Semiotik Sastra
Rabu, 20 Mei 2020
Kata semiotik berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik berarti ilmu tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1).
Menurut Peirce (2007: 2), semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
Menurut Hoed (2011: 3), semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beru makna. Teeuw mendefinisikan semiotik adalah ilmu sastra yang sungguh-sungguh mencoba menemukan konvensi-konvensi yang memungkinkan adanya makna (Teeuw, 1984: 6, 143).
Sedangkan menurut Preminger (1974: 980), mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda, mempelajari fenomena sosial budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda. Tanda adalah sesutau yang mewakili yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi yang termasuk tanda tidak hanya dari sisi bahasa saja tetapi dari semua aspek atau ruang lingkup kehidupan.
Tanda memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifié, signifiant) dan petanda (signified, signifié) (Preminger, 1974: 981-1982).
Dapat dikatakan bahwa penanda adalah bentuk formal suatu tanda, dalam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda (siginified) adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penandanya (Pradopo, 1995: 76).
Sebagai tanda, makna karya sastra sapat mengacu pada sesuatu di luar karya sastra itu sendiri atau di dalam dirinya (Riffaterre, 1978:1).
Terdapat empat hal yang penting di dalam buku Riffaterre, Semiotic of poetry, yang harus diperhatikan dalam memaknai sastra. Keempat hal itu yakni, puisi itu ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain (1987: 1), pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif atau hermeneutik, matriks, model, dan varian-varian, dan hipogram (Riffaterre, 1978: 13, 14-15). Hanya saja, yang dapat diuraikan dari keempat hal di atas yakni hanya pembacaan.
Pembacaan heuristik merupakan tahap pembacaan pertama yang harus dilewati pembaca puisi. Pertama kali, sajak atau puisi dibaca berdasarkan tata bahasa normatif, morfologi, semantik, dan sintaksis. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti (meaning) sajak secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat tingkat pertama (first order semiotics).
Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak atau makna sastra (significance). Oleh karena itu, sajak (sajak, fiksi) harus dibaca ulang (retroaktif) dengan memberikan tafsiran (hermeneutik) (Riffaterre, 1978: 5-6).
Menurut Peirce (2007: 2), semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
Menurut Hoed (2011: 3), semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beru makna. Teeuw mendefinisikan semiotik adalah ilmu sastra yang sungguh-sungguh mencoba menemukan konvensi-konvensi yang memungkinkan adanya makna (Teeuw, 1984: 6, 143).
Sedangkan menurut Preminger (1974: 980), mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda, mempelajari fenomena sosial budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda. Tanda adalah sesutau yang mewakili yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi yang termasuk tanda tidak hanya dari sisi bahasa saja tetapi dari semua aspek atau ruang lingkup kehidupan.
Tanda memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifié, signifiant) dan petanda (signified, signifié) (Preminger, 1974: 981-1982).
Dapat dikatakan bahwa penanda adalah bentuk formal suatu tanda, dalam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda (siginified) adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penandanya (Pradopo, 1995: 76).
Sebagai tanda, makna karya sastra sapat mengacu pada sesuatu di luar karya sastra itu sendiri atau di dalam dirinya (Riffaterre, 1978:1).
Terdapat empat hal yang penting di dalam buku Riffaterre, Semiotic of poetry, yang harus diperhatikan dalam memaknai sastra. Keempat hal itu yakni, puisi itu ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain (1987: 1), pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif atau hermeneutik, matriks, model, dan varian-varian, dan hipogram (Riffaterre, 1978: 13, 14-15). Hanya saja, yang dapat diuraikan dari keempat hal di atas yakni hanya pembacaan.
Ketidaklangsungan ekspresi.
Puisi merupakan ekspresi tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal dengan arti yang lain. Menurut Riffaterre (1978: 1, 2) ekspresi tidak langsung disebabkan oleh;- Penggantian atau pergeseran arti (displacing of meaning), bila tanda bergeser dari satu arti ke arti yang lain, bila satu kata mengacu pada kata lain sebagaimana terjadi pada metafora dan metonomia.
- Penyimpangan arti (distorsing of meaning), jika terdapat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense.
- Penciptaan arti (creating of meaning), ketika ruang tekstual bertindak sebagai sebuah prinsip organisasi untuk menghasilkan tanda-tanda dari item-item linguistik yang pada mulanya mungkin tidak tidak bermakna sama sekali misalnya, simetri, homolog, dan tipografi.
Pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif atau hermeneutik
Riffaterre mengemukakan dua tahap pembacaan semiotik yakni pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif atau hermeneutik.Pembacaan heuristik merupakan tahap pembacaan pertama yang harus dilewati pembaca puisi. Pertama kali, sajak atau puisi dibaca berdasarkan tata bahasa normatif, morfologi, semantik, dan sintaksis. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti (meaning) sajak secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat tingkat pertama (first order semiotics).
Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak atau makna sastra (significance). Oleh karena itu, sajak (sajak, fiksi) harus dibaca ulang (retroaktif) dengan memberikan tafsiran (hermeneutik) (Riffaterre, 1978: 5-6).