Kartosuwiryo Pendiri NII Yang Hampir Jadi Komunis
Rabu, 24 Oktober 2018
Tulis Komentar
Ketertarikan Kartosuwiryo pada paham Komunis ketika ia melanjutkan study di sekolah kedokteran milik Belanda, ketertarikannya itu bermula dari perjumpaannya dengan Mas Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan dari partai komunis Indonesia. Ketertarikan Kartosuwiryo pada komunis bukan main-main, ia pun dengan tekun mempelajari bahkan mengkoleksi buku-buku bacaan sosialis dan komunis. Peristiwa inilah yang kemudian menyebabkan dipecatnya Kartosuwiryo dari sekolah kedokteran milik pemerintah Belanda.
Dalam buku karya Holk Harald Dengel yang berjudul “Darul Islam dan Kartosuwirjo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang Gagal” disebutkan bahwa pada tahun 1923 ayah Karto Suwiryo yang merupakan Mantri Candu (Opium) menyekolahkan anaknya ke NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya.
Baca Juga: Candu dan Kartosuwiryo, Pendiri DII/NII-TII
Ketika menjadi calon dokter, rupanya Kartosuwiryo lebih suka dengan politik, sebab itulah ia masuk organiasasi Jong Java di Surabaya. Dalam buku karya Irfan S. Awwas, yang berjudul “Trilogi kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler”. Dipaparkan bahwa sebelum memasuki Jong Java, yaitu tepatnya ketika Kartoswiryo tinggal di Bojonegoro Kartosuwiryo ikut serta dalam Pendidikan agama ia belajar pada seorang tokoh Muhammadiyah yang bernama Notodiharjo. Dari pembelajarannya pada Tokoh Muhamadiyah itu pemikirannya sedikit terpengaruh ajaran keislaman. Oleh karena itu ketika masuk di Jong Java ia kerap bertentangan dengan teman-temannya yang Nasionalis.
Menurut Holk Harald Dengel (1995:8), karena merasa selalu berselisih paham dengan kawan-kawanya yang Nasionalis , maka bersama teman-temannya yang sehaluan, Kartosuwiryo Keluar dari Jong Java dan mendirikan organisasi baru dengan nama Jong Islamieten Bond pada tahun 1925. Kartosuwiryo pun pada akhirnya pindah ke organisasi yang baru itu dan tidak lama kemudian ia menjabat sebagai ketua cabangnya di Surabaya.
Selama aktif di Jong Islamieten Bond dan menjadi siswa kedokteran inilah kemudian ia bertemu dengan pamannya yang bernama Mas Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan dari partai komunis Indonesia. Paham keislamannya seperti luntur seketika ketika berhadapan dengan pamanya, iapun kemudian semacam menggemari ajaran komunisme dan ide-ide pemikian sosialisnya. Terbukti dari kegemarannya mengoleksi buku-buku komunisme dan sosialisme.
Meskipun demikian, kekaguman dan ketertarikannya pada komunis rupanya tidak sampai mengantarkannya menjadi seorang Komunis sejati, mengingat intensitas pertemuannya dengan pamannya terbatas, hal tersebut dapat dimaklumi karena pamannya ini dikisahkan sebagai seorang wartawan yang super sibuk.
Setelah peristiwa pemecatanya sebagai siswa Kedokteran karena menyimpan buku-buku komunis dan banyak mempengeruhi teman sekolahnya dengan ide-ide komunisme, Karto Suwiryo seperti kehilangan arah, dan putus asa. Sebab ayahnya yang menghendaikinya menjadi seorang dokter kecewa. Dalam keadaan inilah kemudian ia dipungut oleh H. O. S. Cokroaminoto pemimpin PSI (Partai Sarikat Islam). Ia kemudian diangkat menjadi murid sekaligus menjadi sekretaris pribadinya pada bulan September 1927.
Intensifitas Kartosuwiryo dalam mendampingi H. O. S. Cokroaminoto yang berhaluan Islam ini kemudian secara pelan-pelan menghilangkan kecintaanya pada Komunisme, hingga kemudian kembali lagi ke pemahaman dahulunya yaitu Islamisme. Di PSI rupanya ia kemudian aktif dalam berorganiasi, Keaktifan dan hubungan dekatnya dengan H. O. S. Cokroaminoto itulah yang kemudian membuat Kartosuwiryo mulai banyak dikenal oleh kalangan PSI sekaligus menandai awal kariernya dalam PSI.
