Sejarah Asal-Usul Masuknya Islam di Papua
Selasa, 05 Oktober 2021
Tulis Komentar
Sejarah masuknya Islam ke Papua memang menarik, karena meskipun Islam lebih lama datang ke Papua pada nyatanya hingga kini di Provinsi paling timur Indonesia itu Islam hanya menjadi agama terbesar ketiga setelah Protestan dan Katolik.
Agama Islam sebetulnya masuk ke tanah Papua lebih dahulu dibandingkan dengan Agama Kristen, meskipun demikian ada beberapa versi seputar masuknya gama Islam ke Papua, setidak-tidaknya ada enam versi masuknya Islam ke Papua, baik menurut dongeng turun menurun maupun beberapa catatan kuno yang mengisahkan tentang masuknya Islam di Papua.
Ilustrasi Orang Papua |
Versi Papua
Masuknya Agama Islam dalam versi ini lahir sebagai akibat legenda yang muncul dari sebagian rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah Fakfak, Kaimana, Manokwari dan Raja Ampat (Sorong).
Pada umumnya, teori ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan dibawa dan disebarkan oleh kerajaan Tidore atau pedagang Muslim dan da’i dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun, Islam berasal dari Papua sendiri sejak pulau Papua diciptakan oleh Allah SWT.
Mereka juga mengatakan bahwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri. Tidak hanya Islam, Kristen juga telah terdapat di Papua sebelum agama Kristen disebarkan ke Papua. Mereka meyakini kisah bahwa dahulu tempat turunnya Nabi Adam dan Ibu Hawa berada di suatu tempat di daratan Papua dengan berbusana seperti mereka masih berdiam di surga.
Mereka juga beranggapan bahwa bekas-bekas jejak sejarah nabi Nuh yang terdampar di pedalaman dekat Nambi-Manokwari dan mereka percaya bahwa Gunung Wondivoi adalah tempat pemberhentian bahtera Nuh. Keyakinan lain nabi Ibrahim mempersembahkan anaknya Ismail/Ishak di pedalaman Dusner.
Kepercayan lain mengatakan bahwa Taman Eden yang asli terletak di Obo dan Bukit Zaitun berada di Puncak Rinsawan. Pandangan seperti ini dipengaruhi oleh pemikiran mistis dan agama suku yang telah merakyat dan melegenda di masyarakat asli, khususnya di wilayah Fakfak, Kaimana, Teluk Bintuni, maupun di Wondama.
Pandangan ini tercermin dalam prosesi ibadah, dimana orang naik haji bukan di Mekkah, namun mereka berangkat ke Gunung Nabi yang terletak di belakang Teluk Arguni (Kaimana) dan Teluk Wondama (Manokwari).
Versi Aceh
Menurut sejarah lisan dari daerah Kokas, Fakfak bahwa Syekh Abdurrauf yang merupakan putra ke 27 dari waliyullah syekh Abdul Qadir Jaelani dari kerajaan Samudera Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan perjalanan dakwah ke Nuu War (Papua) sekitar abad XIII tepatnya 17 Juli 1224, datang Syekh Iskandar Syah di Mesia atau Mes, kini distrik Kokas kebupaten Fakfak. Orang pertama yang diajarkan Iskandar Syah bernama Kriskris.
Saat itu Syekh Iskandar syah mengatakan; “jika kamu mau maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad)”.
Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian, Kriskris diangkat menjadi imam pertama dan beliau sudah menjadi Raja pertama di Patipi, Fakfak.
Syekh Iskandar Syah ketika itu datang membawa beberapa kitab yakni mushaf al-Qur’an tulisan tangan, kitab hadits, kitab ilmu tauhid dan kitab kumpulan doa. Sedangkan tiga kitab berikutnya dimasukkan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Ada pula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara (Fakfak: daun pokpok).
Beberapa tahun kemudian bencana tsunami menenggelamkan Mes, sehingga menyebabkan sebahagian penduduk dan seluruh kerajaan Mes habis musnah, termasuk masjid dan isinya tenggelam ke dasar laut, kecuali mushaf al- Qur’an dan sejumlah kitab fiqih-tauhid yang diselamatkan Syekh Iskandar Syah dan disimpan di Aceh oleh keturunannya yang bernama Burhanuddin.
