Kutukan Mpu Bharada
Senin, 11 November 2019
Tulis Komentar
Kutukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermaksud sumpah atau laknat berupa kata-kata yang dapat mengakibatkan kesusahan bagi yang dikutuk. Kutukan berasal dari kata “Kutuk” yang diberikan akhiran “an”. Dengan demikian mengutuk sama artinya dengan melaknat.
Kutukan Mpu Bharada menjadi penting dibahas mengingat tokoh yang satu ini dianggap agamawan besar yang mempengaruhi kerajaan Kahuripan maupun kerajaan penerusnya. Mpu Barada hidup pada abad ke 11 Masehi berbarengan dengan masa Raja Airlangga ketika memerintah Kahuripan.
Meskipun hidup pada abad ke 11 kebesaran Mpu Bharada tercatat dalam Naskah Negara Kertagama yang ditulis Prapanca pada abad ke 14, ini artinya selepas 300 kematiannya eksistensi kebesaran Mpu Bharada masih terngiang-ngiang dalam ingatan orang-orang besar yang hidup zaman kejayaan Majapahit.
Menurut Negara Kertagama, Mpu Bharada adalah seorang Pepndeta Budha yang bersemayam di desa Lemah Citra atu Lemah Tulis. Dalam sumber lain sebagaimana yang dikisahkan dalam Serat Calon Arang, Mpu Bhadara adalah guru spiritual Raja Airlangga. Hal tersebut menjadi unik karena Airlangga sendiri sebetulnya seorang penganut Agama Hindu. Selain itu juga mengindikasikan bahwa ternyata pluralisme Raja Airlangga begitu tinggi. Sebab ia mau berguru pada agamawan yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
Menurut Negara Kertagama sebagimana yang dikutip Abimayu (2018; 106) dalam bukunya “Babad Tanah Jawa” bahwa kiprah Mpu Bharada adalah banyak membantu Raja Airlangga dalam membangun Kerajaan Kahuripan, salah satunya berkiprah dalam perencanaan dan pengimplementasian pembelahan kerajaan Kahuripan menjadi dua kerajaan baru.
Membelah satu kerajaan menjadi dua tentu bukan perkara mudah, apalagi diketahui bahwa Kerajaan Kahuripan wilayahnya hampir mencakup seluruh daerah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. Jika pembelahan kerajaan tidak dilakukan dengan pengukuran wilayah yang professional tentu akan menimbulkan keberatan dari pihak yang merasa dirugikan. Dalam pembelahan kerajaan Kahuripan Mpu Bharada berhasil melaksanakannya dengan baik, terbukti tidak adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Pada masa Raja Airlangga memerintah Kahuripan, dua putra Airlanga terlibat percekcokan, keduanya sama-sama berambisi menjadi Raja selepas mendengar kabar bahwa ayahnya akan turun tahta untuk menjadi seorang petapa.
Merasa khawatir akan terjadi pertumpahan darah, Airlangga memutuskan untuk membelah kerajannya menjadi dua bagian, tujuannya agar kedua putranya berdamai karena sama-sama menjadi Raja dan mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing, dalam peristiwa semacam itulah Airlangga menggunakan jasa Mpu Bharada untuk membantu merencanakan dan mengimplementasikan pembelahan kerajaan. Selanjutnya yang menjadi unik bagi penulis adalah bukan soal kemampuan Mpu Bharada dalam melaksanakan tugas, melainkan kutukan Mpu Bharada pada peristiwa pembelahan kerajaan Kahuripan.
Dalam rangka melakukan pengukuran wilayah kerajaan yang mau dibelah dua, Mpu Bharada melakukannya dengan jalan kesaktian, Mpu Bharada terbang ke udara sambil mengucurkan air dalam kendi, air tersebut nantinya dijadikan sebagai batas kedua kerajaan. Ketika Mpu Bharada terabang di wilayah desa Palungan tiba-tiba jubah yang dikenakannya tersangkut ranting pohon asam, sehingga ia marah dan kemudian terlontarlah kutukan dari mulutnya. Tempat yang terdapat pohon asam yang membuat sial Mpu Bharada di zaman Majapahit dikenal dengan nama Kamal Pandak (Abimayu, hlm 106).
Tidak dijelaskan secara detail dalam sumber sejarah yang ada mengenai detik-detik tersangkutnya jubah Mpu Bharada ketika terbang. Penulis menduga bahwa dalam peristiwa itu Mpu Bhrada jatuh tersungkur ke tanah, dari itulah ia kemudian marah dan mengeluarkan kutukan.
Mpu Bharada mengutuk pohon asam yang menyebabkan ia terjatuh. Dikemudian hari pohon asam menjadi kerdil, tidak lagi tinggi besar sebagaimana sebelumnya. Kamal Pandak merupakan bahasa Jawa Kuno yang maksudnya "Asam Pendek". Karena memang dalam bahasa Jawa Kuno pohon asam disebut “ Kamal” sementara pendek disebut “Pandak”.
Bagi sebagaian orang, mungkin menganggap kisah di atas sebagai dongeng saja, tapi bagi yang percaya kisah tersebut tentunya dianggap sebagai fakta sejarah, mengingat kepopuleran kisah tersebut terus lestari hingga zaman kejayaan Majapahit (Zaman Prapanca menulis Negara Kertagama).
Kutukan semacam itu, yaitu kutukan orang suci pada tanaman yang dianggap menggangunya sebenarnya tidak hanya dilakukan Mpu Bharada dari Jawa saja. Kisah yang hampir serupa ditemui dalam kisah perjalanan hidup Yesus yang dianggap sebagai Tuhan oleh umat Kristiani. Dalam Injil Matius Pasal 21 ayat 18-19 disebutkan Yesus mengutuk pohon Ara sehingga menjadi kering dan mati karena ketika Yesus merasa lapar ia mendapati pohon ara tidak berbuah.
Baca Juga: Kerajaan Kahuripan Berdiri Untuk Balas Dendam
Kutukan Mpu Bharada menjadi penting dibahas mengingat tokoh yang satu ini dianggap agamawan besar yang mempengaruhi kerajaan Kahuripan maupun kerajaan penerusnya. Mpu Barada hidup pada abad ke 11 Masehi berbarengan dengan masa Raja Airlangga ketika memerintah Kahuripan.
Meskipun hidup pada abad ke 11 kebesaran Mpu Bharada tercatat dalam Naskah Negara Kertagama yang ditulis Prapanca pada abad ke 14, ini artinya selepas 300 kematiannya eksistensi kebesaran Mpu Bharada masih terngiang-ngiang dalam ingatan orang-orang besar yang hidup zaman kejayaan Majapahit.
Menurut Negara Kertagama, Mpu Bharada adalah seorang Pepndeta Budha yang bersemayam di desa Lemah Citra atu Lemah Tulis. Dalam sumber lain sebagaimana yang dikisahkan dalam Serat Calon Arang, Mpu Bhadara adalah guru spiritual Raja Airlangga. Hal tersebut menjadi unik karena Airlangga sendiri sebetulnya seorang penganut Agama Hindu. Selain itu juga mengindikasikan bahwa ternyata pluralisme Raja Airlangga begitu tinggi. Sebab ia mau berguru pada agamawan yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
Menurut Negara Kertagama sebagimana yang dikutip Abimayu (2018; 106) dalam bukunya “Babad Tanah Jawa” bahwa kiprah Mpu Bharada adalah banyak membantu Raja Airlangga dalam membangun Kerajaan Kahuripan, salah satunya berkiprah dalam perencanaan dan pengimplementasian pembelahan kerajaan Kahuripan menjadi dua kerajaan baru.
