Candu dan Kartosuwiryo, Pendiri DII/NII-TII
Rabu, 24 Oktober 2018
Tulis Komentar
Kartosuwiryo merupakan tokoh fenomenal di Indonesia, beliau pernah berjuang menegakan Darul Islam Indonesia (DII/Negara Islam Indonesia) dengan pusat pergerakan di Kota Garut Jawa Barat, tokoh ini juga dikenal sebagai tokoh yang mengenyam pendidikan tinggi, beliau pernah mengenyam pendidikan tinggi di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda. Pembiyayaan pendidikan Kartosuwiryo disuplai oleh ayahnya sendiri, orang tuanya terbilang mapan secara ekonomi sebab merupakan Mantri Candu (opium) yakni seorang pegawai yang tugasnya menjadi perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai pemerintah kolonial Belanda[9].
Pada abad 19 pemerintah Belanda melegalkan Candu untuk diperjual belikan di Hindia Belanda (Indonesia), Pabrik Candu pertama yang dibangun adalah di Batvia, meskipun demikian pemerintah Hindia Belanda juga rupanya melarang menanam opium diwilayahnya dari itulah opium yang ada di Indonesia merupakan opium impor. Bahan mentah opium diperoleh dari India, Bengal, Persia, dan Turki. [1]
Meskipun sudah diketahui dampak buruk dari konsumsi opium, namun potensi keuntungan yang melimpah telah menutupi segalanya. Pengaruh negatif opium terhadap masyarakat pun pernah dikeluhkan Raffles pada masa Kolonialisme Inggris.
Pada tahun 1815, Raffles pernah mencoba menghapus perdagangan opium di Hindia Belanda, akan tetapi usaha itu tidak disetujui oleh atasannya di Calcutta[2], binis dan perdagangan Candu yang sangat menguntungkan bagi kantong para pejabat tinggi Belanda ini bertahan hingga menjelang kemerdekaan Indonesia.
Dalam pengelolaan perdagangan opium, pemerintah Belanda menerapkan sistem Opium Pacht. Cara kerja dari Sistem Opium Pacht adalah memonopoli penjualan opium secara eceran kepada penduduk melalui pedagang perantara.
Suplai opium dari pemerintah Hindia Belanda dipasok kepada hoofdpachter (kepala bandar) kemudian diteruskan melalui onder pachter (sub bandar) ke konsumen.
Dalam sistem ini banyak orang Tionghoa yang terjun dan menjadi kepala bandar di Jawa dan Bandar Tionghoa adalah yang paling royal terhadap transaksi opium[3]. Salah satu yang menjadi pegawai Belanda penyuplai Candu ke hoofdpachter (kepala bandar Candu) adalah Bapak dari Kartowiryo, Pendiri DII-TII.
Candu atau Opium sendiri merupakan Narkoba jaman dahulu, penikmatnya bisa lupa daratan jika mengkonsumsi Candu, dampak buruknya luar biasa, bahkan dalam catatan sejarah disebutkan, dampak dari pelegalan Candu di Jawa berdampak buruknya kualitas hidup orang-orang Jawa.
Pada 1899 C.Th Deventer membujuk pemerintah Belanda untuk membayar utang kehormatan sebagai ganti rugi atas sikap mengabaikan penduduk di wilayah jajahan, disusul dengan pernyataan resmi Ratu Wilhelmina pada 1901 yang menyatakan penyesalan atas hilangnya kesejahteraan penduduk Jawa karena pelegalan Candu[4].
Karto Suwiryo yang mempunyai nama asli Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo atau yang dikenal dengan Kartosuwiryo lahir pada hari selasa kliwon tanggal 7 Februari 1905 di Cepu, Jawa Tengah. Sewaktu kecil Kartosuwiryo akrab disapa dengan nama Sekarmaji. Adapun nama “Kartosuwiryo” sendiri sebenarnya merupakan nama dari ayahnya[5]. Dengan demikian seharusnya Karto Suwiryo bernama Sekarmaji Marijan bin Kartosuwiryo.
Sebagai seorang anak Mantri Candu, Karto Suwiryo dalam masa-masa kanak-kanaknya sering berpindah-pindah kota mengikuti pekerjaan ayahnya yang super sibuk. Kartosuwiryo mulai mendapat pendidikan formal pada tahun 1911.
Pada waktu itu Kartosuwiryo masuk ke Sekolah “ongko loro" atau Sekolah Rakyat, sekolah yang diperuntukkan khusus bagi pribumi di desa tempat tinggal orang tuanya yaitu di Pamotan, Rembang[6].Setelah menamatkan sekolah selama empat tahun, Kartosuwiryo melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Kelas Satu. Mulamula Kartosuwiryo masuk ke Sekolah HIS (Hollansch-Inlandsche School) atau Sekolah Bumiputera Bahasa Belanda di Rembang.
Kemudian pada tahun 1919, setelah kedua orang tuanya pindah ke Bojonegoro, Kartosuwiryo sekolah di ELS (Europese Lagere School) atau Sekolah Dasar Eropa di Bojonegoro. HIS dan ELS merupakan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak priyayi atau bangsawan. Bagi para pribumi sekolah-sekolah ini merupakan sekolah elite dan tidak semua golongan pribumi dapat masuk karena syarat-syaratnya yang sangat ketat. Dengan demikian Kartosuwiryo sebagai seorang pribumi sangat beruntung sempat memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah elite tersebut. Pada waktu di Bojonegoro Kartosuwiryo mulai mengisi masa remajanya dengan belajar mengenai pendidikan agama. Pendidikan agama ia peroleh dari seorang tokoh Muhammadiyah yang bernama Notodiharjo[7].
Pada tahun 1923 Kartosuwiryo melanjutkan sekolahnya di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Selama di Surabaya ini Kartosuwiryo mulai aktif dalam politik. Awal mula keaktifannya dimulai sejak ia memasuki organisasi Jong Java di Surabaya. Dalam organisasi ini ia dipercaya menjadi ketua Jong Java cabang Surabaya pada tahun 1924. Namun kemudian timbul perselisihan dalam tubuh organisasi Jong Java yang dipelopori oleh anggota-anggota yang lebih mengutamakan cita-cita keislaman. Mereka ini selanjutnya mendirikan organisasi baru dengan nama Jong Islamieten Bond pada tahun 1925. Kartosuwiryo pun pada akhirnya pindah ke organisasi yang baru itu dan tidak lama kemudian ia menjabat sebagai ketua cabangnya di Surabaya[8].
Pada 1927 Kartoswiryo telah aktif dan menjadi sekretaris umum PSIHT (Partai Sarikat Islam Hindia Timur). Dalam tugasnya sebagai Sekertaris inilah, ia diharuskan tinggal di Batavia, selama tinggal di Batavia, ia juga menjadi wartawan pada redaksi Fadjar Asia, koran harian milik partai tersebut. Sebagai seorang sekretaris umum, Kartosuwiryo sering melakukan perjalanan guna mengunjungi cabang-cabang PSIHT di tiap-tiap daerah. Dalam kunjungannya itu, Kartosuwiryo sempat berkunjung ke daerah Malangbong, Garut, Jawa Barat. Di Malangbong ini Kartosuwiryo bertemu dengan Ajengan Ardiwisastra, seorang tokoh PSIHT, setempat. Kartosuwiryo juga berkenalan dengan Dewi Siti Kalsum yang merupakan putri dari Ajengan Ardiwisastra. Dengan Dewi Siti Kalsum inilah Kartosuwiryo menikah dan pernikahan tersebut berlangsung di Malangbong pada bulan April 1929[9].
Setelah selesai sekolah dan kemudian aktif dalam organisasi Kartosuwiryo secara otomatis lepas dari kedua orangn tuanya yang dahulu membiyayainya dalam pendidikan. Namun yang perlu dicatat adalah, kesuksesan Karosuwiryo dalam mengenyam pendidikan elit dizamanya sehingga sama sepeti priyayi/bangswan lainnya tentu tidak lepas dari kiprah keuangan bapanya yang bekerja sebagai Mantri Candu Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada masa penjajahan Jepang, dan Agresi Militer Belanda di Jawa, Karosuwiryo tetap tinggal di Garut bersama Istrinya, kelak di Malangbong Garut itulah Karosuwiryo merencanakan pendirian TII-DII pada 17 Agustus 1949, yang pada akhirnya kemudian di cap sebagai pemberontak oleh pemerintah Republik Indonesia. Kartosuwiryo Sendiri kemudian ditatangkap oleh pemerintah setelah melakukan aksi-aksi pemberontakan, beliau kemudian di eksekusi mati oleh Pemerintah pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu Jakarta.
Baca Juga : Kartosuwiryo Pendiri NII yang Hampir Jadi Komunis
Daftar Pustaka
[1] Liem Thian Joe, Riwayat Semarang, Dari Jamannya Sam Poo Sampai Terhapusnya Kongkoan, (Jakarta: Hasta Wahana, 2004), hlm. 31.
[2] Asmi Rahayu, “Perdagangan Candu di Jawa akhir abad XIX awal abad XX”, Skripsi, (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2002), hlm. 4.
[3] Ibid
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Opium
[5] Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Jakarta: Aryaguna, 1964, hlm 20.
[6] Holk Harald Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang Gagal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 7.
[7] Irfan S. Awwas, Trilogi kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. Yogyakarta: USWAH, 2008, hlm. 351
[8] Holk Harald Dengel, op.cit., hlm. 8
[9] Ruslan, dkk. , Mengapa Mereka Memberontak? Dedenglot Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008, hlm 3.
Pada abad 19 pemerintah Belanda melegalkan Candu untuk diperjual belikan di Hindia Belanda (Indonesia), Pabrik Candu pertama yang dibangun adalah di Batvia, meskipun demikian pemerintah Hindia Belanda juga rupanya melarang menanam opium diwilayahnya dari itulah opium yang ada di Indonesia merupakan opium impor. Bahan mentah opium diperoleh dari India, Bengal, Persia, dan Turki. [1]
Meskipun sudah diketahui dampak buruk dari konsumsi opium, namun potensi keuntungan yang melimpah telah menutupi segalanya. Pengaruh negatif opium terhadap masyarakat pun pernah dikeluhkan Raffles pada masa Kolonialisme Inggris.
Pada tahun 1815, Raffles pernah mencoba menghapus perdagangan opium di Hindia Belanda, akan tetapi usaha itu tidak disetujui oleh atasannya di Calcutta[2], binis dan perdagangan Candu yang sangat menguntungkan bagi kantong para pejabat tinggi Belanda ini bertahan hingga menjelang kemerdekaan Indonesia.
Dalam pengelolaan perdagangan opium, pemerintah Belanda menerapkan sistem Opium Pacht. Cara kerja dari Sistem Opium Pacht adalah memonopoli penjualan opium secara eceran kepada penduduk melalui pedagang perantara.
Suplai opium dari pemerintah Hindia Belanda dipasok kepada hoofdpachter (kepala bandar) kemudian diteruskan melalui onder pachter (sub bandar) ke konsumen.
Dalam sistem ini banyak orang Tionghoa yang terjun dan menjadi kepala bandar di Jawa dan Bandar Tionghoa adalah yang paling royal terhadap transaksi opium[3]. Salah satu yang menjadi pegawai Belanda penyuplai Candu ke hoofdpachter (kepala bandar Candu) adalah Bapak dari Kartowiryo, Pendiri DII-TII.
Candu atau Opium sendiri merupakan Narkoba jaman dahulu, penikmatnya bisa lupa daratan jika mengkonsumsi Candu, dampak buruknya luar biasa, bahkan dalam catatan sejarah disebutkan, dampak dari pelegalan Candu di Jawa berdampak buruknya kualitas hidup orang-orang Jawa.
Pada 1899 C.Th Deventer membujuk pemerintah Belanda untuk membayar utang kehormatan sebagai ganti rugi atas sikap mengabaikan penduduk di wilayah jajahan, disusul dengan pernyataan resmi Ratu Wilhelmina pada 1901 yang menyatakan penyesalan atas hilangnya kesejahteraan penduduk Jawa karena pelegalan Candu[4].
Potret Penikmat Candu[Opium] di P Jawa |
Sebagai seorang anak Mantri Candu, Karto Suwiryo dalam masa-masa kanak-kanaknya sering berpindah-pindah kota mengikuti pekerjaan ayahnya yang super sibuk. Kartosuwiryo mulai mendapat pendidikan formal pada tahun 1911.
Pada waktu itu Kartosuwiryo masuk ke Sekolah “ongko loro" atau Sekolah Rakyat, sekolah yang diperuntukkan khusus bagi pribumi di desa tempat tinggal orang tuanya yaitu di Pamotan, Rembang[6].Setelah menamatkan sekolah selama empat tahun, Kartosuwiryo melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Kelas Satu. Mulamula Kartosuwiryo masuk ke Sekolah HIS (Hollansch-Inlandsche School) atau Sekolah Bumiputera Bahasa Belanda di Rembang.
Kemudian pada tahun 1919, setelah kedua orang tuanya pindah ke Bojonegoro, Kartosuwiryo sekolah di ELS (Europese Lagere School) atau Sekolah Dasar Eropa di Bojonegoro. HIS dan ELS merupakan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak priyayi atau bangsawan. Bagi para pribumi sekolah-sekolah ini merupakan sekolah elite dan tidak semua golongan pribumi dapat masuk karena syarat-syaratnya yang sangat ketat. Dengan demikian Kartosuwiryo sebagai seorang pribumi sangat beruntung sempat memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah elite tersebut. Pada waktu di Bojonegoro Kartosuwiryo mulai mengisi masa remajanya dengan belajar mengenai pendidikan agama. Pendidikan agama ia peroleh dari seorang tokoh Muhammadiyah yang bernama Notodiharjo[7].
