Berkuasanya Para Habib Di Kesultanan Siak Sri Indrapura

Habib
BUNGFEI.COM-Para Habib yang datang ke Indonesia dalam sejarahnya tidak hanya melulu menjadi pendakwah, atau pemimpin keagamaan saja, mereka juga banyak yang kemudian mendirikan Kesultanan atau menjadi Sultan di Kesultanan-Kesultanan yang ada di Indonesia. Salah satu contoh dari para Habib yang berhasil memperoleh kekuasaan dan berkuasa dalam pemerintahan adalah Para Sultan di Kesultanan Siak Sri Indrapura Riau.

Sebagaimana diketahui bahwa para Sultan Siak Sri Indrapura yaitu dari mulai Sultan ke VII hingga ke XII dan selanjutnya menggunakan gelar Syarif, gelar tersebut tentu mempunyai arti tersendiri, artinya adalah bahwa para Sultan kerajaan ini adalah seorang Habib/Syarif/Sayid  yaitu seorang Raja yang berdarah Arab dimana nasabnya bersambung kepada Nabi Muhamad SAW.
Tampak Dalam Daftar Para Sultan Siak, Gelar Syarif/Sayid Dimulai Dari Sultan Ke VII-XII (Akhir)
Berkuasanya para Habib menggantikan Raja yang berdarah Melayu murni di Kesultanan Siak ini diawali kisah yang panjang, dimulai dengan kisah perbutan kekuasaan, percintaan, dan saling rebut kuasa diantara para Pengeran Kesultanan.

Kisah dimulai dari bertahtanya Tengku Ismail sebagai Sultan ke III Siak, ketika bertahta menjadi seorang Sultan ia digelari Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah, Sultan ini naik tahta hanya sebentar saja yaitu hanya 6 tahun saja dari mulai tahun 1760 M hingga1766 M.

Pendeknya masa pemerintahan Tengku Ismail disebabkan karena adanya upaya penggulingan kekuasaan oleh Tengku Alam, pamannya sendiri. Tengku Alam menganggap keponakannya tidak cakap mengurus negara, oleh karena itu Tengku Alam berontak. Ia bersekutu dengan Belanda untuk menggulingkan keponakannya.

Dalam upaya menggulingkan keponakannya, Tengku Alam mengadakan perjanjian dengan Belanda, dalam perjanjian itu disepakati sebuah kesepakatan yang didalamnya berisi;
“Apabila Tengku Alam berhasil merebut tahta kerajaan, pihak Belanda tidak diperkenankan mencampuri pemerintahannya, meskipun demikian pihak Belanda nantinya akan diberi izin untuk mendirikan kembali benteng Belanda di Pulau Guntung”.
Bersama pasukan perangnya, Tengku Alam yang dibantu Belanda kemudian menuju Siak untuk melakukan penggulingan kekuasaan, namun sesampainya di Siak, hal aneh terjadi, sebab Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah tidak melakukan perlawanan. Ia bahkan menemui Pamannya untuk menyerahkan jabatan kesultanan beserta setempel kerajaan dengan suka rela.
Stempel Kesultanan Siak
Selepas peristiwa itu Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah meninggalkan Siak, dan memilih menjadi seorang perantau, ia mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya, dalam catatan yang lain Sultan Ini mengembara ke Pelelawan dan Langkat. Sultan Ismail kemudian beberapa tahun setelah lengser dari tahta mangkat, selepas mangkat beliau kemudian digelari Marhum Mangkat Dibalai.

Sementara di Pusat Kerajaan Siak, kini Tengku Alam menjadi Sultan penerus keponakannya, ia menjadi Sultan ke IV Kesultanan Siak dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.

Dalam catatan Elisa Netscher dalam bukunya "De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865", menerangkan bahwa Raja Alam sebelum menggulingkan keponakannya adalah seorang perompak yang mempunyai kapal- kapal dari hasil rampoknya.

Ia mempunyai senjata berat dan puluhan senjata tangan. Wilayah perompakannya di Selat Melaka atau disekitar Laut China Selatan. Inilah mengapa Raja Alam mampu dan percaya diri merebut tahta dari keponakannya, meskipun pada praktiknya ia juga bersektu dengan Belanda.

Pada tahun 1767, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan pusat pemerintahanya ke Bandar Senapelan yang terletak di Hulu Sungai Jantan.  Di Senapelan ia  membangun istananya di Kampung Bukit yang berdekatan dengan Dusun Senapelan (saat ini sekitar Masjid Raja Pekanbaru) sebagai pusat pemerintahanya.
Istana Kesultanan Siak Sri Indrapuri
Selain itu, ia juga mendirikan pasar (pekan) di Senapelan yang bernama Pekan Baharu, nama Pekan Baharu ini disahkan berdasarkan hasil musyawarah para datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) pada tanggal 21 Rajab 1204 H bertepatan pada tanggal 23 Juni 1784 M.

Pada saat itu pula sebutan Senapelan perlahan dilupakan dan masyarakat mulai menyebutnya Pekan Baharu. Dewasa ini nama Pekan Baharu lebih kita kenal Pekanbaru, dan setiap tanggal 23 Juni sebagai hari jadi kota Pekanbaru dan sebagai ibukota Provinsi Riau.
Kota Pekanbaru Riau
Ketika menjabat sebagai Sultan, Tengku Alam memiliki seorang anak prawan yang bernama Tengku Embung Badariah, anaknya ini rupanya tergila-gila pada seorang Arab beranama Sayid Syarif Usman seorang pengelana penyebar Agama Islam yang waktu itu masih muda, tokoh ini dikisahkan tampan fisiknya, gagah dan sangat pandai. Sehingga selain membuat tergila-gila Tengku Embung Badariah, tokoh ini juga disukai oleh Tengku Alam karena kealimannya.

Pada masa itu di Kerajaan Siak, ada aturan yang mengharuskan keluarga Kerajaan harus kawin dengan Keluraga kerajaan pula, demi memuluskan niatnya mengawinkan anak perawannya dengan seorang pengelana Arab ia pun dikisahkan merevisi undang-undang itu.

Maka selepas itu terjadilah perkawinan keduanya, yaitu antara Tengku Embung Badariah dengan Sayid Syarif Usman. Kelak dari Rahim Tengku Embung Badariah lahir Para Sultan Siak yang bergelar Habib/Syarif.

Menurut Sejarah Siak, Sayid Syarif Usman bukan sembarang orang beliau adalah pendakwah Arab (Yaman: Tarim) Dzuriah Rosulullah, adapun silsilah dan nasabnya adalah sebagai berikut;
Sayid Usman bin Abdul Rahman Syahabuddin bin Sayid bin Ali bin Muhammad bin Hasan bin Umar bin Hasan bin Syeh Ali bin Abu Bakar Asyakran bin Abdul Rahman As-Sagaf bin Achmad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isya bin Muhammad Annaqep bin Syaidina Ali dengan isterinya Siti Fatimah Azzahra binti Muhammad SAW.
Sepeninggal Raja Alam pada 1780 M tahta Kesultanan Siak beralih ke Tengku Muhammad Ali, ia Sultan yang masih berdarah Melayu murni, sebab ia sendiri merupakan keponakan dari Tengku Alam.

Tengku Muhamad Ali yang ketika bertahta menjadi Sultan ke V Siak dengan galar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah ini bertahta tidak lama, sebab ia bertahta pada usia senja, beliau hanya memerintah 2 tahun saja yaitu dari tahun 1780-1782 M.

Selepas kemangkatan Tengku Muhammad Ali pada tahun 1782 M, tahta kesultanan beralih kepada Tengku Yahya putera dari Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah.

Tengku Yahya dinobatkan menjadi Sultan Siak ke-VI dengan gelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah(1782-1784 M). Dalam menjalankan pemerintahannya tidak banyak yang dilakukan kerena sejak menjadi sultan selalu terjadi konflik internal antar keluarga kerajaan.
Untuk meminimalisir konflik tersebut maka Sultan Yahya memindahkan pusat pemerintahannya dari Bandar Senapelan ke Mempura dengan tujuan semata untuk membenahi roda pemerintahan yang telah kakek dan ayahnya perjuangkan di Mempura.

Selama memimpin Kesultanan Siak, Sultan Yahya memiliki masalah dengan Syarif Ali yang selalu menyalahi kepercayaan yang diberikannya. Hal ini terlihat jelas bahwa Syarif Ali memiliki hasrat besar untuk menguasai tahta kerajaan dengan adanya Cop de Taat (ambil alih kekuasaan) tanpa ada peperangan.

Pada tahun 1784 M, Sultan Yahya mangkat karena terjatuh sakit karena mengalami stress akan sikap yang dilakukan adik sepupunya itu, dan dimakamkan di kampung Che Lijah Dungun dengan gelar Marhum Mangkat di Dungun.

Pada dinasti ketujuh ini pemerintahan dilanjutkan oleh Tengku Udo (Syarif Ali) yang telah mengambil alih kekuasaan Cup de Taat dari tangan Sultan Yahya dan pusat kerajaan kembali dipindahkan ke seberang Kota Mempura tepatnya dipinggiran Sungai Siak. Pada periode ketujuhlah terjadi perubahan nama dari Kesultanan Siak menjadi Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Adapun maksud dari Sultan Assaidis Syarif Ali dalam merubah nama Kesultanan Siak menjadi Kesultanan Siak Sri Indrapura berdasarkan asal dari kata Siak Sri Indrapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yg taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” dan indera atau indra dapat bermakna raja dan pura dapat dimaknai “kota” atau “kerajaan”.

Kemudian Sultan Assaidis Syarif Ali mendirikan istana di Koto Tinggi dan memperkuat pasukan perangnya untuk mempersatukan raja-raja Melayu yang berada di Pantai Timur Sumatera.

Selama pemerintahannya, Sultan Syarif Ali berhasil menyatukan duabelas Kesultanan Melayu sekitar Pesisir Pantai Timur Sumatera. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan jajahan duabelas yaitu : Kota Pinang, Asahan, Kualuh, Bilah Panai, Deli, Langkat, Badagai Batu Bara, Serdang, Temiang, Sambas, dan Pelalawan.

Peristiwa naik tahtanya Syarif Ali juga menjadi penanda dan pembuka di Kesultanan Siak,  bahwa nantinya para Sultan yang memerintah di Siak Sri Indrapura bergelar Syarif/Habib, sebab merupakan keturunan dari Tengku Embung Badariah dengan Sayid Syarif Usman yang sebagai dzuriah Nabi Muhamad SAW.

Daftar Pustaka
[1] Elisa Netcsher, De Nederlanders In Djohor En Siak 1602 tot 1865, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, diterjemahkan oleh Wan Ghalib dkk
[2] Hamidy, UU, Agama dan Kehidupan Dalam Cerita Rakyat, Pekanbaru : Bumi Pustaka, 1982.
[3] Muchtar Lutfi dkk, Sejarah Riau, Pekanbaru, Percetakan Riau, Pemda Tk. I Riau, 1977.
[4] OK. Nizami Jamil dkk, Sejarah Kerajaan Siak, CV. Sukabina Pekanbaru, 2011

Belum ada Komentar untuk "Berkuasanya Para Habib Di Kesultanan Siak Sri Indrapura"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel