kata Parit. Hanya saja kata “Parit” sebagai ciri khas bahwa kmpung tersebut didirikan oleh orang Jawa.

Sebagaimana kampung Sungai Nibong, Semerah, Batu Pahat telah dibuka oleh pendatang keturunan Jawa pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Berdasarkan  informasi  di Kantor  Pertanahan  Daerah Batu  Pahat  terdapat 21  lot  tanah  di kampung ini yang telah mendapat surat kepemilikan sementara pada tahun 1913 sampai tahun 1915. Sedangkan pada tahun 1916 sampai tahun 1920 ada 117 lot yang juga mendapat surat kepemilikan sementara. Hal ini membuktikan bahwa kawasan Sungai Nibong telah dibuka oleh komunitas Jawa sejak sebelum tahun 1913. Para pendatang periode awal di antaranya Hassan Bin Toibi yang kemudian dilantik menjadi ketua kampung  yang  pertama kemudian Haji Idris Bin Abdul Karim, Haji Alias, Haji Hussin, Haji Mas”ud dan Haji Sulaiman. (Azura. 1995: 25-26)

Aruza (1995, 27-28) menambahkan bahwa pembukaan tanah dan pembangunan kawasan di kampung Sungai Nibong yang dekat dengan pantai dan jalan utama penghubung Kota Muar dengan Batu Pahat ini dilakukan oleh pendatang dari Jawa Tengah. Sedangkan kawasan yang jauh  dari  pantai  dan  jalan  utama,  yang  juga  dikenal  sebagai  kawasan  Sungai Nibong Darat, kebanyakan diduduki oleh pendatang dari Jawa Timur. Pembagian ini masih diberlakukan sampai saat  ini. Hal ini diketahui melalui logat  bahasa Jawa yang agak berbeda antara orang Sungai Nibong dengan orang Sungai Nibong Darat. Di antara generasi pertama yang telah membuka tanah di kampung Sungai Nibong Darat ialah Haji Kusni Bin Janawi, Haji Abdul Rahman, Haji Sarnon, dan Abu Yamin yang juga datang dalam kurun tahun 1920-an.

Dalam perkembangannya masyarakat muslim Jawa menyebar ke beberapa kampung di daerah Batu  Pahat, Johor. Salah satunya di kampung Parit Warijo. Sejarah kampung Parit Warijo berawal dari kedatangan Warijo Joyo pada tahun 1926 yang berasal dari  Desa Grogol, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo. Kampung Parit Warijo dan mayoritas kampung di sekitarnya awalnya hanya berupa hutan. Pembukaan  kampung Parit Warijo juga mendorong  dibukanya kawasan baru oleh rekan-rekan Warijo seperti  di  Parit  Dayos  dan  Parit  Baru.  Masuknya sejumlah muslim Jawa di beberapa kampung daerah Batu Pahat juga digerakkan oleh  Samuri  Iman Rejo  yang  kemudian  dilantik menjadi  ketua  kampung.  Hal yang sama  juga  terdapat di  kampung kawasan  luar  Sri Medan  seperti di Parit Bingan dekat Parit Raja yang dihuni oleh mayoritas orang Ponorogo.(Sobry, 2012: 263)

Pada waktu  itu komunitas  muslim Jawa mendapat  banyak kesempatan sekaligus  peluang  untuk  membuka  perkampungan  baru  di  Batu  Pahat.  Di kampung Parit Nipah Darat, Parit Raja, Batu Pahat misalnya dibuka oleh orang Ponorogo yang datang secara berkelompok pada tahun 1911 sehingga mayoritas penduduknya  keturunan  dari  Ponorogo. Sedangkan  kampung  Parit  Bingan dibuka pada tahun 1929. Nama kampung Parit Bingan diambil dari nama Bingan bin Abu Kahar sebagai pembuka lahan dan ketua kampung pertama. Maka tak heran  jika mayoritas  penduduk kampung  tersebut  sampai  saat  ini masih  kuat menjalankan tradisi dan adat Jawa sebagaimana di tanah asalnya bahkan masih ada yang sering datang ke Jawa untuk mengunjungi kerabatnya. (Dwiyanto, 2017: 234)

Memahami penjelasan di atas, maka benar adanya jika kampung yang didirikan orang Jawa di Malaysia khususnya di Malaysia Barat (Semenanjung) menggunakan kata “Parit” sebagai ciri khasnya, meningat lebih dari lima kampung yang didirikan orang Jawa menggunakan kata “Parit”.

Daftar Pustaka
[1]Abdul  Jalil Abdul Ghani, 1976. Sejarah Batu Pahat: 1917-1942’. Latihan Ilmiah. UKM. Malaysia
[2]Tome Pires, 2014. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Fransisco Rodrigues, terj. Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak
[3]Azura Binti  Miran,  1995. Penduduk  Komuniti Jawa:  Kajian  Kes  di Kampung Sungai Nibong, Semerah, Batu Pahat, Johor’, Latihan Ilmiah. Universiti Malaya. Kuala Lumpur
[4]Azrul Affandy Sobry. 2012. Misteri Etnik Malaysia. Kuala Lumpur: Penerbit Berita Harian
[5]Arik Dwijayanto. 2017. Migrasi, Adaptasi Dan Tradisi Komunitas Muslim Jawa Di Semenanjung Melayu. Poorogo. IAIN Sunan Giri Ponorogo
[6]Kassim  Tukiman. 2001. Menelusuri Sejarah  Tempatan  Johor. Johor  Baharu: Yayasan Warisan Johor
[7]Awang Sariyan,  2005. Persepsi  Keturunan  Jawa  di Malaysia Terhadap Bangsa Jawa di Tanah Induknya dalam Konteks Keserumpunan Tamadun’ dalam  Noriah  Mohamed (editor),  Sama  Serumpun. Perak:  Penerbit  Universiti Pendidikan Sultan Idris

1 Komentar untuk "Penggunaan Kata “Parit” Sebagai Ciri Khas Perkampungan Jawa di Malaysia"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel