Sejarah Berdirinya Buntet Pesantren Astana Japura Cirebon
Minggu, 22 September 2019
Tulis Komentar
Buntet Pesantren adalah perkampungan pesantren yang didalamnya banyak berdiri pesantren, lebih dari 50 Pesantren dengan nama dan ukuran yang berbeda-beda telah berdiri di kampung Buntet Pesantren. Secara administrasi kampung Buntet Pesantren wilayahnya masuk pada wilayah dua desa yaitu Desa Buntet dan Desa Merta Pada Kulon Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon.
Buntet Pesantren mulanya didirikan oleh seorang Ulama kelahiran Srengseng Indramayu, beliau bernama Kiai Muqoyyim, orang Buntet menyebutnya Mbah Muqoyyim (Nuril Lizah, 2012)
Dalam catatan Sejarah disebutkan bahwa sebelum mendirikan Pesantren Buntet, Mbah Muqoyyim terlebih dahulu berpuasa selama dua belas tahun yang terbagi dalam empat bagian. Tiga tahun pertama beliau berpuasa untuk diri beliau sendiri, tiga tahun kedua beliau berpuasa untuk anak cucunya, tiga tahun ketiga beliau berpuasa untuk tanah yang akan beliau jadikan pesantren, dan tiga tahun terakhir beliau berpuasa untuk para santri. Tempat yang pertama kali beliau jadikan sebagai Pondok Pesantren terletak di Desa Bulak, kurang lebih 1/2 km dari lokasi Pondok Pesantren Buntet yang sekarang. Atas petunjuk dan ridho Allah Swt. lokasi Pesantren berpindah ke padukuhan sebelah tenggara yaitu di Blok Manis, Depok, Desa Mertapada Kulon (A Zaini Hasan, 2014:30)
Mbah Muqoyyim mulanya merupakan salah satu Mufti Kesultanan Cirebon, akan tetapi karena tidak nyaman dengan prilaku Blanda yang terlampau ikut campur dalam urusan hukum di Kesultanan maka Mbah Muqoyyim memilih meninggalkan pangkat dan kedudukannya untuk kemudian berkelana ke suatu tempat untuk mendirikan pesantren.
Selama menjadi Mufti Kesultanan Cirebon, Mbah Muqoyyim dikenal memiliki sikap non kooperatif terhadap penjajah Belanda yang terus menerus menggrogoti kekuasaan Kesultanan, hingga Mbah Muqoyyim menanggalkan jabatan sebagai mufti besar Kesultanan Cirebon dan pergi ke bagian Cirebon timur selatan untuk mencari tanah perkampungan yang cocok dengan hati nuraninya. Dan di tempat itulah tepatnya di kampung Kedung Malang (Bulak Kulon) Desa Buntet Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon Mbah Muqoyyim mendirikan pondok pesantren yang dikenal dengan pondok Buntet Pesantren (Rowandi, 2012: 6)
Mbah Muqoyyim rupanya telah merasa cocok dan betah bertempat tinggal di perkampungan dan memberikan dakwah keagamaan. Namun karena beliau tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda, maka pihak Belanda menyerang dan membumi hanguskan Pesantren Buntet. Pada peristiwa itu Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri sehingga beliau dapat terus menyebarkan dan mengembangkan dakwah Islam.
Karena Pondok Pesantren di Dusun Kedung Malang telah di bumi hanguskan oleh Belanda, maka Mbah Muqoyyim dan keluarga beserta para santri pindah ke Pesawahan Sindanglaut, yaitu di rumah kiai Ismail Sembirit (adik kandung Mbah Muqoyyim). Kegagalan Belanda dalam misi penangkapan terhadap Mbah Muqoyyim di Dusun Kedung Malang membuat Belanda semakin murka. Mereka kembali mempersiapkan misi untuk menangkap Mbah Muqoyyim. Mereka sangat berhati-hati dalam menyusun rencana karena dihawatirkan rencananya akan kembali gagal. (Rowandi, 2012: 16)
Pada saat Mbah Muqoyyim dan kiai Ismail mengadakan hajatan merayakan pernikahan putra-putrinya, tepat pada saat itulah tanpa diketahui dari mana arahnya tiba-tiba muncul pasukan Belanda seraya menembakkan senjata apinya. Dalam peristiwa tersebut Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri, namun ada sebagian pengikutnya yang ditangkap oleh Belanda termasuk Pangeran Santri. (Rowandi, 2012: 17)
Merasa dirinya selalu menjadi target penangkapan tentara Belanda, maka Mbah Muqoyyim meninggalkan pondok pesantren Pesawahan dan menuju daerah tujuan berikutnya yaitu Pemalang Jawa Tengah.
