Prilaku Homoseksual di Nusantara dalam Catatan Belanda
Minggu, 08 Desember 2019
Tulis Komentar
Prilaku penyimpangan seksual rupanya tidak mengenal bangsa dan agama, hukuman dan bahkan kutukan dalam kitab suci agama tidak membuat kaum homoseksual berhenti melakukan aktivitasnya. Menariknya ketika menjajah Indonesia para penulis Belanda berhasil mendokumentasikan praktek homoseksual penduduk Nusantara, dari mulai Sumatra, Sulawesi, Bali, Jawa, Madura dan lain sebagainya.
Snouch Hurgronje dalam bukunya Atjeh Verslag (1892) melaporkan bahawa “Kaum Pria Aceh sangat mengagumi budak laki-laki remaja dari Nias dan anak-anak remaja lokal miskin yang berparas tampan. Para budak dan anak-anak remaja lokal Aceh miskin yang tampan itu diculik untuk dijadikan pemain dalam kesenian Ratieb Seudati. Kesenian tersebut dijalankan oleh 15 hingg 20 orang yang didalamnya terdapat seorang laki-laki tampan berpakaian perempuan yang telah dilatih khusus sebagai penari Seudati. Pada prakteknya penari Seudati dilatih oleh dalem aduen, atau abang laki-laki si anak tampan dengan pelatihnya itulah si penari Seudati mempraktekan prilaku homoseksual”.
Dalam catatan Hendrik Van Kol (1903) di perkebunan Sumatra Timur disebutkan bahwa para pekerja sebagiannya ada yang mempraktekan homoseksual, bahkan dalam catatan yang lain kadang kasus pembunuhan yang terjadi diantara sesama pekerja perkebunan dipicu oleh masalah rebutan kekasih laki-laki diantara para pekerja.
Cristian Pelras dalam bukunya The Bugis (1996) menyebutkan bahwa di Sulawesi sebagaimana catatan yang ia kutip dari Antonio de Paiva seorang pedagang Portugis yang berkunjung ke Sulawesi pada Tahun 1545 diketahui bahwa “Praktek homoseksual dilakukan oleh para Bissu (Pendeta agama lokal Sulawesi ), praket homoseksual dilkukan antara sesama Bissu, menurut Antonio de Paiva paktek tersebut dilakukan dengan sangat menjijihkan, mereka mempraktekan Sodomi”.
Insklopedia Hindia Belanda (1919) mencatat bahwa di Bali praktek homoseksual dijalankan sebagian kecil warganya, orang yang melakukan paktek semacam itu disebut menjelit. Selain di Bali prilaku homoseksual juga terjadi di Jawa, menurut laporan Julisus Jacoub (1883) ketika ia terjun ke Banyuwangi sebagai tenaga kesehatan, ia menemukan bahwa “di Banyuwangi terdapat para penari Gandrung. Para penari tersebut adalah anak laki-laki berusi 10 hingga 12 tahun yang berpakaian perempuan, para bocah itu dengan genit menari dismbut para laki-laki yang menonton, mereka ikut menari dan menciuminya dan memberinya uang kepeng” Jacoub juga menambahkan bahwa “Praktek Homoseksual semacam itu juga dilakukan oleh masyrakat Madura, bahkan dilakukan didepan masyarakat tanpa rasa malu”.
Memahami beberapa catatan Belanda seputar Prilaku Homoseksual di Nusantara sebagaimana di atas, agaknya prilaku semcam itu tumbuh dan berkmbang pada masyarakat Nusantara tumbuh secara alami, tidak dipengaruhi oleh budaya barat yang dikemuian hari masuk ke Nusantara.
Snouch Hurgronje dalam bukunya Atjeh Verslag (1892) melaporkan bahawa “Kaum Pria Aceh sangat mengagumi budak laki-laki remaja dari Nias dan anak-anak remaja lokal miskin yang berparas tampan. Para budak dan anak-anak remaja lokal Aceh miskin yang tampan itu diculik untuk dijadikan pemain dalam kesenian Ratieb Seudati. Kesenian tersebut dijalankan oleh 15 hingg 20 orang yang didalamnya terdapat seorang laki-laki tampan berpakaian perempuan yang telah dilatih khusus sebagai penari Seudati. Pada prakteknya penari Seudati dilatih oleh dalem aduen, atau abang laki-laki si anak tampan dengan pelatihnya itulah si penari Seudati mempraktekan prilaku homoseksual”.
Dalam catatan Hendrik Van Kol (1903) di perkebunan Sumatra Timur disebutkan bahwa para pekerja sebagiannya ada yang mempraktekan homoseksual, bahkan dalam catatan yang lain kadang kasus pembunuhan yang terjadi diantara sesama pekerja perkebunan dipicu oleh masalah rebutan kekasih laki-laki diantara para pekerja.
Cristian Pelras dalam bukunya The Bugis (1996) menyebutkan bahwa di Sulawesi sebagaimana catatan yang ia kutip dari Antonio de Paiva seorang pedagang Portugis yang berkunjung ke Sulawesi pada Tahun 1545 diketahui bahwa “Praktek homoseksual dilakukan oleh para Bissu (Pendeta agama lokal Sulawesi ), praket homoseksual dilkukan antara sesama Bissu, menurut Antonio de Paiva paktek tersebut dilakukan dengan sangat menjijihkan, mereka mempraktekan Sodomi”.
Insklopedia Hindia Belanda (1919) mencatat bahwa di Bali praktek homoseksual dijalankan sebagian kecil warganya, orang yang melakukan paktek semacam itu disebut menjelit. Selain di Bali prilaku homoseksual juga terjadi di Jawa, menurut laporan Julisus Jacoub (1883) ketika ia terjun ke Banyuwangi sebagai tenaga kesehatan, ia menemukan bahwa “di Banyuwangi terdapat para penari Gandrung. Para penari tersebut adalah anak laki-laki berusi 10 hingga 12 tahun yang berpakaian perempuan, para bocah itu dengan genit menari dismbut para laki-laki yang menonton, mereka ikut menari dan menciuminya dan memberinya uang kepeng” Jacoub juga menambahkan bahwa “Praktek Homoseksual semacam itu juga dilakukan oleh masyrakat Madura, bahkan dilakukan didepan masyarakat tanpa rasa malu”.
Memahami beberapa catatan Belanda seputar Prilaku Homoseksual di Nusantara sebagaimana di atas, agaknya prilaku semcam itu tumbuh dan berkmbang pada masyarakat Nusantara tumbuh secara alami, tidak dipengaruhi oleh budaya barat yang dikemuian hari masuk ke Nusantara.
Belum ada Komentar untuk "Prilaku Homoseksual di Nusantara dalam Catatan Belanda"
Posting Komentar