Ciwaru Kuningan, Ibukota Darurat Keresidenan Cirebon 1947
Minggu, 22 Juli 2018
Tulis Komentar
Pada 1947 Ciwaru dipilih sebagai Ibukota Pemerintahan Darurat Keresidenan Cirebon ketika wilayah Cirebon yang menjadi pusat pemerintahan sebelumnya di hancurkan oleh pasukan Belanda dalam Invasi Militernya di Jawa Barat.
Dewan Harian Cabang Angkatan '45 Kabupaten Kuningan (2006), menyebutkan mengenai pemindahan ibu kota tersebut ke Ciwaru sebagai berikut:
Rakyat Ciwaru yang masih kental dengan sifat gotong royong dan ramah tamahnya menerima dengan terbuka dan menyerahkan rumah-rumah mereka untuk dijadikan basis perjuangan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda yang sudah memasuki wilayah Kuningan.
Kepindahan pemerintahan Keresidenan Cirebon ke Ciwaru ini ternyata tidak diikuti oleh seluruh pejabat sipil tingkat bawah beserta stafnya. Untuk mengatasi kekurangan pegawai banyak dari pihak penduduk setempat, pengungsi, pejuang dan lainnya direkrut dan dijadikan pegawai pemerintahan Keresidenan Cirebon di Ciwaru.
Semenjak Ciwaru dijadikan sebagai pusat pemerintahan darurat Cirebon, maka banyak berkumpul para pejabat yang ada disana antara lain Residen Hamdani, Abdurrachman sebagai Sekertaris Keresidenan, Hartono Sugra selaku Kepala Bagian Umum, Amanan selaku Komisaris Polisi, Asikin Nitiatmaja selaku Bupati Kuningan, Abdul Saleh selaku Wedana Luragung dan Camat Ciwaru yang pada saat itu adalah Soemarno (Dewan Harian Cabang Angkatan '45 Kabupaten Kuningan, 2006: 103)
Setelah Ciwaru dijadikan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Cirebon, berdatanganlah para laskar-laskar pejuang yang bermarkas maupun yang hanya singgah sebentar di Ciwaru. Salah satunya adalah Pasukan Bambu Runcing dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sutan Akbar.
Para milisi non pemerintah itu pada nantinya menimbulkan b entrokan dengan pasukan tentara Nasioanal, bentrokan itu dipicu dari keslahpahaman. Inilah cobaaan pertama perpindahan Ibukota darurat Keresidenan Cireb on di Ciwaru.
Pasukan Bambu Runcing dalam perjalanannya ternyata berkhianat terhadap Divisi Siliwangi. Mereka terus menteror dan memprovokasi bahwa Pasukan Siliwangi adalah antek-antek Belanda dan Negara Pasundan, sedangkan Siliwangi dengan singkatan SLW mereka sebut dengan Stoot Leger Wilhelmina (Babu Ratu Belanda) dan Pasukan Siliwangi yang tidak bersedia bergabung dengan Pasukan Bambu Runcing dianggap sebagai penghianat.
Ketegangan yang terjadi antara Pasukan Bambu Runcing dan pihak tentara Indonesia khususnya Divisi Siliwangi semakin meruncing. Akhirnya peristiwa ketegangan diantara keduanya dilaporkan kepada Letnan Kolonel Abimanyu sebagai Komandan Brigade V / Sunan Gunung Jati Cirebon.
Letnan Kolonel Abimanyu menilai tindakan Pasukan Bambu Runcing sudah di luar batas wajar dan memerintahkan agar Pasukan Bambu Runcing untuk ditumpas habis dan terjadilah pertempuran antar Pasukan Bambu Runcing dan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Abimanyu. Pasukan bambu runcing kemudian dapat ditumpas. Tapi setelah itu lawannya Belanda.
Belanda mencium kabar, bahwa Ciwaru kini dijadikan Ibu Kota darurat Kerseidenan Cirebon, mereka kemudian mempersiapkan diri untuk memb umi hanguskan Ciwaru. Mampukah Belanda mengancurkan Ibukota Darurat itu..?, Jawabanya dalam artikel selanjutnya..
