Muhamad Daud Syah adalah Sultan Aceh yang bertahta dari Tahun 1874 hingga 1903, tidak seperti Sultan Aceh sebelumnya yang hidup bergelimang harta dan tinggal dalam Istana, Muhamad Daud Syah hidup berpindah-pindah dari satu Kota ke Kota lainnya dan dari satu Hutan ke Hutan lainnya demi menghindari kejaran Belanda.
Muhamad Daud Syah lahir pada tahun 1871 M, merupakan putra dari Tuanku Cut Zainal Abidin bin Sultan Alaidin Ibrahim Mansyur Syah (1857-1870 M).
Ketika umurnya masih tiga tahun, Belanda melakukan invasi ke Kesultanan Aceh, atas invasi itu maka pada Tahun 1874 Ibu Kota Kesultanan Aceh ditaklukan Belanda, sehingga Sultan Aceh yang kala itu dijabat oleh Sultan Mahmud Syah (1870-1874) melarikan diri dari Ibu Kota bersama rombongan kerabat Istana, termasuk Muhamad Dud Syah keponakan Sultan yang kala itu masih balita.
Sultan Muhamad Dud Syah, Dengan Latar Pejabat Aceh Menyerah Pada Belanda
Setelah melarikan diri dari Istana, rupanya pada 24 Januari Tahun 1874 Sultan Alauddin Mahmud Syah wafat dalam pelarian karena penyakit kolera. Peristiwa ini menjadi pukulan menyakitkan bagi Kerabat Kesultanan dan Para petinggi Kerajaan, sebab setelah Ibu Kota dan Keraton diduduki Belanda mereka kehilangan Sultannya. Ditambah-tambah lagi Sultan yang wafat tidak mempunyai keturunan.
Berdasarkan rapat keluarga dan para pejabat kerajaan yang berhasil melarikan diri, mereka menetapkan Keponakan Sultan yang kala itu masih balita (Umur 4 Tahun) didaulat menjadi Sultan Aceh selanjutnya, namun karena masih Balita Sultan Muhamad Daud Syah kedudukannya hanya sebagai simbol saja, sementara orang yang memimpin jalannya pemerintahan adalah "Tuanku Hasyim Banta Muda". Beliaulah orang yang didaulat menjadi Wali Nangroe (Wakil Negara/Raja) Kesultanan Aceh kala itu.
Pada hari Kamis 26 Desember 1878 M, yaitu ketika Muhamad Daud Syah berumur 8 tahun dan sudah dianggap memasuki usia Aqil Baligh beliau dinobatkan secara resmi menjadi Seorang Sultan di Mesjid Tuha Indrapuri, gelaran penobatan dilakukan dengan sangat memprihatinkan dan sederhana tanpa pernak-pernik adat yang mewah, karena memang waktu itu kondisi mereka sendiri dalam persembunyian dari kejaran Belanda.
Selama Sultan Muhamad Daud syah memerintah, Kesultanan Aceh yang kala sebetulnya telah lemah, selalu mengatur siasat melakukan serbuan kepada Belanda, mulai dari serbuan kecil-kecilan, penggunaan teknik grilya dan penyergapan pada wilayah-wilayah Aceh yang dikuasai Belanda, pada masa itu pula Belanda selalu memburu keberadaan Sultan, kerabatnya serta pejabat Kesultanan yang lain.
Setelah menjadi Sultan dalam pelarian lebih dari 20 tahun, akhirnya pada tanggal 26 November 1902 pasukan Marsose di bawah Christoffel melakukan sebuah penyerbuan dan berhasil menangkap keluarga Sultan, yaitu isteri (non permasuri) dan anak-anaknya.
Selanjutnya pasukan Marsose pimpinan Christoffel berhasil menangkap permaisuri Sultan yang bernama Teungku Putroe Gambang Gadeng yang pada saat itu masih berada di Glumpang Payong Pidie.
Sebulan kemudian bertepatan pada hari Natal K. Van Der Maaten kembali menangkap Poecut Ditjot Murong, beserta dengan Tuanku Raja Ibrahim putra Sultan Muhammad Daud Syah di Lam Meulo (Kota Bakti).
Setelah berhasil mengkap Permaisuri, Istri dan Putra Mahkota, Belanda Kemudian mengeluarkan sebuah surat ancaman yang berisi:
“Apabila Sultan tidak menyerahkan diri dalam tempo waktu satu bulan, maka kedua istri beserta dengan putranya tersebut akan dibuang oleh Belanda” (Munawiah, hlm 35)
Mendapati anak dan istri-istrinya ditangkap Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah mentalnya jatuh, semangatnya melalemah, akhirnya pada tanggal 20 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah turun ke Sigli untuk suatu perundingan sehubungan dengan penyenderaan istri-istri dan anaknya.
Menanggapi atas surat acaman yang diajukan Belanda kepadanya maka pada tanggal 14 Januari 1903 Sultan Muhamad Daud Syah mengirimkan surat balasan kepada Gubernur Sipil dan Militer Belanda Van Heutsz yang berisi:
“Saya datang ke Bandar Kutaraja hendak menghadap dan menyerah badan diri kebawah duli Sri Paduka tuan besar”. (Munawiah, hlm 35)
Meskipun Sultan Muhammad Daud Syah menyerah kepada pihak Belanda
pada tanggal 10 Januari 1903, rakyat Aceh tidak langsung menghentikan perlawanan, kaum Ulama di Aceh kala itu masih menyerukan jihad fi sbilillah melawan Kafir Belanda.
Selama Sultan berada dalam tahanan (diintenir) rumah Belanda. Sultan Muhamad Dud Syah diberikan fasilitas pribadi yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada Sultan,seperti gajih dan tunjangan setiap bulannya, sementara anaknya Tuanku Raja Ibrahim juga di sekolahkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda dan mendapatkan biaya belajar.
Sejak penyerahan diri tersebut Sultan hanya diperbolehkan bergerak bebas di area Aceh Besar, tetapi untuk keluar dari wilayah tersebut harus dengan seizin Pemerintahan Belanda.
Di awal tahun pertama setelah penyerahannya, sultan sesekali masih diizinkan pergi ke Pidie, Lhokseumawe bahkan di tempat itu beliau tinggal sampai tiga bulan lamanya.
Selanjutnya takut pada hal-hal yang tidak diinginkan, maka pada tanggal 24 Desember tahun 1907, Sultan diasingkan ke Batavia (Jakarta) Setelah itu Sultan dipindahkan lebih jauh lagi yaitu ke Ambon. Namun pada tahun 1917, pihak Belanda memutuskan untuk memindahkan Sultan dari Ambon, dengan menawarkan beberapa tempat pilihan yang diberikan kepada Sultan, Sultan pun memilih tempat tinggal di Pulau Jawa (Batavia).
Tahun 1918 Sultan menikah dengan gadis Betawi yang bernama Neng Evi, dari pernikahan tersebut dikaruniai empat keturunan, yaitu (1) Putroe Laila Kesuma (2) Muhammad (3) Abdul Aziz, dan(4) Hasyim. Sultan Muhamad Daud Syah wafat dan dimakamkan di Batavia pada 1939.
Penulis : Bung Fei
Editor : Team Sejarah Cirebon
Daftar Bacaan:
{1}Munawiah (2002) Birokrasi kolonial di Aceh 1903-1942. Yogyakarta: Tesis UGM
{2}Zakaria Ahmad, Dkk (2008) Sejarah Perlawanan Aceh Terhadap kolonialisme dan Imperalisme, Cet I. Banda Aceh: Yayasan PeNa
{3}Smail Suny (1980) Bunga Rampai Tentang Aceh. Jakarta: Bhratara Karya Aksara Hrata Karya Aksara
{4}Ali. Hasjmy (1952) Peranan Islam Dalam Perang Aceh Dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang
{5}Muhammad Umar (2008) Peradaban Aceh (Tamadun), Cet II. Banda Aceh: Boebon Jaya
{6}Hamid Algadri, (1984). C. Snouck Hugronye, Potitik Belanda Terhadap Islam dan Arab, Jakarta: Sinar Harapan
{7} Thamrin, dkk (2016). Dua tokoh asing di sekitar istana : Panglima Tibang & Habib Abdurrahman El-Zahir dalam panggung sejarah Aceh.Banda Aceh : Yayasan Pena Banda Aceh
Bagikan Artikel ini
Belum ada Komentar untuk "Sultan Muhamad Daud Syah Menyerah Pada Belanda"
Belum ada Komentar untuk "Sultan Muhamad Daud Syah Menyerah Pada Belanda"
Posting Komentar