Pengertian Pembiayaan Mudharabah

Mudharabah berdasarkan ahli fiqih merupakan suatu perjanjian dimana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain berdasarkan prinsip dagang dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi berdasarkan proporsi yang telah disetujui, seperti ½ dari keuntungan atau ¼ dan sebagainya.
Pembiayaan Mudharabah merupakan akad pembiayaan antara bank syariah dengan shahibul maal dan nasabah sebagai mudharib untuk melaksanakan kegiatan usaha, dimana bank syariah memberikan modal 100% dan nasabah menjalankan usahanya.

Hasil usaha atas pembiayaan mudharabah akan dibagi antara bank syaraiah dan nasabah dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati pada saat akad. Misalnya hasil usaha bersama ini dibagi sesuai dengan kesepakatan pada waktu akan pembiayaan ditandatangani yang dituangkan dalam bentuk nisbah misalnya 70:30, 65:35, apabila terjadi kerugian dan kerugian tersebut merupakan konsekuensi bisnis (bukan penyelewengan atau keluar dari kesepakatan) maka pihak penyedia dana akan menanggung kerugian managerial skiil dan waktu serta kehilangan nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperolehnya.

Adapun menurut istilah mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada orang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka mudharabah ialah akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.

Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangakan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).

Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah ialah ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.

Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad yang menentukan seseorang yang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.

Syaikh syihab al-din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.

Al-bakri ibn al Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa mudharabah ialah seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan didalamnya diterima penggantian.

Sayyid Sabiq berpendapat bahwa mudharabah ialah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi sesuai dengan perjanjian.

Dalam bukunya Binti Nur Asiyah, Departemen Bank Islam Pakistan mendefinisikan mudharabah sebagai „‟A from of partnership where one party provides the funds while‟ the other party provides expertise. The people who bring in money are called „‟Rab-ul-Maal” while the management and work is an exclusive responsibility of the “mudharib”. The profit sharing ratio is determined at the time of entering into the Mudharabah agreement whereas in case of loss it is borne by the Rab-ul-Maal only.”

Yang artinya sebagai bentuk kemitraan dimana salah satu pihak menyediakan dana sedangkan pihak lain menyediakan keahlian. Orang-orang yang membawa uang disebut “Rab-ul-Maal” sementara pengelolaan dan bekerja adalah tanggung jawab eksklusif “mudharib”. Nisbah bagi hasil ditentukan pada saat melakukan perjanjian mudharabah sedangkan dalam kasus kehilangan itu ditanggung oleh Rab-ul-Maal saja.

Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman nabi, bahkan telah dipraktikan oleh bangsa Arab sebelum turunya Islam. Ketika Nabi Muhammad saw berprofesi sebagai pedagang ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam maka praktik mudharabah ini dibolehkan. Baik menurut Al-qur’an, sunnah maupun ijma’.

Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi Muhammad saw keluar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al maal) sedangkan Nabi Muhammad saw. Berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib).

Nah, bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah. Atau singkatnya akad mudharabah ialah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain.

Pembiayaan dengan prinsip mudharabah, seperti umumnya pembiayaan lainnya dimulai dengan pengajuan proposal oleh calon nasabah. Proposal merupakan cerminan dari kelayakan calon nasabah untuk memperoleh pembiayaan. Melalui proposal yang diajukan pihak bank akan memperoleh gambaran awal mengenai kondisi calon nasabah. Pada saat calon nasabah datang untuk mengajukan pembiayaan maka pihak bank akan mengkaji secara cermat dan penuh kehati-hatian dan ketelitian.

Bagaimana transaksi riil yang telah dilakukan, dan kira-kira skim apa yang sesuai dengan kebutuhan nasabah itu sendiri. Apakah calon nasabah ini karakternya baik atau tidak, atau apakah laporan keuangan yang dibuat benar atau tidak.

Dalam pembiayaan mudharabah , terdapat dua pihak yang melaksanakan perjanjian kerja sama yaitu:

Bank Syariah. 

Bank yang menyediakan dana untuk membiayai proyek atau usaha yang memerlukan pembiayaan. Bank syariah menyediakan dana 100% disebut dengan shahibul maal.

Nasabah/ Pengusaha 

Nasabah yang memerlukan modal dan menjalankan proyek yang dibiayai oleh bank syariah. Nasabah pengelola usaha yang dibiayai 100% oleh bank syariah dalam akad mudharabah disebut mudharib.
Bank syariah memberikan pembiayaan mudharabah kepada nasabah atas dasar kepercayaan.

Bank syariah percaya penuh kepada nasabah untuk menjalankan usaha. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi pembiayaan mudharabah, karena dalam pembiayaan mudharabah, bank syariah tidak ikut campur dalam menjalankan proyek usaha nasabah yang telah diberi modal 100%.

Bank syariah hanya dapat memberikan saran tertentu kepada mudharib dalam menjalankan usahanya untuk memperoleh hasil usaha yang optimal. Dalam hal pengelolaan nasabah berhasil mendapatkan keuntungan, maka bank syariah akan memperoleh keuntungan dari bagi hasil yang diterima.

Sebaliknya, dalam hal nasabah gagal dalam menjalankan usahanya dan mengakibatkan kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh shahibul maal. Mudharib tidak menanggung kerugian sama sekali atau tidak ada kewajiban bagi mudharib untuk ikut menanggung kerugian atas kegagalan usaha yang dijalankan.

Landasan hukum mengenai keberadaan akad mudharabah sebagai salah satu produk perbankan syariah terdapat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yakni ada ketentuan pasal 1 ayat 13 yang mendefinisikan mengenai prinsip syariah dimana mudharabah secara eksplisit merupakan salah satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.

Ditahun 2008 secara khusus telah diatur mengenai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, antara lain yakni pasal 1 angka 25 yang menyebutkan bahwa pembiayaan adalah penyedia dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.

Belum ada Komentar untuk "Pengertian Pembiayaan Mudharabah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel