Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pemalsuan Uang
Rabu, 20 Mei 2020
Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, ini berarti harus dipastikan terlebih dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.
Sementara itu yang dimaksud dengan pemalsuan berasal dari kata palsu yang berarti “tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, sedangkan pemalsuan masih dari sumber yang sama diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memalsu”. Palsu menandakan suatu barang tidak asli, sedangkan pemalsuan adalah proses pembuatan sesuatu barang yang palsu. Sehingga dengan demikian dari kata pemalsuan ada terdapat pelaku, ada barang yang dipalsukan dan ada tujuan pemalsuan.
Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana pemalsuan uang adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana memalsukan uang.
Menurut Chazawi mengatakan kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
Sementara menurut Gunadi kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, pelaku tindak pidana termasuk tindak pidana pemalsuan uang dapat dipidana apabila memenuhi syarat bahwa tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang.
Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya.
Dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan seperti melawan hukum tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan ia mempunyai kesalahan dan apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melawan hukum, maka ia akan dipidana.
Asas legalitas hukum pidana Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi hukum pidana, karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah dapat dipertanggungjawabkan pertanggungjawaban tersebut.
Agar seseorang dapat dijatuhi pidana, harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Seorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana dalam menentukan adanya pertanggungjawaban harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Sifat melawan hukum dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa).
Ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yakni:
Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi pidana maka harus dipenuhi 2 (dua) unsur yakni adanya unsur perbuatan pidana (actrus reus) dan keadaan sifat batin pembuat (mens rea).
Kesalahan (schuld) merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus) sebenarnya tidak terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa.
Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu (1) Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya (2) Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat, dan (3) Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan . Sementara alasan seseorang tidak dapat bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan, yaitu (1) Jiwa si pelaku cacat (2) Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan, dan (3) Gangguan penyakit jiwa .
Memahami penjelasan tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa syarat-syarat seseorang dapat dikenai petanggung jawabanpidana, termasuk didalamnya soal pemalsuan uang dilandasi oleh berbagai hal, yaitu karena kesengajaan dan keinsafan melakukan perbuatan pemalsuan uang, sebaliknya apabila seseorang tidak memenuhi syarat karena (1) Jiwa si pelaku cacat (2) Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan, dan (3) Gangguan penyakit jiwa, maka yang bersangkutan bisa dibebaskan dari segala pertanggungjawaban pemalsuan uang.
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.
Sementara itu yang dimaksud dengan pemalsuan berasal dari kata palsu yang berarti “tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, sedangkan pemalsuan masih dari sumber yang sama diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memalsu”. Palsu menandakan suatu barang tidak asli, sedangkan pemalsuan adalah proses pembuatan sesuatu barang yang palsu. Sehingga dengan demikian dari kata pemalsuan ada terdapat pelaku, ada barang yang dipalsukan dan ada tujuan pemalsuan.
Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana pemalsuan uang adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana memalsukan uang.
Menurut Chazawi mengatakan kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
Sementara menurut Gunadi kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, pelaku tindak pidana termasuk tindak pidana pemalsuan uang dapat dipidana apabila memenuhi syarat bahwa tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang.
Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya.
Dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan seperti melawan hukum tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan ia mempunyai kesalahan dan apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melawan hukum, maka ia akan dipidana.
Syarat-Syarat Pertanggungjawaban Pidana Pemalsuan Uang
Seseorang dapat dikenai pertanggungjawaban Pidana Pemalsuan Uang apabila memenenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur yang telah ditentukan hukum. Syarat-syarat dan unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut:- Kemampuan bertanggung jawab atau dapatnya dipertanggungjawabkan dari si pembuat.
- Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa). Pelaku mempunyai kesadaran yang mana pelaku seharusnya dapat mengetahui akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.
- Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Asas legalitas hukum pidana Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi hukum pidana, karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah dapat dipertanggungjawabkan pertanggungjawaban tersebut.
Agar seseorang dapat dijatuhi pidana, harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Seorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana dalam menentukan adanya pertanggungjawaban harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Sifat melawan hukum dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa).
Ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yakni:
- Kesengajaan sebagai maksud. Kesengajaan ini bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas di kenakan hukuman.
- Kesengajaan dengan keinsafan pasti. Kesengajaan ini ada apabila si pelaku (doer or dader) dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik dan mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud akan terjadi suatu akibat lain.
- Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (Dolus Eventualis). Kesengajaan ini juga dsebut kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh Undang-Undang.
- Kelalaian dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah tetap timbul tersebut.
- Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh UndangUndang. Sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi pidana maka harus dipenuhi 2 (dua) unsur yakni adanya unsur perbuatan pidana (actrus reus) dan keadaan sifat batin pembuat (mens rea).
Kesalahan (schuld) merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus) sebenarnya tidak terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa.
Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu (1) Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya (2) Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat, dan (3) Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan . Sementara alasan seseorang tidak dapat bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan, yaitu (1) Jiwa si pelaku cacat (2) Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan, dan (3) Gangguan penyakit jiwa .
Memahami penjelasan tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa syarat-syarat seseorang dapat dikenai petanggung jawabanpidana, termasuk didalamnya soal pemalsuan uang dilandasi oleh berbagai hal, yaitu karena kesengajaan dan keinsafan melakukan perbuatan pemalsuan uang, sebaliknya apabila seseorang tidak memenuhi syarat karena (1) Jiwa si pelaku cacat (2) Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan, dan (3) Gangguan penyakit jiwa, maka yang bersangkutan bisa dibebaskan dari segala pertanggungjawaban pemalsuan uang.