Manuskrip tersebut baru dikembalikan tanggal 17 Juli 2004 di Jakarta kepada keturunan anak Raja Kriskris yang bernama Fadzlan Garamatan, sebelum musibah tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004.
Menurut cerita rakyat, setelah bencana mushaf al-Qur’an diselamatkan Syekh Iskandar Syah ke Aceh, konon kitab ini sempat singgah di Maluku, tepatnya di kampung Sinisore. Menurut kepercayaan masyarakat kampung Sinisore, Islam masuk bukan dari Arab tapi dari Papua. Bahkan konon kitab ini juga sampai ke Kalimantan karena dianggap membawa berkah.
Dari Aceh, Syekh Iskandar Syah kembali ke Mes tanpa membawa mushaf, kemudian dia wafat di Mes, makamnya berada di Pulau Kokorop, Batu Kudus. Konon ia sendiri yang menggali kuburnya, setelah itu wafat di tempat itu pula.
Bahkan sebelum wafat beredar cerita di masyarakat setempat , ia mandi dan mengafani dirinya sendiri di dasar laut yang dalamnya mencapai 3 meter. Begitulah cara wafat pembawa al-Qur’an pertama di Papua, tepatnya di Fakfak (distrik Kokas yang dulu bernama Mesia atau Mes)
Sumber lisan di atas, perlu dikritisi kembali mengenai angka tahun kedatangan Iskandar Syah dari Aceh ke Papua. Apakah 1224 Masehi (abad XVI) atau 1224 Hiriyah? Sementara bukti peninggalan makam Raja Malik as-Shalih di Samudera Pasai (Aceh) berangka tahun 1297 M. Tentunya pada era tersebut dakwah Islam masih terkonsentrasi kepada masyarakat di Samudera Pasai, bagaimana mungkin mereka mau berdakwah ke Papua, sedangkan daerah-daerah yang dekat saja di Sumatera belum tersentuh dakwah Islam.
Versi Arab
Dalam catatan sejarah kerajaan Nusa Iha (sekarang Sirisori) di Ambon bahwa sekitar tahun 1212 M sampai dengan 1215 M terdapat 3 (tiga) orang mujahidin yang datang dari Irak, masing-masing adalah
- Syekh Abdul Aziz Assegaf
- Maulana Malik Ibrahim
- Syekh Abdul Rahman Assegaf Maulana Saniki Yarimullah
Ketiganya memasuki Asia Tenggara. Pada tahun 1215 mereka tiba di Nusa Iha dan mendirikan sebuah kerajaan Islam yang bernama Ama Iha I, berkedudukan di Louhatt Amalutu sekarang bernama Sirisori Islam di Ambon1.
Pada tahun 1230 M. Syekh Abdul Rahman Assegaf Maulana Saniki Yarimullah dengan Istrinya Nyai Mara Utah telah memasuki Jazirah Onin, Rumbati- Fakfak. Dan mendirikan kerajaan Islam yang bernama Woni Epapua, dari perkawinannya telah dianugerahi 10 orang anak.
Maulana Saniki Yarimullah diberi gelar dengan nama Koning Papua (putra dari kayangan). Akibat perselisihan dalam keluarga, maka pada tahun 1363 lima orang dari mereka memutuskan untuk kembali ke Nusa Iha, sedangkan 5 lainnya menetap di Papua yang kemudian sebagai turunan dari Raja Ampat (kerajaan Misool), Raja Patiran, Poy Waru yang bermarga Patagras, serta Poy Sinna (Raja Kokas yang bermarga Patimura). Namun keturunan dari mereka belum dapat diketahui secara jelas.
Versi Jawa
Pada tahun 1518 M, Sultan Adipati Muhammad Yunus dengan gelar Pangeran Sebrang Lor anak dari Raden Patah dari kerajaan Islam Demak mengadakan kerjasama dengan kesultanan Ternate dan Tidore untuk mengirim dai dan mubaligh ke Papua dalam rangka menyiarkan Islam. Para dai dan mubaligh itu dikirim ke wilayah pesisir Barat dan Utara Papua.
Informasi lain dari pengurus Yayasan Sunan Drajad dan Sunan Giri bahwa Perdana Jamilu dari Hitu dan Sultan Zainal Abidin (1480-1500 M) dari Ternate, belajar langsung dari Sunan Giri yang dikenal dengan gelar Prabu Satmata.
Setelah mempelajari dan memperdalam Islam selama kurang lebih satu tahun, maka Sultan kembali ke Ternate dengan membawa seorang mubaligh bernama: Tuhubahahul dari Giri untuk mengajarkan dan menyiarkan Islam di Maluku, sedangkan Perdana Jamilu dari Hitu dipercayakan menyiarkan Islam ke Papua. Perjalanan syiar Islam Perdana Jamilu dimulai dari Seram menuju Fakfak.pada tahun 1488 M. Sejak syiar Islam tersebut, maka penduduk barat Papua mendapat sentuhan dan mengenal nilai-nilai Islam melalui para mubaligh utusan Sunan Giri.
Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan pada tanggal 15 Juni 1946, menceritakan bahwa “orang Papua pertama yang masuk Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan Siti Hawa Farouk yakni seorang mubalighat asal Cirebon”. Kalawen berasal dari Waigeo yang setelah masuk Islam berganti nama menjad Bayajid diperkirakan peristiwa itu terjadi pada tahun 1600. Jika dilihat dari silsilah keluarga tersebut, maka Kalawen merupakan nenek moyang dari Keluarga Arfan yang pertama masuk Islam.
Versi Banda
Menurut Halwany Microb bahwa Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui Banda26 yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon.
Mircrob juga mengatakan bahwa cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakukan oleh dua orang mubaligh bernama Salahuddin dan Jainun dari Banda yang sezaman dengan Sultan Tidore sekitar abad XVI, terjadi di Pulau Misool yang belum terjangkau oleh Sultan Ternate dan Tidore.
Proses pengislaman yang dilakukan antara lain dengan jalankhitanan (sunatan), tetapi dibawa ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh itu akan dibunuh. Akhirnya keduanya berhasil dalam khitanan tersebut, maka penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Versi Tidore dan Ternate
Sebuah catatan sejarah Kesultanan Tidore “Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Mallige” menulis pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) bersama Sangaji Patani Sahmardan dan Kapitan Waigeo bernama Kapitan Gurabesi memimpin ekspedisi kedaratan Tanah Besar (Papua). Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora berangkat ke Tanah Besar melewati pulau-pulau seperti Patani, Gebe dan Waigeo.
Ekspedisi ini berhasil menaklukkan beberapa wilayah di Papua bagian barat dan menjadikan kesultanan Tidore yang terdiri dari : (1) Wilayah Raja Ampat atau Korano Ngaruha meliputi wilayah: Kolano Waigeo, Kolano Salawati, Kolano Umsowol atau Lilinta Kolano Waigama; (2) Wilayah Papua Gamsio (Papoua Sembilan Negeri) meliputi :Sangadji Umka, Gimalaha Usba, Sangaji Barei, Sangaji Boser, Gimalaha Kafdarum, Sangaji Wakeri, Ginalaha Warijo, dan Sangaji Mar Gimala Marasay; (3) Wilayah Mafor Soa Raha (atau Mafor Empat Soa) meliputi : Sangaji Rumberpon, Sangaji Rumansar, Sangaji Angaradifa dan Sangaji Waropen.
Dalam dokumen sejarah tersebut disampaikan bahwa ekspedisi baginda Sultan berangkat dari Rum ibukota kesultanan Tidore waktu itu, menuju Patani untuk selanjutnya ke Papua. Di Patani telah siap untuk bergabung Sangaji Patani yang bernama Sahmardan dengan kekuatan 4 perahu kora-kora dan 100 orang anak buah.
Setelah bergabung ekspedisi baginda Sultan melanjutkan perjalanan menuju Papua dengan menyinggahi Waigeo untuk menemui puteri Boki Tayyibah yang dijodohkan dengan Kapita Gurabesi berlayar menuju tanah Papua.
Di setiap tempat yang disinggahi, Sultan berkenan mengajarkan agama Islam dan mengangkat pemuda dari penduduk setempat menjadi pimpinan atas kaumnya dan diberi gelar:sangaji, kapita Lau, gimalaha dan lain-lain. Sekaligus memberi nama pada setiap tempat- tempat yang belum memiliki nama.
Sultan Ibnu Mansur yang bergelar Sultan Papua I, pada 1443 M melakukan ekspedisi kora-kora dari negeri Gam Raange (Patani, Maba dan Weda) di pulau Halmahera menuju pulau Waigeo, Batanta, Salawati, Misool (disebutKolano Fat) atau kepulauan Raja Ampat bersama armada perang yang dipimpin Kapita Syahmardan.
Di wilayah pulau Misool, Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patra War putera Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi).
Kapita Gurabesi kemudian dikawinkan dengan puteri Sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan di kepulauan Raja Ampat tersebut adalah Kerajaan Salawati, Kerajaan Misool/Kerajaan Sailolof, Kerajaan Batanta dan Kerajaan Waigeo.
Menurut Leeden bahwa agama Islam masuk di Kepulauan Raja Ampat ketika daerah tersebut mendapat pengaruh dari kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut masuk di Maluku pada abad XIII.
Walaupun agama Islam lebih lama masuk di daerah tersebut diatas namun tidak disebarkan secara luas kepada penduduk, melainkan hanya dipeluk oleh golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat, terutama di kalangan keluarga raja-raja dan pembantu-pembantunya
Berdasarkan sejarah lisan dari Tidore, sebagaimana yang dikutip Koentjaraningrat bahwa sejak abad XV pulau Biak telah menjadi wilayah Kesultanan Tidore, salah seorang tokoh setempat bernama Gurabesi diangkat sebagai Pejabat di Kesultanan Tidore, bahkan dijadikan menantu Sultan.
Gurabesi inilah yang kemudian melahirkan Raja-raja di kepulauan Raja Ampat. Demikian pula Sultan Tidore banyak mengangkat tokoh-tokoh Biak menjadi pejabat daerah di Biak dan memberikan gelar jabatan seperti Kapitan, Sangaji, Korano, Dimara, Mayor dan sebagainya.
Sumber lain juga mengatakan Gurabesi adalah pahlawan asal Raja Ampat (Waigeo) yang membantu Sultan Tidore berperang melawan Sultan Ternate. Atas jasanya, Sultan Tidore memberikan adik perempuannya yang bernama Boki Tayyibah untuk dikawini dengan syarat tiap tahun harus kembali ke Tidore.
Mulai saat itulah terjadi hubungan antara kerajaan-kerajaan di Raja Ampat dengan Kesultanan Tidore. Dalam hubungan ini, raja-raja di Raja Ampat membawa hadiah-hadiah kepada Sultan Tidore, sebaliknya Sultan Tidore memberikan kepada raja-raja itu gelar-gelar. Seperti gelar Kapitan Laut yang diberikan kepada raja, akhirnya gelar ini disamakan dengan gelar Fun atau raja oleh masyarakat setempat.
Informasi lain mengenai Gurabesi bahwa Sultan Jamaluddin dari Kesultanan Tidore pernah meminta bantuan Raja Papua bernama Kurabesi (Biak: kita mendukung mereka) untuk berperang melawan VOC pada tahun 1649 M. Dengan kekeuatan armada 24 perahu perang, Kurabesi berhasil memukul mundur VOC.
Atas jasa baik itu, Sultan Jamaluddin mengikat persahabatan dengan Kurabesi dan pasukannya (kebanyakan dari Pom, Ansus dan Biak), dengan perkawainan dan menyediakan tanah untuk mereka menetap di Maluku Utara.
Hasil perkawinan itu kemudian menjadi penguasa-penguasa baru di sejujmlah tempat di Maluku Utara dan Kepulauan Raja Ampat. Karena hubungan perkawinan itu berdampak pula terhadap pembelaan Raja-raja Papua terhadap sultan-sultan Maluku Utara di Tidore, Ternate dan Tanah Papua Barat.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal-Usul Masuknya Islam di Papua"
Posting Komentar