Kedudukan Cirebon Di Bawah Kesultanan Mataram 1613-1705
Sabtu, 08 Desember 2018
Tulis Komentar
Kesultanan Cirebon pada tahun 1613-1705 merupakan bagian dari kekuasaan Kesultanan Mataram, tapi uniknya Cirebon ini tidak dimasukan sebagai wilayah bawahan yang harus mempersembahkan Pajak ke Mataram, sebagaimana wilayah kekuasaan Mataram lainnya di wilayah Nagaragung, Mancanegara, dan Pesisir.
Bukti Kongkrit dari perlakukan yang berbeda terhadap Cirebon itu adalah tidak dihapuskannya kedudukan Kesultanan di Cirebon, padahal sebagaimana daerah lainnya, jika sudah tergabung kedalam Mataram biasanya Raja atau Sultan diubah menjadi Bupati atau Adipati.
Contoh Kasus Prabu atau Raja Sumedang Larang, sebelum menjadi bagian Mataram penguasa wilayah itu disebut Prabu/Raja, akan tetapi setelah bergabung dengan Mataram berganti menjadi Bupati, begitupun dengan wilayah kekuasaan Mataram lainnya.
Pada saat Kesultanan Mataram berkuasa, secara birokrasi Mataram memiliki tata kelola birokrasi yang berlapis-lapis. Struktur teratas terdapat raja Mataram dan keluarganya, lalu patih atau tumenggung sebagai panglima tentara. Di bawahnya struktur tersebut terdapat adipati, lalu wedana dan terakhir demang.
Mataram mempunyai struktur birokrasi yang banyak dan panjang, Cirebon menjadi salah satu bagian dari struktur tersebut. Struktur Mataram dibagi dalam enam bagian, yaitu:
Secara struktural jabatan birokrasi hingga tingkat rakyat, hampir sama seperti yang diterapkan oleh Mataram di daerah lainnya. Hanya saja derajat Cirebon di mata penguasa Mataram, yang membuat Cirebon bukanlah seperti daerah bawahan, tetapi sebagai daerah protektorat, sehingga tata cara penerapan birokrasinya sangat berbeda.
Para penguasa Cirebon tidak pernah menghaturkan upeti, walau wilayahnya berada dalam struktur kewilayahan yang terluar dari Mataram. Tidak pernahnya Cirebon menghaturkan upeti, karena Cirebon berada dalam lingkungan keluarga inti Mataram. Istri Sultan Agung dan ibu Sunan Amangkurat I serta ketiga pangeran dari Cirebon, adalah keluarga besar Mataram, sehingga tidaklah mungkin menghaturkan upeti, karena memang bukan orang bawahan.
Meskipun Cirebon tidak dikenakan aturan sebagaimana wilayah bawahan lainnya, akan tetapi Cirebon masih diwajibkan untuk menghadap ke Mataram sebagai bentuk pengakuan Cirebon atas kekuasan Mataram di Cirebon, dalam catatan Nasakah Mertasinga tradisi itu disebut Seba Mataram, yaitu Cirebon diharuskan mengunjungi Mataram dalam tiap tahunnya dalam bulan-bulan tertentu (Bulan Maulud).
Dalam catatan Kesultanan Mataram sendiri, Seba Mataram yang diberitakan dalam beberapa naskah Cirebon itu mempunyai nama Magang Tahun, yaitu Tradisi magang yang dijalankan oleh Mataram terhadap putra dari penguasa daerah di istana Mataram, menyiratkan bahwa Matarm ingin menjalankan politik jaminan kesetiaan dari para penguasa daerahnya. Selain sebagai tempat pendidikan bagi calon kepala daerah, tradisi magang di istana Mataram dianggap seperti ruang tahanan.
Tradisi magang ini adalah upaya Mataram mendidik calon penguasa daerah, untuk dapat memimpin daerahnya kelak, dengan kesetian dan pengabdian kepada raja Mataram selaku atasannya. Putra- putra penguasa daerah, khususnya Cirebon, selalu berada di istana Mataram, baik di Kerto (Istana Jaman Sultan Agung) maupun di Plered (Istana Jaman Amangkurat I).
Tradisi magang para pangeran Cirebon di Mataram telah disediakan sebaik-baiknya oleh penguasa Mataram dan tempatnya di sekitar kraton, dekat dengan raja. Oleh raja Mataram diberikan tempat khusus untuk tinggal di sekitar istana. Penyebutan tempat tinggal para putra penguasa daerah yang tinggal di sekitar istana, biasanya disebut sesuai dengan asal daerahnya, bila ada yang berasal dari Sampang Madura, dengan penyebutan Sampangan, jika datang dari Surabaya, disebut Kasurbayan dan dari Cirebon disebut Kacirebonan.
Daftar Pustaka
[1] Mubtadila, Intervensi VOC dalam Suksesi di Istana Mataram, 1677-1757, (Yogyakarta: Skripsi S 1, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015, Tidak Diterbitkan), hlm. 27
[2] Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 58-61.
[3] Najati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela, 2000), hlm. 35.
Bukti Kongkrit dari perlakukan yang berbeda terhadap Cirebon itu adalah tidak dihapuskannya kedudukan Kesultanan di Cirebon, padahal sebagaimana daerah lainnya, jika sudah tergabung kedalam Mataram biasanya Raja atau Sultan diubah menjadi Bupati atau Adipati.
Contoh Kasus Prabu atau Raja Sumedang Larang, sebelum menjadi bagian Mataram penguasa wilayah itu disebut Prabu/Raja, akan tetapi setelah bergabung dengan Mataram berganti menjadi Bupati, begitupun dengan wilayah kekuasaan Mataram lainnya.
Pada saat Kesultanan Mataram berkuasa, secara birokrasi Mataram memiliki tata kelola birokrasi yang berlapis-lapis. Struktur teratas terdapat raja Mataram dan keluarganya, lalu patih atau tumenggung sebagai panglima tentara. Di bawahnya struktur tersebut terdapat adipati, lalu wedana dan terakhir demang.
Mataram mempunyai struktur birokrasi yang banyak dan panjang, Cirebon menjadi salah satu bagian dari struktur tersebut. Struktur Mataram dibagi dalam enam bagian, yaitu:
- Kutharaja, ibukota, tempat kraton sebagai pusat pemerintahan berdiri.
- Nagaragung, suatu wilayah yang masih dalam jangkauan pengawasan raja, tetapi pengaturan wilayahnya diatur oleh patih dengan bantuan bupati.
- Mancanegara, berada di luar daerah negaragung, baik di bagian barat maupun di bagian timur, tetapi wilayahnya berada di pedalaman. Wilayah ini diatur di bawah pengawasan Bupati.
- Pesisir, adalah struktur kewilayahan Mataraam. Cirebon berada di dalamnya. Meskipun penguasa Cirebon tidak disebut sebagai seorang bupati, tetapi Panembahan dan Pangeran, wilayah Cirebon menjadi bagian dari struktur birokrasi Pesisir di bawah pengawasan bupati Tegal.
- Bang, wilayah bang adalah wilayah perbatasan, di bagian barat dengan Banten dan VOC, serta di bagian bagian timur dengan Gelgel Bali.
- Tanah Sabrang. Wilayah tanah Sabrang adalah wilayah di luar pulau Jawa seperti Palembang, Jambi dan Sukadana.
Secara struktural jabatan birokrasi hingga tingkat rakyat, hampir sama seperti yang diterapkan oleh Mataram di daerah lainnya. Hanya saja derajat Cirebon di mata penguasa Mataram, yang membuat Cirebon bukanlah seperti daerah bawahan, tetapi sebagai daerah protektorat, sehingga tata cara penerapan birokrasinya sangat berbeda.
Para penguasa Cirebon tidak pernah menghaturkan upeti, walau wilayahnya berada dalam struktur kewilayahan yang terluar dari Mataram. Tidak pernahnya Cirebon menghaturkan upeti, karena Cirebon berada dalam lingkungan keluarga inti Mataram. Istri Sultan Agung dan ibu Sunan Amangkurat I serta ketiga pangeran dari Cirebon, adalah keluarga besar Mataram, sehingga tidaklah mungkin menghaturkan upeti, karena memang bukan orang bawahan.
Meskipun Cirebon tidak dikenakan aturan sebagaimana wilayah bawahan lainnya, akan tetapi Cirebon masih diwajibkan untuk menghadap ke Mataram sebagai bentuk pengakuan Cirebon atas kekuasan Mataram di Cirebon, dalam catatan Nasakah Mertasinga tradisi itu disebut Seba Mataram, yaitu Cirebon diharuskan mengunjungi Mataram dalam tiap tahunnya dalam bulan-bulan tertentu (Bulan Maulud).
Dalam catatan Kesultanan Mataram sendiri, Seba Mataram yang diberitakan dalam beberapa naskah Cirebon itu mempunyai nama Magang Tahun, yaitu Tradisi magang yang dijalankan oleh Mataram terhadap putra dari penguasa daerah di istana Mataram, menyiratkan bahwa Matarm ingin menjalankan politik jaminan kesetiaan dari para penguasa daerahnya. Selain sebagai tempat pendidikan bagi calon kepala daerah, tradisi magang di istana Mataram dianggap seperti ruang tahanan.
Tradisi magang ini adalah upaya Mataram mendidik calon penguasa daerah, untuk dapat memimpin daerahnya kelak, dengan kesetian dan pengabdian kepada raja Mataram selaku atasannya. Putra- putra penguasa daerah, khususnya Cirebon, selalu berada di istana Mataram, baik di Kerto (Istana Jaman Sultan Agung) maupun di Plered (Istana Jaman Amangkurat I).
Tradisi magang para pangeran Cirebon di Mataram telah disediakan sebaik-baiknya oleh penguasa Mataram dan tempatnya di sekitar kraton, dekat dengan raja. Oleh raja Mataram diberikan tempat khusus untuk tinggal di sekitar istana. Penyebutan tempat tinggal para putra penguasa daerah yang tinggal di sekitar istana, biasanya disebut sesuai dengan asal daerahnya, bila ada yang berasal dari Sampang Madura, dengan penyebutan Sampangan, jika datang dari Surabaya, disebut Kasurbayan dan dari Cirebon disebut Kacirebonan.
Daftar Pustaka
[1] Mubtadila, Intervensi VOC dalam Suksesi di Istana Mataram, 1677-1757, (Yogyakarta: Skripsi S 1, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015, Tidak Diterbitkan), hlm. 27
[2] Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 58-61.
[3] Najati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela, 2000), hlm. 35.
Belum ada Komentar untuk "Kedudukan Cirebon Di Bawah Kesultanan Mataram 1613-1705"
Posting Komentar