Suatu ketika Cirebon tiba-tiba terserang wabah to`un (penyakit menular yang mematikan). Banyak sekali masyarakat yang menjadi korban, baik dari masyarakat ekonomi atas, menengah dan masyarakat jelata. Bahkan orang Belandapun banyak yang terjangkit penyakit ini.
Keadaan ini jelas membuat seluruh lapisan masyarakat berfikir dan bekerja keras untuk menemukan bagaimana cara untuk menghentikan wabah to`un. Ahirnya muncul gagasan dari kalangan pemerintah Cirebon untuk meminta bantuan kepada Mbah Muqoyyim. Pendapat ini langsung mendapat persetujuan dari kalangan kesultanan dan tokoh-tokoh Islam Cirebon.
Mbah Muqoyyim menyanggupi untuk membantu masyarakat Cirebon dalam mengatasi wabah to`un, tetapi dengan beberapa syarat. Pertama, pihak Belanda harus membebaskan Pangeran Santri dan mengembalikannya dari Ambon ke Cirebon. Kedua, di setiap desa di Cirebon harus didirikan masjid.
Setelah pihak Belanda menyetujui persyaratan tersebut, Mbah Muqoyyim melalukan berbagai usaha untuk menghilangkan wabah to`un tersebut. Dan dengan izin Allah Swt, wabah to`un dapat diatasi. Melihat keberhasilan Mbah Muqoyyim maka Belanda memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Mbah Muqoyyim.
Mbah Muqoyyim kembali ke Buntet untuk meneruskan pesantrennya yang sudah hancur lebur dibombardir oleh Belanda. Mbah Muqoyyim mencoba membangun kembali pesantren. Berbagai kegiatan seperti pengajian dan keterampilan bela diri diajarkan oleh Mbah Muqoyyim.
Pada mulanya Mbah Muqoyyim hanya membangun rumah yang sangat sederhana disertai dengan langgar (musholla) dan beberapa bilik (tempat santri). Kemudian beliau menggelar pengajian pada masyarakat sekitar.
Kegiatannya ini ternyata banyak yang mengetahui, maka berbondongbondong banyak orang yang belajar kepada Mbah Muqoyyim. Materi yang diajarkan selain pelajaran agama Islam, juga materi ketatanegaraan yang beliau peroleh ketika tinggal di Keraton Cirebon.
Melihat luasnya keilmuwan beliau dan dikenal sebagai orang keraton serta tauladan yang beliau tunjukan kepada masyarakat membuat pesantren beliau didatangi banyak murid, sehingga semakin berkembanglah pesantren dengan pesat dan terus berkembang hingga saat ini.
Terdapat dua bukti fisik yang masih bisa kita jumpai sampai sekarang yang membuktikan bahwa Mbah Muqoyyim benar-benar pernah mendirikan pesantren di Kedung Malang (Bulak Kulon), yaitu makam santri, dan sumur tua di pinggir sungai yang diduga kuat milik Mbah Muqayyim.
Mbah Muqoyyim ahirnya di panggil Allah Swt. Beliau dimakamkan di salah satu tempat petilasannya yaitu di kampung Tuk Sindanglaut berdekatan dengan makam kiai Ardi Sela teman seperjuangannya. Mbah Muqoyyim meninggalkan Buntet pesantren untuk selamanya. Beliau telah menanamkan kepada putra-putranya dan kepada para santrinya untuk terus menerus memperjuangkan Islam dengan membangun pondok pesantren agar tetap maju dan berkembang. (A Zaini Hasan, 2014:30)
Selepas kewafatan Mbah Muqoyim kondisi Buntet Pesantren mulanya terbengkalai, ditinggalkan oleh santri-santrinya, akan tetapi berkat keturunannya, yaitu Kiyai Muta’ad akhirnya Buntet PEsantren dapat dibangun kembali sehingga masih tetap eksis hingga kini.
Baca Juga: Mbah Muqoyyim Buntet Jadi Buronan Belanda
Daftar Pustaka
[1]A Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara. (Yogyakarta: LKiS, 2014)
[2]Munib Rowandi Amsal Hadi, Kisah-kisah dari Buntet Pesantren, (Cirebon: Kalam, 2012)
[3] Nuril Lizah. Perjuangan Mbah Muqoyyim (1689-1750) Dalam Menyebarkan Agama Islam Di Buntet Pesantren Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon (Jurnal Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurati Cirebon, 2012)
Buntet Pesantren mulanya didirikan oleh seorang Ulama kelahiran Srengseng Indramayu, beliau bernama Kiai Muqoyyim, orang Buntet menyebutnya Mbah Muqoyyim (Nuril Lizah, 2012)
Dalam catatan Sejarah disebutkan bahwa sebelum mendirikan Pesantren Buntet, Mbah Muqoyyim terlebih dahulu berpuasa selama dua belas tahun yang terbagi dalam empat bagian. Tiga tahun pertama beliau berpuasa untuk diri beliau sendiri, tiga tahun kedua beliau berpuasa untuk anak cucunya, tiga tahun ketiga beliau berpuasa untuk tanah yang akan beliau jadikan pesantren, dan tiga tahun terakhir beliau berpuasa untuk para santri. Tempat yang pertama kali beliau jadikan sebagai Pondok Pesantren terletak di Desa Bulak, kurang lebih 1/2 km dari lokasi Pondok Pesantren Buntet yang sekarang. Atas petunjuk dan ridho Allah Swt. lokasi Pesantren berpindah ke padukuhan sebelah tenggara yaitu di Blok Manis, Depok, Desa Mertapada Kulon (A Zaini Hasan, 2014:30)
Mbah Muqoyyim mulanya merupakan salah satu Mufti Kesultanan Cirebon, akan tetapi karena tidak nyaman dengan prilaku Blanda yang terlampau ikut campur dalam urusan hukum di Kesultanan maka Mbah Muqoyyim memilih meninggalkan pangkat dan kedudukannya untuk kemudian berkelana ke suatu tempat untuk mendirikan pesantren.
Selama menjadi Mufti Kesultanan Cirebon, Mbah Muqoyyim dikenal memiliki sikap non kooperatif terhadap penjajah Belanda yang terus menerus menggrogoti kekuasaan Kesultanan, hingga Mbah Muqoyyim menanggalkan jabatan sebagai mufti besar Kesultanan Cirebon dan pergi ke bagian Cirebon timur selatan untuk mencari tanah perkampungan yang cocok dengan hati nuraninya. Dan di tempat itulah tepatnya di kampung Kedung Malang (Bulak Kulon) Desa Buntet Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon Mbah Muqoyyim mendirikan pondok pesantren yang dikenal dengan pondok Buntet Pesantren (Rowandi, 2012: 6)
Mbah Muqoyyim rupanya telah merasa cocok dan betah bertempat tinggal di perkampungan dan memberikan dakwah keagamaan. Namun karena beliau tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda, maka pihak Belanda menyerang dan membumi hanguskan Pesantren Buntet. Pada peristiwa itu Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri sehingga beliau dapat terus menyebarkan dan mengembangkan dakwah Islam.
Karena Pondok Pesantren di Dusun Kedung Malang telah di bumi hanguskan oleh Belanda, maka Mbah Muqoyyim dan keluarga beserta para santri pindah ke Pesawahan Sindanglaut, yaitu di rumah kiai Ismail Sembirit (adik kandung Mbah Muqoyyim). Kegagalan Belanda dalam misi penangkapan terhadap Mbah Muqoyyim di Dusun Kedung Malang membuat Belanda semakin murka. Mereka kembali mempersiapkan misi untuk menangkap Mbah Muqoyyim. Mereka sangat berhati-hati dalam menyusun rencana karena dihawatirkan rencananya akan kembali gagal. (Rowandi, 2012: 16)
Pada saat Mbah Muqoyyim dan kiai Ismail mengadakan hajatan merayakan pernikahan putra-putrinya, tepat pada saat itulah tanpa diketahui dari mana arahnya tiba-tiba muncul pasukan Belanda seraya menembakkan senjata apinya. Dalam peristiwa tersebut Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri, namun ada sebagian pengikutnya yang ditangkap oleh Belanda termasuk Pangeran Santri. (Rowandi, 2012: 17)
Merasa dirinya selalu menjadi target penangkapan tentara Belanda, maka Mbah Muqoyyim meninggalkan pondok pesantren Pesawahan dan menuju daerah tujuan berikutnya yaitu Pemalang Jawa Tengah.