Dewan Harian Cabang Angkatan '45 Kabupaten Kuningan (2006), menyebutkan mengenai pemindahan ibu kota tersebut ke Ciwaru sebagai berikut:
“Akibat kondisi dan situasi yang tidak menentu, maka berdasarkan Keputusan Dewan Pertahanan Keresidenan Cirebon dan Brigade V Siliwangi, pada akhir Juli 1947 pusat pemerintahan Keresidenan Cirebon secara resmi pindah ke Ciwaru (Kabupaten Kuningan). Pada waktu itu, pemerintahan di Keresidenan Cirebon dipimpin oleh Residen Hamdani, Sekretaris Keresidenan oleh Abdurrachman serta Kepala Bagian Umum oleh Hartono Sugra. Komando Pertahanan Laut dan Pelabuhan Cirebon (AL-CA III) dipindahkan ke Desa Sadamecat, Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan”.Setelah semua komponen pemerintahan, baik dari pihak sipil dan militer, banyak pula dari laskar-laskar perjuang serta berbagai lapisan masyarakat mulai berbondong-bondong datang menuju Ciwaru yang merupakan ibukota baru dari Keresidenan Cirebon hal ini mengakibatkan Ciwaru yang tadinya hanya desa biasa yang sepi dan terpencil menjadi ramai oleh aktifitas pemerintahan sipil dan militer (Hermawan, 2000: 50).
Rakyat Ciwaru yang masih kental dengan sifat gotong royong dan ramah tamahnya menerima dengan terbuka dan menyerahkan rumah-rumah mereka untuk dijadikan basis perjuangan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda yang sudah memasuki wilayah Kuningan.
Kepindahan pemerintahan Keresidenan Cirebon ke Ciwaru ini ternyata tidak diikuti oleh seluruh pejabat sipil tingkat bawah beserta stafnya. Untuk mengatasi kekurangan pegawai banyak dari pihak penduduk setempat, pengungsi, pejuang dan lainnya direkrut dan dijadikan pegawai pemerintahan Keresidenan Cirebon di Ciwaru.
Semenjak Ciwaru dijadikan sebagai pusat pemerintahan darurat Cirebon, maka banyak berkumpul para pejabat yang ada disana antara lain Residen Hamdani, Abdurrachman sebagai Sekertaris Keresidenan, Hartono Sugra selaku Kepala Bagian Umum, Amanan selaku Komisaris Polisi, Asikin Nitiatmaja selaku Bupati Kuningan, Abdul Saleh selaku Wedana Luragung dan Camat Ciwaru yang pada saat itu adalah Soemarno (Dewan Harian Cabang Angkatan '45 Kabupaten Kuningan, 2006: 103)
Setelah Ciwaru dijadikan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Cirebon, berdatanganlah para laskar-laskar pejuang yang bermarkas maupun yang hanya singgah sebentar di Ciwaru. Salah satunya adalah Pasukan Bambu Runcing dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sutan Akbar.
Para milisi non pemerintah itu pada nantinya menimbulkan b entrokan dengan pasukan tentara Nasioanal, bentrokan itu dipicu dari keslahpahaman. Inilah cobaaan pertama perpindahan Ibukota darurat Keresidenan Cireb on di Ciwaru.
Pasukan Bambu Runcing dalam perjalanannya ternyata berkhianat terhadap Divisi Siliwangi. Mereka terus menteror dan memprovokasi bahwa Pasukan Siliwangi adalah antek-antek Belanda dan Negara Pasundan, sedangkan Siliwangi dengan singkatan SLW mereka sebut dengan Stoot Leger Wilhelmina (Babu Ratu Belanda) dan Pasukan Siliwangi yang tidak bersedia bergabung dengan Pasukan Bambu Runcing dianggap sebagai penghianat.
Ketegangan yang terjadi antara Pasukan Bambu Runcing dan pihak tentara Indonesia khususnya Divisi Siliwangi semakin meruncing. Akhirnya peristiwa ketegangan diantara keduanya dilaporkan kepada Letnan Kolonel Abimanyu sebagai Komandan Brigade V / Sunan Gunung Jati Cirebon.
Letnan Kolonel Abimanyu menilai tindakan Pasukan Bambu Runcing sudah di luar batas wajar dan memerintahkan agar Pasukan Bambu Runcing untuk ditumpas habis dan terjadilah pertempuran antar Pasukan Bambu Runcing dan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Abimanyu. Pasukan bambu runcing kemudian dapat ditumpas. Tapi setelah itu lawannya Belanda.
Belanda mencium kabar, bahwa Ciwaru kini dijadikan Ibu Kota darurat Kerseidenan Cirebon, mereka kemudian mempersiapkan diri untuk memb umi hanguskan Ciwaru. Mampukah Belanda mengancurkan Ibukota Darurat itu..?, Jawabanya dalam artikel selanjutnya..
Belum ada Komentar untuk "Ciwaru Kuningan, Ibukota Darurat Keresidenan Cirebon 1947"
Posting Komentar