Pada tahun 1923 Kartosuwiryo melanjutkan sekolahnya di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Selama di Surabaya ini Kartosuwiryo mulai aktif dalam politik. Awal mula keaktifannya dimulai sejak ia memasuki organisasi Jong Java di Surabaya. Dalam organisasi ini ia dipercaya menjadi ketua Jong Java cabang Surabaya pada tahun 1924. Namun kemudian timbul perselisihan dalam tubuh organisasi Jong Java yang dipelopori oleh anggota-anggota yang lebih mengutamakan cita-cita keislaman. Mereka ini selanjutnya mendirikan organisasi baru dengan nama Jong Islamieten Bond pada tahun 1925. Kartosuwiryo pun pada akhirnya pindah ke organisasi yang baru itu dan tidak lama kemudian ia menjabat sebagai ketua cabangnya di Surabaya[8].
Pada 1927 Kartoswiryo telah aktif dan menjadi sekretaris umum PSIHT (Partai Sarikat Islam Hindia Timur). Dalam tugasnya sebagai Sekertaris inilah, ia diharuskan tinggal di Batavia, selama tinggal di Batavia, ia juga menjadi wartawan pada redaksi Fadjar Asia, koran harian milik partai tersebut. Sebagai seorang sekretaris umum, Kartosuwiryo sering melakukan perjalanan guna mengunjungi cabang-cabang PSIHT di tiap-tiap daerah. Dalam kunjungannya itu, Kartosuwiryo sempat berkunjung ke daerah Malangbong, Garut, Jawa Barat. Di Malangbong ini Kartosuwiryo bertemu dengan Ajengan Ardiwisastra, seorang tokoh PSIHT, setempat. Kartosuwiryo juga berkenalan dengan Dewi Siti Kalsum yang merupakan putri dari Ajengan Ardiwisastra. Dengan Dewi Siti Kalsum inilah Kartosuwiryo menikah dan pernikahan tersebut berlangsung di Malangbong pada bulan April 1929[9].
Setelah selesai sekolah dan kemudian aktif dalam organisasi Kartosuwiryo secara otomatis lepas dari kedua orangn tuanya yang dahulu membiyayainya dalam pendidikan. Namun yang perlu dicatat adalah, kesuksesan Karosuwiryo dalam mengenyam pendidikan elit dizamanya sehingga sama sepeti priyayi/bangswan lainnya tentu tidak lepas dari kiprah keuangan bapanya yang bekerja sebagai Mantri Candu Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada masa penjajahan Jepang, dan Agresi Militer Belanda di Jawa, Karosuwiryo tetap tinggal di Garut bersama Istrinya, kelak di Malangbong Garut itulah Karosuwiryo merencanakan pendirian TII-DII pada 17 Agustus 1949, yang pada akhirnya kemudian di cap sebagai pemberontak oleh pemerintah Republik Indonesia. Kartosuwiryo Sendiri kemudian ditatangkap oleh pemerintah setelah melakukan aksi-aksi pemberontakan, beliau kemudian di eksekusi mati oleh Pemerintah pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu Jakarta.
Baca Juga : Kartosuwiryo Pendiri NII yang Hampir Jadi Komunis
Daftar Pustaka
[1] Liem Thian Joe, Riwayat Semarang, Dari Jamannya Sam Poo Sampai Terhapusnya Kongkoan, (Jakarta: Hasta Wahana, 2004), hlm. 31.
[2] Asmi Rahayu, “Perdagangan Candu di Jawa akhir abad XIX awal abad XX”, Skripsi, (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2002), hlm. 4.
[3] Ibid
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Opium
[5] Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Jakarta: Aryaguna, 1964, hlm 20.
[6] Holk Harald Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang Gagal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 7.
[7] Irfan S. Awwas, Trilogi kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. Yogyakarta: USWAH, 2008, hlm. 351
[8] Holk Harald Dengel, op.cit., hlm. 8
[9] Ruslan, dkk. , Mengapa Mereka Memberontak? Dedenglot Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008, hlm 3.
Belum ada Komentar untuk "Candu dan Kartosuwiryo, Pendiri DII/NII-TII"
Posting Komentar