Kelak setelah proklasmasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 disusul dengan Agresi militer Belanda selepas perjanjian Renvile yaitu pada tahun 1948-1949 Karto Suwiryo mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) yang kelak juga di cap sebagai pemberontak oleh Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 1945.
Dalam buku karya Holk Harald Dengel yang berjudul “Darul Islam dan Kartosuwirjo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang Gagal” disebutkan bahwa pada tahun 1923 ayah Karto Suwiryo yang merupakan Mantri Candu (Opium) menyekolahkan anaknya ke NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya.
Baca Juga: Candu dan Kartosuwiryo, Pendiri DII/NII-TII
Ketika menjadi calon dokter, rupanya Kartosuwiryo lebih suka dengan politik, sebab itulah ia masuk organiasasi Jong Java di Surabaya. Dalam buku karya Irfan S. Awwas, yang berjudul “Trilogi kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler”. Dipaparkan bahwa sebelum memasuki Jong Java, yaitu tepatnya ketika Kartoswiryo tinggal di Bojonegoro Kartosuwiryo ikut serta dalam Pendidikan agama ia belajar pada seorang tokoh Muhammadiyah yang bernama Notodiharjo. Dari pembelajarannya pada Tokoh Muhamadiyah itu pemikirannya sedikit terpengaruh ajaran keislaman. Oleh karena itu ketika masuk di Jong Java ia kerap bertentangan dengan teman-temannya yang Nasionalis.
Menurut Holk Harald Dengel (1995:8), karena merasa selalu berselisih paham dengan kawan-kawanya yang Nasionalis , maka bersama teman-temannya yang sehaluan, Kartosuwiryo Keluar dari Jong Java dan mendirikan organisasi baru dengan nama Jong Islamieten Bond pada tahun 1925. Kartosuwiryo pun pada akhirnya pindah ke organisasi yang baru itu dan tidak lama kemudian ia menjabat sebagai ketua cabangnya di Surabaya.
Selama aktif di Jong Islamieten Bond dan menjadi siswa kedokteran inilah kemudian ia bertemu dengan pamannya yang bernama Mas Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan dari partai komunis Indonesia. Paham keislamannya seperti luntur seketika ketika berhadapan dengan pamanya, iapun kemudian semacam menggemari ajaran komunisme dan ide-ide pemikian sosialisnya. Terbukti dari kegemarannya mengoleksi buku-buku komunisme dan sosialisme.
Meskipun demikian, kekaguman dan ketertarikannya pada komunis rupanya tidak sampai mengantarkannya menjadi seorang Komunis sejati, mengingat intensitas pertemuannya dengan pamannya terbatas, hal tersebut dapat dimaklumi karena pamannya ini dikisahkan sebagai seorang wartawan yang super sibuk.
Setelah peristiwa pemecatanya sebagai siswa Kedokteran karena menyimpan buku-buku komunis dan banyak mempengeruhi teman sekolahnya dengan ide-ide komunisme, Karto Suwiryo seperti kehilangan arah, dan putus asa. Sebab ayahnya yang menghendaikinya menjadi seorang dokter kecewa. Dalam keadaan inilah kemudian ia dipungut oleh H. O. S. Cokroaminoto pemimpin PSI (Partai Sarikat Islam). Ia kemudian diangkat menjadi murid sekaligus menjadi sekretaris pribadinya pada bulan September 1927.
Intensifitas Kartosuwiryo dalam mendampingi H. O. S. Cokroaminoto yang berhaluan Islam ini kemudian secara pelan-pelan menghilangkan kecintaanya pada Komunisme, hingga kemudian kembali lagi ke pemahaman dahulunya yaitu Islamisme. Di PSI rupanya ia kemudian aktif dalam berorganiasi, Keaktifan dan hubungan dekatnya dengan H. O. S. Cokroaminoto itulah yang kemudian membuat Kartosuwiryo mulai banyak dikenal oleh kalangan PSI sekaligus menandai awal kariernya dalam PSI.
Kelak setelah proklasmasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 disusul dengan Agresi militer Belanda selepas perjanjian Renvile yaitu pada tahun 1948-1949 Karto Suwiryo mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) yang kelak juga di cap sebagai pemberontak oleh Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 1945.
Belum ada Komentar untuk "Kartosuwiryo Pendiri NII Yang Hampir Jadi Komunis"
Posting Komentar