Masjid Agung Buntet Pesantren |
Keadaan ini jelas membuat seluruh lapisan masyarakat berfikir dan bekerja keras untuk menemukan bagaimana cara untuk menghentikan wabah to`un. Ahirnya muncul gagasan dari kalangan pemerintah Cirebon untuk meminta bantuan kepada Mbah Muqoyyim. Pendapat ini langsung mendapat persetujuan dari kalangan kesultanan dan tokoh-tokoh Islam Cirebon.
Mbah Muqoyyim menyanggupi untuk membantu masyarakat Cirebon dalam mengatasi wabah to`un, tetapi dengan beberapa syarat. Pertama, pihak Belanda harus membebaskan Pangeran Santri dan mengembalikannya dari Ambon ke Cirebon. Kedua, di setiap desa di Cirebon harus didirikan masjid.
Setelah pihak Belanda menyetujui persyaratan tersebut, Mbah Muqoyyim melalukan berbagai usaha untuk menghilangkan wabah to`un tersebut. Dan dengan izin Allah Swt, wabah to`un dapat diatasi. Melihat keberhasilan Mbah Muqoyyim maka Belanda memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Mbah Muqoyyim.
Mbah Muqoyyim kembali ke Buntet untuk meneruskan pesantrennya yang sudah hancur lebur dibombardir oleh Belanda. Mbah Muqoyyim mencoba membangun kembali pesantren. Berbagai kegiatan seperti pengajian dan keterampilan bela diri diajarkan oleh Mbah Muqoyyim.
Pada mulanya Mbah Muqoyyim hanya membangun rumah yang sangat sederhana disertai dengan langgar (musholla) dan beberapa bilik (tempat santri). Kemudian beliau menggelar pengajian pada masyarakat sekitar.
Kegiatannya ini ternyata banyak yang mengetahui, maka berbondongbondong banyak orang yang belajar kepada Mbah Muqoyyim. Materi yang diajarkan selain pelajaran agama Islam, juga materi ketatanegaraan yang beliau peroleh ketika tinggal di Keraton Cirebon.
Melihat luasnya keilmuwan beliau dan dikenal sebagai orang keraton serta tauladan yang beliau tunjukan kepada masyarakat membuat pesantren beliau didatangi banyak murid, sehingga semakin berkembanglah pesantren dengan pesat dan terus berkembang hingga saat ini.
Terdapat dua bukti fisik yang masih bisa kita jumpai sampai sekarang yang membuktikan bahwa Mbah Muqoyyim benar-benar pernah mendirikan pesantren di Kedung Malang (Bulak Kulon), yaitu makam santri, dan sumur tua di pinggir sungai yang diduga kuat milik Mbah Muqayyim.
Mbah Muqoyyim ahirnya di panggil Allah Swt. Beliau dimakamkan di salah satu tempat petilasannya yaitu di kampung Tuk Sindanglaut berdekatan dengan makam kiai Ardi Sela teman seperjuangannya. Mbah Muqoyyim meninggalkan Buntet pesantren untuk selamanya. Beliau telah menanamkan kepada putra-putranya dan kepada para santrinya untuk terus menerus memperjuangkan Islam dengan membangun pondok pesantren agar tetap maju dan berkembang. (A Zaini Hasan, 2014:30)
Selepas kewafatan Mbah Muqoyim kondisi Buntet Pesantren mulanya terbengkalai, ditinggalkan oleh santri-santrinya, akan tetapi berkat keturunannya, yaitu Kiyai Muta’ad akhirnya Buntet PEsantren dapat dibangun kembali sehingga masih tetap eksis hingga kini.
Baca Juga: Mbah Muqoyyim Buntet Jadi Buronan Belanda
Daftar Pustaka
[1]A Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara. (Yogyakarta: LKiS, 2014)
[2]Munib Rowandi Amsal Hadi, Kisah-kisah dari Buntet Pesantren, (Cirebon: Kalam, 2012)
[3] Nuril Lizah. Perjuangan Mbah Muqoyyim (1689-1750) Dalam Menyebarkan Agama Islam Di Buntet Pesantren Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon (Jurnal Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurati Cirebon, 2012)
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Berdirinya Buntet Pesantren Astana Japura Cirebon"
Posting Komentar