Konflik Masyumi Vs PKI, dan Terprovokasinya Banser pada Tragedi Kaniogoro
Rabu, 19 September 2018
Tulis Komentar
Pada tahun 1960 Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibubarkan pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatra. Partai Komunis Indonesia pun tertawa, karena musuh terberatnya dalam kancah politik dibungkam. Meskipun demikian sisa-sisa orang-orang Masyumi masih bertahan dengan gaya politiknya yaitu kontra terhadap PKI.
Jika orang-orang PKI menghina Masyumi sebagai partai penghianat, maka begitupun sisa-sisa orang Masyumi mereka menduh PKI anti tuhan, anti agama dan lain sebagainya. Ledakan konflik antara pendukung Masyumi dan PKI yang berdarah-darah akhirnya meletus di Kaniogoro, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri.
Orang-orang Kaniogoro yang mayoritasnya PKI itu mengusir bahkan bertindak brutal pada mantan aktivis Masyumi yang sedang mengadakan pengajian di desa itu, selain itu berita yang tersiar di masyarakat dikabarkan bahwa aparat Kepolisaian dan Tentara justru membela PKI, mendengar berita pahit ini, Gus Maksum, putra K.H. Jauhari memimpin pasukan Banser NU untuk menyerang Desa kaniogoro. Konflik bertambah runyam, sebab Banser terprovokasi.
Persitiwa Kaniogoro terjadi pada bulan Januari 1965, peristiwa dimulai dari kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), organiasi ini mengadakan kegiatan Mental Traning yang disingkat dengan “MANTRA”, kegiatan ini semacam kegiatan penggemblengan mental bagi kader PII yang diselipi pengajian dan ceramah dari tokoh-tokoh agama. Kegiatan pada mulanya akan dilaksanakan selama satu minggu yaitu dari mulai 9 Januari sampai dengan 15 Januari.
Dalam acara ini, PII mendatangkan tokoh-tokoh agama yang dahulu merupakan mantan aktivis Partai Masyumi yang tentu musuh bebuyutan PKI. Kegiatan yang diadakan PPI di Kaniogoro ini menurut kritikus sejarah sebagai tindakan memancing amarah PKI. Sebab memang Desa Kaniogoro sendiri merupakan desa yang mayoritasnya dihuni oleh orang-orang PKI. Jadi menurutnya PII memancing kemarahan, katanya PII ditunggai elit politik Jakarta yang kontra terhadap PKI[1].
Kegiatan PII selama 3 hari dari mulai 9 Januari sampai 12 Januari berjalan lancar, konfilik antara penduduk Kaniogoro dengan para pendatang PPI di desa itu baru muncul ketika PII mendatangkan M. Samelan, mantan aktivis Masyumi untuk berceramah di acara tersebut.
Izin pendatangan M. Samelan untuk berceramah dalam kegiatan MANTRA mulanya dilarang oleh Komandan Kodim Kediri demi menghindari kerusuhan. Namun Anis Abiyoso, yang kala itu sebagai panitia yang juga merangkap sebagai pengurus PII Jawa Timur memaksa, ia tetap mendatangkan M. Samelan untuk berceramah.
12 Januari, M. Samelan berceramah dengan menyinggung PKI dan keburukanya, mendengar ceramah M. Saleman yang provokatif, maka pada pukul 04.00 sebanyak 2000 penduduk Desa Kaniogoro yang memang mayoritasnya anggota PKI menggeruduk tempat kegiatan Mantra, dalam filem Propaganda Rezim Orde Baru yaitu filem G 30 SPKI, digambarkan bahwa peristiwa penyerbuan masyarakat Kaniogoro dalam acara PII itu dilaksanakan ketika anggota PII sedang melaksanakan shalat Subuh, masa mengepung mushala, menganiyaya jama’ah dan merobek-robek al-quran.
Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, peristiwa itu terjadi usai sahur di sepertiga terakhir Ramadhan, Peristiwa tersebut terjadi pada pukul 04.30 pagi, ketika kaum Muslim menunaikan salat Subuh. Masa penggeruduk dikisahkan membawa senjata, kaki mereka kotor tanpa alas kaki dan dengan seenaknya memasuki Masjid[2].
Masa kemudian menangkapi anggota PII, mereka berjumlah 127 dan panitianya 36 orang, mereka di ikat, dan dianiyaya, kemudian diarak menuju kantor polisi yang jaraknya 7 km dari Kaniogoro. Mereka kemudian diserahkan ke kantor polisi karena dianggap menyelenggarakan acara yang meresahkan warga kaniogoro, selain itu mereka juga menuntut pelanggaran izin yang dilakukan PII karena mendatangkan penceramah mantan Masyumi.
Tragedi Kaniogoro isunya menyebar kemana-mana, Isu yang santer terdengar adalah PKI menyerbu masjid, merobek-robek al-quran dan hal-hal buruk lainnya. Berita ini pun terdengar kemana-mana. Mendengar berita ini maka pada 5 hari setelah peristiwa itu, Gus Maksum, putra K.H. Jauhari memimpin pasukan Banser NU untuk menyerang Desa kaniogoro, namun serangan ini bocor dan dapat diredam oleh tentara. Banser pun kemudian bubar, dan kemudian tidak menimbulkan konflik lanjutan.
Peristiwa Kaniogoro adalah peristiwa permainan politik elit Jakarta tingkat Dewa, permainan orang-orang yang ingin berkuasa dan memperburuk citra orang-orang PKI yang kala itu sedang berkuasa dalam tubuh pemerintahan Soekarno.
Mereka mengadakan event-event yang sengaja menciptakan provokasi dengan cara menunggangi ormas/aktivis yang memang bermusuhan dengan PKI, harapanya rakyat membenci PKI. Sari Emingahayu menduga dalang dari kegiatan itu adalah para Jendral yang kemudian dibunuh oleh PKI dalam peristiwa G 30 SPKI.
Catatan Kaki
[1] Menurut Sari Emingahayu ada konspirasi yang berkembang di seputar penyelenggaraan Mantra dimana elit-elit PII telah dapat perintah dari Jenderal Nasution agar mengintensifkan kegiatan-kegiatan mantra di daerah-daerah basis PKI.” Kanigoro salah satunya. Dalam buku Sisi Senyap Politik Bising. 2007. Yogyakarta : Kanisius
[2] Ahmadun Yosi Herfanda. 1995. Teror Subuh di Kanigoro. Yogyakarta: Bentang Budaya
Jika orang-orang PKI menghina Masyumi sebagai partai penghianat, maka begitupun sisa-sisa orang Masyumi mereka menduh PKI anti tuhan, anti agama dan lain sebagainya. Ledakan konflik antara pendukung Masyumi dan PKI yang berdarah-darah akhirnya meletus di Kaniogoro, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri.
Orang-orang Kaniogoro yang mayoritasnya PKI itu mengusir bahkan bertindak brutal pada mantan aktivis Masyumi yang sedang mengadakan pengajian di desa itu, selain itu berita yang tersiar di masyarakat dikabarkan bahwa aparat Kepolisaian dan Tentara justru membela PKI, mendengar berita pahit ini, Gus Maksum, putra K.H. Jauhari memimpin pasukan Banser NU untuk menyerang Desa kaniogoro. Konflik bertambah runyam, sebab Banser terprovokasi.
Persitiwa Kaniogoro terjadi pada bulan Januari 1965, peristiwa dimulai dari kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), organiasi ini mengadakan kegiatan Mental Traning yang disingkat dengan “MANTRA”, kegiatan ini semacam kegiatan penggemblengan mental bagi kader PII yang diselipi pengajian dan ceramah dari tokoh-tokoh agama. Kegiatan pada mulanya akan dilaksanakan selama satu minggu yaitu dari mulai 9 Januari sampai dengan 15 Januari.
Dalam acara ini, PII mendatangkan tokoh-tokoh agama yang dahulu merupakan mantan aktivis Partai Masyumi yang tentu musuh bebuyutan PKI. Kegiatan yang diadakan PPI di Kaniogoro ini menurut kritikus sejarah sebagai tindakan memancing amarah PKI. Sebab memang Desa Kaniogoro sendiri merupakan desa yang mayoritasnya dihuni oleh orang-orang PKI. Jadi menurutnya PII memancing kemarahan, katanya PII ditunggai elit politik Jakarta yang kontra terhadap PKI[1].
Kegiatan PII selama 3 hari dari mulai 9 Januari sampai 12 Januari berjalan lancar, konfilik antara penduduk Kaniogoro dengan para pendatang PPI di desa itu baru muncul ketika PII mendatangkan M. Samelan, mantan aktivis Masyumi untuk berceramah di acara tersebut.
Izin pendatangan M. Samelan untuk berceramah dalam kegiatan MANTRA mulanya dilarang oleh Komandan Kodim Kediri demi menghindari kerusuhan. Namun Anis Abiyoso, yang kala itu sebagai panitia yang juga merangkap sebagai pengurus PII Jawa Timur memaksa, ia tetap mendatangkan M. Samelan untuk berceramah.
12 Januari, M. Samelan berceramah dengan menyinggung PKI dan keburukanya, mendengar ceramah M. Saleman yang provokatif, maka pada pukul 04.00 sebanyak 2000 penduduk Desa Kaniogoro yang memang mayoritasnya anggota PKI menggeruduk tempat kegiatan Mantra, dalam filem Propaganda Rezim Orde Baru yaitu filem G 30 SPKI, digambarkan bahwa peristiwa penyerbuan masyarakat Kaniogoro dalam acara PII itu dilaksanakan ketika anggota PII sedang melaksanakan shalat Subuh, masa mengepung mushala, menganiyaya jama’ah dan merobek-robek al-quran.
Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, peristiwa itu terjadi usai sahur di sepertiga terakhir Ramadhan, Peristiwa tersebut terjadi pada pukul 04.30 pagi, ketika kaum Muslim menunaikan salat Subuh. Masa penggeruduk dikisahkan membawa senjata, kaki mereka kotor tanpa alas kaki dan dengan seenaknya memasuki Masjid[2].
Masa kemudian menangkapi anggota PII, mereka berjumlah 127 dan panitianya 36 orang, mereka di ikat, dan dianiyaya, kemudian diarak menuju kantor polisi yang jaraknya 7 km dari Kaniogoro. Mereka kemudian diserahkan ke kantor polisi karena dianggap menyelenggarakan acara yang meresahkan warga kaniogoro, selain itu mereka juga menuntut pelanggaran izin yang dilakukan PII karena mendatangkan penceramah mantan Masyumi.
Tragedi Kaniogoro isunya menyebar kemana-mana, Isu yang santer terdengar adalah PKI menyerbu masjid, merobek-robek al-quran dan hal-hal buruk lainnya. Berita ini pun terdengar kemana-mana. Mendengar berita ini maka pada 5 hari setelah peristiwa itu, Gus Maksum, putra K.H. Jauhari memimpin pasukan Banser NU untuk menyerang Desa kaniogoro, namun serangan ini bocor dan dapat diredam oleh tentara. Banser pun kemudian bubar, dan kemudian tidak menimbulkan konflik lanjutan.
Peristiwa Kaniogoro adalah peristiwa permainan politik elit Jakarta tingkat Dewa, permainan orang-orang yang ingin berkuasa dan memperburuk citra orang-orang PKI yang kala itu sedang berkuasa dalam tubuh pemerintahan Soekarno.
Mereka mengadakan event-event yang sengaja menciptakan provokasi dengan cara menunggangi ormas/aktivis yang memang bermusuhan dengan PKI, harapanya rakyat membenci PKI. Sari Emingahayu menduga dalang dari kegiatan itu adalah para Jendral yang kemudian dibunuh oleh PKI dalam peristiwa G 30 SPKI.
Catatan Kaki
[1] Menurut Sari Emingahayu ada konspirasi yang berkembang di seputar penyelenggaraan Mantra dimana elit-elit PII telah dapat perintah dari Jenderal Nasution agar mengintensifkan kegiatan-kegiatan mantra di daerah-daerah basis PKI.” Kanigoro salah satunya. Dalam buku Sisi Senyap Politik Bising. 2007. Yogyakarta : Kanisius
[2] Ahmadun Yosi Herfanda. 1995. Teror Subuh di Kanigoro. Yogyakarta: Bentang Budaya
Belum ada Komentar untuk "Konflik Masyumi Vs PKI, dan Terprovokasinya Banser pada Tragedi Kaniogoro"
Posting Komentar