Membelah satu kerajaan menjadi dua tentu bukan perkara mudah, apalagi diketahui bahwa Kerajaan Kahuripan wilayahnya hampir mencakup seluruh daerah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. Jika pembelahan kerajaan tidak dilakukan dengan pengukuran wilayah yang professional tentu akan menimbulkan keberatan dari pihak yang merasa dirugikan. Dalam pembelahan kerajaan Kahuripan Mpu Bharada berhasil melaksanakannya dengan baik, terbukti tidak adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Pada masa Raja Airlangga memerintah Kahuripan, dua putra Airlanga terlibat percekcokan, keduanya sama-sama berambisi menjadi Raja selepas mendengar kabar bahwa ayahnya akan turun tahta untuk menjadi seorang petapa.
Merasa khawatir akan terjadi pertumpahan darah, Airlangga memutuskan untuk membelah kerajannya menjadi dua bagian, tujuannya agar kedua putranya berdamai karena sama-sama menjadi Raja dan mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing, dalam peristiwa semacam itulah Airlangga menggunakan jasa Mpu Bharada untuk membantu merencanakan dan mengimplementasikan pembelahan kerajaan. Selanjutnya yang menjadi unik bagi penulis adalah bukan soal kemampuan Mpu Bharada dalam melaksanakan tugas, melainkan kutukan Mpu Bharada pada peristiwa pembelahan kerajaan Kahuripan.
Dalam rangka melakukan pengukuran wilayah kerajaan yang mau dibelah dua, Mpu Bharada melakukannya dengan jalan kesaktian, Mpu Bharada terbang ke udara sambil mengucurkan air dalam kendi, air tersebut nantinya dijadikan sebagai batas kedua kerajaan. Ketika Mpu Bharada terabang di wilayah desa Palungan tiba-tiba jubah yang dikenakannya tersangkut ranting pohon asam, sehingga ia marah dan kemudian terlontarlah kutukan dari mulutnya. Tempat yang terdapat pohon asam yang membuat sial Mpu Bharada di zaman Majapahit dikenal dengan nama Kamal Pandak (Abimayu, hlm 106).
Tidak dijelaskan secara detail dalam sumber sejarah yang ada mengenai detik-detik tersangkutnya jubah Mpu Bharada ketika terbang. Penulis menduga bahwa dalam peristiwa itu Mpu Bhrada jatuh tersungkur ke tanah, dari itulah ia kemudian marah dan mengeluarkan kutukan.
Mpu Bharada mengutuk pohon asam yang menyebabkan ia terjatuh. Dikemudian hari pohon asam menjadi kerdil, tidak lagi tinggi besar sebagaimana sebelumnya. Kamal Pandak merupakan bahasa Jawa Kuno yang maksudnya "Asam Pendek". Karena memang dalam bahasa Jawa Kuno pohon asam disebut “ Kamal” sementara pendek disebut “Pandak”.
Bagi sebagaian orang, mungkin menganggap kisah di atas sebagai dongeng saja, tapi bagi yang percaya kisah tersebut tentunya dianggap sebagai fakta sejarah, mengingat kepopuleran kisah tersebut terus lestari hingga zaman kejayaan Majapahit (Zaman Prapanca menulis Negara Kertagama).
Kutukan semacam itu, yaitu kutukan orang suci pada tanaman yang dianggap menggangunya sebenarnya tidak hanya dilakukan Mpu Bharada dari Jawa saja. Kisah yang hampir serupa ditemui dalam kisah perjalanan hidup Yesus yang dianggap sebagai Tuhan oleh umat Kristiani. Dalam Injil Matius Pasal 21 ayat 18-19 disebutkan Yesus mengutuk pohon Ara sehingga menjadi kering dan mati karena ketika Yesus merasa lapar ia mendapati pohon ara tidak berbuah.
Baca Juga: Kerajaan Kahuripan Berdiri Untuk Balas Dendam
Belum ada Komentar untuk "Kutukan Mpu Bharada"
Posting Komentar