PAWANG HUJAN DALAM CERITA ARAB DAN NUSANTARA

Pawang dalam bahasa Jawa bermaksud pengendali, jadi Pawang Hujan itu berarti pengendali hujan, sama halnya seperti Pawang Ular, Pawang Buaya dan lain sebagainya yang punya kemampuan mengendalikan ular dan buaya.

Catatan sejarah mengenai orang-orang yang mengendalikan kondisi alam, salah satunya mengendalikan hujan banyak. India, Cina, Jepang Arab dan khusunya bangsa-bangsa Nusantara punya cerita tentang itu. Hanya saja, dalam bahasan kali ini, Bung Fei lebih tertarik untuk membahas fenomena itu dari cerita yang berasal dari Arab dan Indonesia saja.

Shalat Istisqa dalam Islam dilatar belakang karena fenomena semacam itu. Nabi Muhamad didesak pengikutnya agar mendatangkan hujan, sebab waktu itu Arab diterjang kemarau yang panjang. Dan cara yang dilakukan Nabi mendatangkan Hujan itu kelak dikenal dengan Shalat Istisqa.

Selain itu, dimasa Umar bin Khatab, dikisahkan bahwa di Mesir terjadi hujan yang sangat lebat, menyebabkan kebanjiran yang dahsyat, sebabnya karena Sungai Nil tak mampu menampung air hujan yang banyak, sehingga airnya tumpah kekota menyebabkan bencana kebanjiran. Selain itu apabila musim kemarau aliran air Sungai Nil tidak mencukupi kebutuhan pertanian sehingga menyebabkan gagal panen. 

Orang Mesir sebelum kedatangan Islam punya adat kebiasaan apabila menghadapi hal yang semacam itu, biasa menumbalkan orang untuk dipersembahkan kepada dewa-dewi. Tradisi macam itu adalah warisan dari peradaban Mesir kuno.

Gubernur Mesir kala itu tidak dapat menghalang-halangi perbuatan jahiliyah orang-orang Mesir karena ia sendiri tidak tau betul bagimana cara mengendalikan curah hujan.

Gubernur Mesir yang pusing karena daerahnya diterpa bencana kebanjiran apabila musim penghujan, dan kekurangan persediaan air pertanian apabila musim kemarau, meminta bantuan Khalifah Umar agar dapat menangulangi bencana, namun bukannya mengirimkan relawan kemanusiaan, Khalifah justru mengirimkan sepucuk surat ancaman kepada sungai Nil, surat itu berisi agar Sungai Nil berhenti meluap dan mengirimkan banjir ke kota ataupun sebaliknya. Konon surat dari Khalifah yang ditenggelamkan ke Sungai Nil dengan ritual-ritual khusus itu sanggup membuat Sungai Nil tidak meluap lagi bila musim penghujan dan tidak menurun debit airnya bila musim kemarau.

Kondisi Arab berbeda dengan Mesir, Arab tempat yang ditinggali Nabi (Hejaz) itu curah hujan sangat sedikit sekali, setahun hanya beberapa kali saja. Maka amat wajar jika orang Arab menginginkan hujan agar jangan lama-lama kekeringan. Solusi untuk mendatangkan hujan yang diajukan Nabipun sederhana yaitu Shalat (doa) minta hujan yang digelar berjamaah.

Jika Arab begitu maka tidak demikian dengan Mesir, khususnya daerah disepanjang sungai Nil, daerahnya subur dan curah Hujannya lebih tinggi dibandingkan Arab. Maka keinginan rakyatnyapun berbeda dengan orang Arab, yaitu agar hujan tidak usah turun banyak-banyak sebab mengakibatkan banjir.

Sepertinya, ketika mendapatkan keluh kesah Gubernur Mesir soal solusi mengendalikan curah hujan yang terlampau lebat di Mesir, Khalifah agak sedikit bingung, sebab dizaman Nabi hanya dikenal cara menurunkan hujan, bukan cara menghentikan hujan. Oleh karena itu, akhirnya Khalifah Umar berijtihad, membuat cara baru mengendalikan air hujan yang meluap di sungai Nil itu, caranya seperti itu, membuat surat ancaman pada sungai Nil.

Bagi orang yang terlampau asyik dan bertumpu pada kekuatan logika (Ilmuan Moderen) jelas upaya mendatangkan hujan melalui Shalat ini adalah dianggap usaha berbau klenik dan sia-sia. 

Hal tersebut, terungkap dari berita baru-baru ini, yang mana diberitakan Ilmuan Turki mengeritik hebat Erdogan yang menganjurkan rakyatnya untuk Shalat minta hujan dalam menghadapi kekeringan di sebagian wilayah Turki. Cara Nabi saja dianggap klenik apa lagi cara Sahabat Umar dalam mengendalikan curah hujan. Bukan begitu?

Sekarang kita ke Nusantara, membahas mengenai Pawang Hujan di Indonesia. Bahwa kondisi alam Indonesia tidak terlampau berbeda dengan sebagian wilayah Mesir, curah hujannya sangat lebat, khusunya di musim penghujan, maka ya keinginan sebagian rakyatnya adalah mengendalikan hujan agar jangan turun membabi buta di masa penghujan, sebab dampaknya bisa mengacaukan (Kebanjiran) ataupun hal-hal lain seperti menggangu hajatan pernikahan atau mengganggu hajatan balapan Moto GP sebagaimana yang terjadi baru-baru ini.

Pawang Hujan, Sirkuit Mandalika
Sekali lagi bahwa cara mengendalikan curah hujan yang lebat itu tidak pernah  dikenal dizaman Nabi dan hanya dikenal dalam Ijtihad Khalifah (Ketetapan Khalifah/Sahabat Umar), ya maka orang Indonesiapun yang kebetulan beragama dan mayoritas pemeluk Islam dalam upaya mengendalikan hujan sebagiannya membuat Ijtihad sendiri-sendiri.

Ada yang mengacungkan golok ke langit (Mengancam sebagaimana Khalifah mengancam sungai Nil), ada yang komat-kamit berdoa sambil mondar-mandir membawa kendi memohon pada Allah agar hujan dialihkan ke tempat lain dan sebagainya.

Pada prinsipnya, munculnya Pawang Hujan di Indonesia yang rakyatnya mayoritas Islam itu,  lahir seiring tidak adanya tuntunan cara mengendalikan air hujan dalam Islam, sehingga yang kemudian terjadi adalah munculnya beberapa metode dan ijtihad baru yang diciptakan oleh orang-orang Indonesia tempo dulu yang dikemudian hari dipraktekan oleh generasi selanjutnya dalam menanggulangi dan mengendalikan curah hujan yang terlampau lebat.

Penjelasan dalam bentuk vidio dapat anda simak pada vidio berikut ini:

1 Komentar untuk "PAWANG HUJAN DALAM CERITA ARAB DAN NUSANTARA"

  1. Hal Umar bin Khattab membuat surat ancaman kepada sungai Nil, termaktub dalam berita apa ?

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel