Riwayat Hidup Abah Umar Pendiri Thoriqot As-Syahadatain
Sabtu, 24 November 2018
Tulis Komentar
Abah Umar atau yang mempunyai nama asli Sayyid Umar dikenal oleh masyarakat Cirebon dan Indonesia sebagai pendiri Thoriqot As-Syahadatain. Ciri dari Toriqot dan pengikut Abah Umar ini dapat mudah dikenali dari pakaiannya, mereka saat Ibadah pada umumnya mewajibkan anggotanya untuk memakai kain/jubbah putih khas pakaian orang Arab jaman Nabi Muhamad masih hidup.
Ciri lain dari pengamal Thoriqot ini adalah wiridnya, biasanya mereka melakukan wiridan, atau pujian sebelum Sholat lima waktu dengan wiridan atau nadhoman yang diciptakan sendiri oleh Abah Umar. Sebelum Abah Umar mendirikan Thoriqot As-Syahadatain pada 1947, beliau digambarkan sebagi pejuang dan ulama yang kharismatik. Gambaran mengenai riwayat hidup Abah Umar baik sebelum mendirikan Thoriqot dan sesudahnya dapat dipaparkan sebagai berikut:
Belum cukup dengan pendidikan yang diperoleh dari ayahnya, Habib Umar memulai pengembaraan pendidikannya ke Pondok Pesantren Ciwedus, Kuningan, Jawa Barat pada tahun 1903 M di bawah asuhan K.H. Ahmad Shobari yakni murid dari Mbah Kholil Bangkalan Madura selama dua tahun.
Habib Umar di Pesantren Ciwedus selalu hadir dalam pengajian yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Shobari baik dalam pengajian kitab kuning maupun tausiyah. Namun, beliau terlihat hanya tidur-tiduran bahkan pulas di samping sang kyai, sehingga para santri pun mencibir dan mencemooh.
Habib Umar menunjukkan khowariknya dengan mengingatkan Kyai Shobari jika salah dalam membaca kitab. Begitu pun para santri yang sedang deres di kamar selalu diluruskan oleh beliau jika salah dalam membaca. Dengan kejadian demikian para santri akhirnya memberikan hormat dan memuliakannya.
Dua tahun kemudian, Habib Umar pindah ke Pondok Pesantren Bobos, Palimanan di bawah didikan Kyai Sudjak.
Pada tahun 1937, Habib Umar mulai membuka pengajian di rumah beliau bersama istri beliau, Ummi Jamilah di Panguragan Wetan, Cirebon. Namun, niat tulus Habib Umar menuai cibiran, ejekan, bahkan menganggapnya gila.
Penamaan tersebut berkaitan dengan ajaran beliau yang menekankan tentang makna dua kalimat syahadat dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Syahadat adalah dasar dan inti ajaran Islam yang justru banyak dilupakan oleh umat Islam. Dinamakan juga dengan Thoriqot Syahadat Shalawat karena setiap selesai shalat fardhu, Habib Umar mengajarkan kepada murid-muridnya untuk membaca dua kalimat syahadat dan diiringi dengan shalawat. Bacaan syahadat shalawat ini dibaca tiga kali (wasallam-wasallam-wasallim). Demikianlah proses terbentuknya Thoriqot Assyahadatain.
Pada suatu hari dia mengambil pentungan kentong masjid dan memukulkannya kepada kepala Habib Umar sehingga beliau pingsan dan dibawa ke Rumah Sakit Gunung Jati Cirebon.
Setelah beberapa bulan, beliau dipindahkan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Akhirnya tidak berselang lama, Habib Umar bin Ismail bin Yahya berpulang di RS Hasan Sadikin Bandung pada tanggal 20 Rajab 1393 H atau 19 Agustus 1973 M
Baca Juga: Silsilah Sayyid Umar (Abah Umar), Pendiri Thoriqat Asy-Syahadataian
Sumber Artikel:
[*]Lutfiyah Rahma. (2016). Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
Ciri lain dari pengamal Thoriqot ini adalah wiridnya, biasanya mereka melakukan wiridan, atau pujian sebelum Sholat lima waktu dengan wiridan atau nadhoman yang diciptakan sendiri oleh Abah Umar. Sebelum Abah Umar mendirikan Thoriqot As-Syahadatain pada 1947, beliau digambarkan sebagi pejuang dan ulama yang kharismatik. Gambaran mengenai riwayat hidup Abah Umar baik sebelum mendirikan Thoriqot dan sesudahnya dapat dipaparkan sebagai berikut:
Masa Pendidikan Abah Umar
Sebelum mengawali kelana intelektualnya, Habib Umar mendapat pendidikan langsung dari ayahnya. Selain mendapatkan pelajaran keagamaan seperti membaca al-Qur’an, hadits, fiqh, tauhid, nahwu, sharaf, mantiq, dan lainnya, Habib Umar juga memperoleh pendidikan pertanian dan bela diri.Belum cukup dengan pendidikan yang diperoleh dari ayahnya, Habib Umar memulai pengembaraan pendidikannya ke Pondok Pesantren Ciwedus, Kuningan, Jawa Barat pada tahun 1903 M di bawah asuhan K.H. Ahmad Shobari yakni murid dari Mbah Kholil Bangkalan Madura selama dua tahun.
Habib Umar di Pesantren Ciwedus selalu hadir dalam pengajian yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Shobari baik dalam pengajian kitab kuning maupun tausiyah. Namun, beliau terlihat hanya tidur-tiduran bahkan pulas di samping sang kyai, sehingga para santri pun mencibir dan mencemooh.
Habib Umar menunjukkan khowariknya dengan mengingatkan Kyai Shobari jika salah dalam membaca kitab. Begitu pun para santri yang sedang deres di kamar selalu diluruskan oleh beliau jika salah dalam membaca. Dengan kejadian demikian para santri akhirnya memberikan hormat dan memuliakannya.
Dua tahun kemudian, Habib Umar pindah ke Pondok Pesantren Bobos, Palimanan di bawah didikan Kyai Sudjak.
Dari Pondok Bobos, selanjutnya Habib Umar belajar di Pondok Pesantren Buntet, Astanajapura, Cirebon pada tahun 1916 M yang diasuh oleh K.H. Abdul Jamil (hidup tahun 1842 – 1919 M) dan puteranya, K.H. Abbas bin K.H. Abdul Jamil (hidup tahun 1879 – 1945 M) sebagai kyai muda.
Setelah mengenyam pendidikan di Pesantren Buntet, Habib Umar melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Majalengka yang dipimpin oleh K.H. Anwar dan K.H. Abdul Halim.
Setelah mengenyam pendidikan di Pesantren Buntet, Habib Umar melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Majalengka yang dipimpin oleh K.H. Anwar dan K.H. Abdul Halim.
Di Pondok Pesantren Majalengka ini, Habib Umar menimba ilmu selama lima tahun. Tahun keenam, Habib Umar diangkat sebagai tenaga pengajar di madrasah oleh K.H. Abdul Halim.
K.H. Abdul Halim sebenarnya ialah senior Habib Umar ketika beliau mondok di Ciwedus. Di Pesantren Majalengka beliau seringkali terlibat dalam diskusi dengan para tokoh pesantren maupun para tokoh yang berada di persyarikatan ulama.
Ada orang yang sangat berjasa yang telah membiayai Habib Umar selama menimba ilmu di pondok pesantren, yaitu K.H. Syamsuri dari Pesantren Wanantara, Cirebon.
K.H. Abdul Halim sebenarnya ialah senior Habib Umar ketika beliau mondok di Ciwedus. Di Pesantren Majalengka beliau seringkali terlibat dalam diskusi dengan para tokoh pesantren maupun para tokoh yang berada di persyarikatan ulama.
Ada orang yang sangat berjasa yang telah membiayai Habib Umar selama menimba ilmu di pondok pesantren, yaitu K.H. Syamsuri dari Pesantren Wanantara, Cirebon.
K.H. Syamsuri yang biasa disebut juga dengan Mbah Syamsuri (hidup tahun 1872 – 1972 M) rutin mengirim beberapa karung beras dengan pedatinya ke pesantren di mana Habib Umar mengenyam pendidikan untuk biaya hidup selama di pondok pesantren.
Masa Mengajar dan Berdakwah
Setelah mengenyam pendidikan di berbagai pondok pesantren, Habib Umar kembali ke kampung halamannya.
Ketika pulang, beliau merasa miris melihat keadaan masyarakat yang terbiasa melakukan perbuatan maksiat, seperti berjudi, minum-minuman, dan lainnya, serta tidak terlepasnya masyarakat akan kepercayaan terhadap hal yang mistik seprti penyembahan terhadap leluhur dan nenek moyang.
Menyaksikan hal ini, Habib Umar merasa terpanggil untuk berdakwah dan menghidupkan kembali syariat Islam di kampungnya. Habib Umar kemudian mendirikan sebuah jamaah pengajian yang diadakan setiap malam Jumat.
Awalnya pengajian ini mendapatkan tentangan keras, ejekan, dan cemoohan dari masyarakat. Namun, beliau tetap semangat dalam menyebarkan kebenaran.
Menyaksikan hal ini, Habib Umar merasa terpanggil untuk berdakwah dan menghidupkan kembali syariat Islam di kampungnya. Habib Umar kemudian mendirikan sebuah jamaah pengajian yang diadakan setiap malam Jumat.
Awalnya pengajian ini mendapatkan tentangan keras, ejekan, dan cemoohan dari masyarakat. Namun, beliau tetap semangat dalam menyebarkan kebenaran.
Lambat laun, pengajian Habib Umar semakin ramai didatangi oleh masyarakat yang ingin mengaji hingga memperoleh banyak jamaah atau murid yang berasal dari berbagai daerah di sekitar Cirebon.
Proses Terbentuknya Thoriqot Asy-Syahadatain
Seperti yang sempat diulas pada bagian masa mengajar dan berdakwah, sepulangnya Habib Umar dari belajarnya di pondok pesantren pada tahun 1923 beliau menyaksikan kemaksiatan tengah terjadi pada masyarakat di kampung halamannya. Hal ini membuat Habib Umar memiliki niat untuk mengembalikan akhlak masyarakat kepada syariat Islam.Pada tahun 1937, Habib Umar mulai membuka pengajian di rumah beliau bersama istri beliau, Ummi Jamilah di Panguragan Wetan, