Sumpah Leluhur Etnis China Dihadapan Sunan Gunung Jati
Kamis, 14 Mei 2020
Tulis Komentar
Kedatangan etnis Cina ke Cirebon seperti bunga melati mekar, selain wangi juga menyehatkan. Hal tersebut memang tidak berlebihan karena dalam catatan sejarah Cirebon disebutkan bahwa mula-mula kedatangan etnis Cina membawa kebaikan dan warna bagi Cirebon.
Orang-orang Cina di masa Ki Gedeng Tapa membangun mercusuar untuk pelabuhan muara Jati, agar Cirebon pelabuhannya ramai dikunjungi berbagai macam bangsa.
Orang-orang Cina di masa Ki Gedeng Tapa membangun mercusuar untuk pelabuhan muara Jati, agar Cirebon pelabuhannya ramai dikunjungi berbagai macam bangsa.
Pada masa Sunan Gunung Jati memerintah, etnis Cina bahkan diberi kedudukan terhormat, sebab Sultan Cirebon pertama itu mengangkat putri Cina sebagai salah satu istrinya.
Pada masa Pangeran Arya Carbon menjabat sebagai Panembahan Kacirebonan, beliau melindungi pelarian orang-orang Cina yang secara brutal dibantai oleh para perusuh di wilayah Kesultanan Mataram. Perlindungan orang-orang Cirebon pada etnis Cina oleh Pangeran Arya Carbon diantaranya karena mereka dianggap orang-orang yang teguh memegang janji.
Masa Sunan Gunung Jati, leluhur orang-orang Cina yang kini tinggal di bebagai wilayah Cirebon tersebut pernah bersumpah, mereka berjanji “akan hidup membaur dengan masyarakat, berjanji menghormati pribumi sebagaimana layaknya seorang pendatang” janji itu terus dipegang dari generasi ke genarasi hingga beratus-ratus tahun lamanya selepas wafatnya Sunan Gunung Jati. Hasilnya mereka hidup aman, rukun dan dihormati oleh rakyat Cirebon. Akan tetapi pada abad 19 hingga 20 awal, generasi etnis Cina di Cirebon sudah melupakan sumpah dan janji leluhurnya yang pernah diucapkan dihadapan Sunan Gunung Jati, hasilnya kenestapaan menimpa mereka, perampokan, pembunuhan, pengusiran bahkan penghinaan rakyat Cirebon pada etnis Cina begitu membisingkan telinga. Tidak nyaman didengar tapi begitulah kenyatannya.
Sunan Gunung Jati membangun Cirebon mengikuti petunjuk pendahulunya Pangeran Cakrabuana, yaitu agar rakyat Cirebon yang berasal dari Bangsa Sunda, Jawa, Arab, Cina dan lain sebagainya hidup rukun, saling membaur satu sama lain sehingga mampu menjadikan Cirebon sebagai negeri yang aman, makmur dan penuh warna. Sebab itu pula-lah dahulu Pangeran Cakrabuana menamai negeri yang didirikannya dengan nama Caruban Nagari. Yaitu Negeri Plural yang dihuni oleh berbagai etnis dan bangsa.
Penghianatan etnis Cina Cirebon pada sumpah dan janji leluhurnya tentu tidak datang tiba-tiba. Ada faktor yang mempengaruhinya. Faktor utama dari perubahan tingkah laku orang-orang Cina Cirebon dimulai dari takluknya kesultanan Cirebon secara total dibawah penjajah Belanda pada awal abad 18.
Sebagai salah satu wilayah jajahan Belanda, Cirebon juga diharuskan menerapkan aturan yang sama, orang-orang Cina berserta orang asing timur lainnya dikumpulkan pada satu tempat tertentu, hidupnya tidak boleh bercampur dengan penduduk pribumi.
Selain itu, secara kedudukan, yaitu berdasarkan starta sosialnya, orang Cina diberi drajat oleh penjajah Belanda setingkat lebih tinggi dari Pribumi jelata.
Masa Sunan Gunung Jati, leluhur orang-orang Cina yang kini tinggal di bebagai wilayah Cirebon tersebut pernah bersumpah, mereka berjanji “akan hidup membaur dengan masyarakat, berjanji menghormati pribumi sebagaimana layaknya seorang pendatang” janji itu terus dipegang dari generasi ke genarasi hingga beratus-ratus tahun lamanya selepas wafatnya Sunan Gunung Jati. Hasilnya mereka hidup aman, rukun dan dihormati oleh rakyat Cirebon. Akan tetapi pada abad 19 hingga 20 awal, generasi etnis Cina di Cirebon sudah melupakan sumpah dan janji leluhurnya yang pernah diucapkan dihadapan Sunan Gunung Jati, hasilnya kenestapaan menimpa mereka, perampokan, pembunuhan, pengusiran bahkan penghinaan rakyat Cirebon pada etnis Cina begitu membisingkan telinga. Tidak nyaman didengar tapi begitulah kenyatannya.
Sunan Gunung Jati membangun Cirebon mengikuti petunjuk pendahulunya Pangeran Cakrabuana, yaitu agar rakyat Cirebon yang berasal dari Bangsa Sunda, Jawa, Arab, Cina dan lain sebagainya hidup rukun, saling membaur satu sama lain sehingga mampu menjadikan Cirebon sebagai negeri yang aman, makmur dan penuh warna. Sebab itu pula-lah dahulu Pangeran Cakrabuana menamai negeri yang didirikannya dengan nama Caruban Nagari. Yaitu Negeri Plural yang dihuni oleh berbagai etnis dan bangsa.
Penghianatan etnis Cina Cirebon pada sumpah dan janji leluhurnya tentu tidak datang tiba-tiba. Ada faktor yang mempengaruhinya. Faktor utama dari perubahan tingkah laku orang-orang Cina Cirebon dimulai dari takluknya kesultanan Cirebon secara total dibawah penjajah Belanda pada awal abad 18.
Sebagai salah satu wilayah jajahan Belanda, Cirebon juga diharuskan menerapkan aturan yang sama, orang-orang Cina berserta orang asing timur lainnya dikumpulkan pada satu tempat tertentu, hidupnya tidak boleh bercampur dengan penduduk pribumi.
Selain itu, secara kedudukan, yaitu berdasarkan starta sosialnya, orang Cina diberi drajat oleh penjajah Belanda setingkat lebih tinggi dari Pribumi jelata.
Drajat manusia paling mulia dihuni oleh orang-orang Eropa termasuk Belanda, Drajat manusia pertengahan dihuni oleh orang-orang Cina dan orang asing dari timur lainnya, sementara Dajat manusia paling rendah dihuni oleh pribumi jelata.
Pada abad 19 awal, sikap orang-orang dari etnis Cina Cirebon benar-benar sudah berubah, mereka sudah termakan aturan Belanda, mereka sudah merasa lebih terhormat ketimbang pribumi, di sisi lain mental korup pejabat Belanda yang mudah disogok membuat mereka tidak sama sekali takut kepada penguasa lokal termasuk para Sultan Cirebon, karena mereka paham para Sultan dan Bupati Cirebon hanya bawahan Residen Belanda.
Ketika orang-orang Cina Cirebon dianugerahi kekayaan melimpah, serta mampu membeli tanah Partikelir untuk diolahnya, orang-orang Cina yang sudah menjelma menjadi tuan tanah mulai menjerat pribumi dengan aturan dan pajak yang mencekik. Sementara disisi lain, Rakyat, Bupati bahkan Sultan tidak dapat berbuat banyak karena dibelakang para tuan tanah adalah Belanda.
Diam-diam, para pangeran yang masih kerbat dengan Bupati, Sultan serta para pejabat lokal lainnya yang merasa muak dengan tingkah laku para tuan Tanah Cina menyulut api pemberontakan rakyat, hingga pemberontakan besar di Cirebon meletus pada awal abad 19 (1811-1817).
Kaum buruh tani tanah Partikelir di wilayah Cirebon berontak, mereka membunuhi para tuan tanah Cina, malangnya orang-orang dari etnis Cina lainnya yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran perampokan, penganiyayaan, pengusiran bahkan pembunuhan. Pada masa ini orang-orang dari etnis Cina benar-benar akan dihabisi pribumi andai saja perlindungan dari penjajah Belanda tidak begitu kuat.
Selepas padamnya pemberontakan rakyat Cirebon di awal abad 19. Rupanya tingkah laku orang-orang dari etnis Cina di Cirebon pada abad 20 awal kambuh lagi. Pada Tahun 1913 hingga 1917 di wilayah Cirebon meletus Tragedi Kucir, kali ini yang melakukan pengusiran, bahkan pembunuhan terhadap orang-orang Cina adalah kaum santri dan ulama, dalam peristiwa ini jangkauan pembumi hangusan etnis Cina oleh pribumi lebih luas dan sistematis, dinyatakan sistematis karena didalangi oleh para Bupati dan kaum Agamawan yang merasa hak-hak hidup dan berusaha kaum pribumi dirampas oleh orang-orang Cina, Tragedi Kucir 1913 menjalar dengan cepat mulai dari Cirebon, Majalengka hingga Indramayu.
Baba Cong Kaji salah satu etnis Cina yang menjadi korban dalam Tragedi Kucir di wilayah Cirebon sebagaimana yang terdapat dalam Naskah Sedjarah Kuntjit (hlm 83) berkeluh kesah sambil menasehati teman-temannya, katanya “ Leluhur kita sudah mewasiatkan supaya hidup bersama dengan orang Jawa (Pribumi), tetapi kita tidak mematuhi. Kita merasa lebih pintar dan sombong. Bahkan kitapun lupa dengan leluhur. Ingatlah sumpah leluhur kita dihadapan Kanjeng Sunan Gunung Jati yang apabila melanggarnya maka akan sengsara”.
Baca Juga: Tragedi Kucir 1913
Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
[2]Wahju, Aman.N. 2005. Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Jati. Naskah Mertasinga. Bandung: Pustaka
[3]Arya Carbon. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
[4]Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu
Pada abad 19 awal, sikap orang-orang dari etnis Cina Cirebon benar-benar sudah berubah, mereka sudah termakan aturan Belanda, mereka sudah merasa lebih terhormat ketimbang pribumi, di sisi lain mental korup pejabat Belanda yang mudah disogok membuat mereka tidak sama sekali takut kepada penguasa lokal termasuk para Sultan Cirebon, karena mereka paham para Sultan dan Bupati Cirebon hanya bawahan Residen Belanda.
Ketika orang-orang Cina Cirebon dianugerahi kekayaan melimpah, serta mampu membeli tanah Partikelir untuk diolahnya, orang-orang Cina yang sudah menjelma menjadi tuan tanah mulai menjerat pribumi dengan aturan dan pajak yang mencekik. Sementara disisi lain, Rakyat, Bupati bahkan Sultan tidak dapat berbuat banyak karena dibelakang para tuan tanah adalah Belanda.
Diam-diam, para pangeran yang masih kerbat dengan Bupati, Sultan serta para pejabat lokal lainnya yang merasa muak dengan tingkah laku para tuan Tanah Cina menyulut api pemberontakan rakyat, hingga pemberontakan besar di Cirebon meletus pada awal abad 19 (1811-1817).
Kaum buruh tani tanah Partikelir di wilayah Cirebon berontak, mereka membunuhi para tuan tanah Cina, malangnya orang-orang dari etnis Cina lainnya yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran perampokan, penganiyayaan, pengusiran bahkan pembunuhan. Pada masa ini orang-orang dari etnis Cina benar-benar akan dihabisi pribumi andai saja perlindungan dari penjajah Belanda tidak begitu kuat.
Selepas padamnya pemberontakan rakyat Cirebon di awal abad 19. Rupanya tingkah laku orang-orang dari etnis Cina di Cirebon pada abad 20 awal kambuh lagi. Pada Tahun 1913 hingga 1917 di wilayah Cirebon meletus Tragedi Kucir, kali ini yang melakukan pengusiran, bahkan pembunuhan terhadap orang-orang Cina adalah kaum santri dan ulama, dalam peristiwa ini jangkauan pembumi hangusan etnis Cina oleh pribumi lebih luas dan sistematis, dinyatakan sistematis karena didalangi oleh para Bupati dan kaum Agamawan yang merasa hak-hak hidup dan berusaha kaum pribumi dirampas oleh orang-orang Cina, Tragedi Kucir 1913 menjalar dengan cepat mulai dari Cirebon, Majalengka hingga Indramayu.
Baba Cong Kaji salah satu etnis Cina yang menjadi korban dalam Tragedi Kucir di wilayah Cirebon sebagaimana yang terdapat dalam Naskah Sedjarah Kuntjit (hlm 83) berkeluh kesah sambil menasehati teman-temannya, katanya “ Leluhur kita sudah mewasiatkan supaya hidup bersama dengan orang Jawa (Pribumi), tetapi kita tidak mematuhi. Kita merasa lebih pintar dan sombong. Bahkan kitapun lupa dengan leluhur. Ingatlah sumpah leluhur kita dihadapan Kanjeng Sunan Gunung Jati yang apabila melanggarnya maka akan sengsara”.
Baca Juga: Tragedi Kucir 1913
Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Daftar Bacaan
[1]Nurhata, Muhammad. 2019. Naskah Sedjarah Kuntjit; Suntingan Teks dan Terjamah. Jakarta: Perpusnas Press[2]Wahju, Aman.N. 2005. Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Jati. Naskah Mertasinga. Bandung: Pustaka
[3]Arya Carbon. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
[4]Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu
Belum ada Komentar untuk "Sumpah Leluhur Etnis China Dihadapan Sunan Gunung Jati"
Posting Komentar