Huru-Hara Di Kesultanan Cirebon Tahun 1773-1815 M

Dari Tahun 1773 hingga 1815 Masehi, Cirebon terus terusan bergejolak, digoyang berbagai gerakan perlawanan dan pemberontakan meskipun sepanjang waktu itu Cirebon diperintah oleh tiga Sultan yang berbeda.

Pada masa Sultan Matangaji memerintah (1773-1786 M), Cirebon banjir darah, sebab Sultan Kasepuhan ke V itu memproklamirkan perang dengan Belanda. Sang Sultan terus berjuang bersama pengikutnya secara grilya selepas markas dan banteng pertahanan mereka di Sunyaragi dapat dijebol Belanda.

Huru-hara yang timbul ketika Cirebon diperintah oleh Sultan Matangaji meninggalkan kenangan kelam sekaligus juga meninggalkan kekaguman mendalam, dikatakan kelam karena pada waktu itu banyak darah yang tertumpah, selanjutnya dinyatakan kagum karena waktu itu semangat rakyat Cirebon untuk bebas dari pengaruh asing terutamanya dari penjajahan Belanda sangat luar biasa.

Perlawanan Sultan Matangaji pada Belanda rupanya membuat Belanda keteteran, mereka sulit memadamkan perlawanan, sebab Sultan dan pengikutnya menggunakan teknik grilya dalam berjuang.

Selanjutnya, cara lain yang ditempuh Belanda untuk memadamkan perjuangan Sultan Matangaji adalah dengan cara menghasut sudara sang Sultan, Belanda mengiming-imingi Jabatan Sultan bagi adik Sultan apabila bersedia membujuk kakaknya untuk berunding dengan Belanda. Dalam perundingan itu Sultan Matangaji ternyata ditangkap.

Tidak lama selepas peristiwa perundingan palsu yang dibuat-buat Belanda, Sultan Matangaji dikabarkan wafat dalam tahanan Istana, desas-desus yang berkembang Sultan Matangaji dibunuh saudaranya sendiri yang kala itu sudah ngebet menjadi Sultan.

Naiknya adik Sultan Matangaji yang bernama Sultan Hasanudin alias Sultan Muda (Ki Muda) pada 1786 M rupanya tidak membuat huru-hara di Cirebon hilang. Huru-hara justru semakin menjadi-jadi, pada masa Sultan Muda memerintah (1786-1791 M) tercatat beberapa kali para Pengikut Sultan Matangaji yang masih setia mengalihkan serangan mereka, jika sebelumnya mereka menyerang kepentingn Belanda, kali ini mereka menyerang Kesultanan, karena sudah menganggap Kesultanan Cirebon baik Kasepuhan maupun Kanoman adalah antek-antek Belanda.

Pada tahun 1791 Masehi, selepas lima tahun memerintah, Sultan Muda yang pemerintahannya tidak dihormati rakyat itu dikisahkan wafat, kala itu anaknya baru berumur 10 tahun, sehingga meskipun anaknya yang bernama Joharudin telah dinobatkan menjadi Sultan Kasepuhan selanjutnya akan tetapi pemerintahan diwakilkan kepada Tumenggung Jayadirja.

Tidak berbeda dengan Sultan Muda yang pro Belanda, maka  Tumenggung Jayadirja pun juga demikian, sangat loyal pada Belanda. Sehingga pada masa Cirebon diperintah oleh Tumenggung Jayadirja (1791-1800 M), huru-hara di Cirebon tetap ada.

Tercatat dalam masa pemerintahan Tumenggung Jayadirja, Cirebon diguncang upaya makar, pimpinan gerakan makar yang terkenal pada masa ini adalah Kiai Hulur, namun perjuangan Kiai Hulur dapat dipatahkan oleh pihak Kesultanan yang dibantu Belanda.

Selepas Sultan Joharudin dianggap cukup umur, pemerintahan dialihkan padanya, akan tetapi pada masa pemerintahannya (1800-1815 M), kebencian rakyat Cirebon terhadap negara dan rajanya sudah tidak dapat dibendung, sehingga pada Tahun 1807 M meletus pemberontaka besar yang kelak mengguncang seluruh wilayah Cirebon.  Pemberontakan itu dikenal dengan nama Pemberontakan Bagus Rangin. Hingga wafatnya Sultan Joharudin pada 1815 M, Pemberontakan Bagus Rangin belum juga padam. 

Belum ada Komentar untuk "Huru-Hara Di Kesultanan Cirebon Tahun 1773-1815 M"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel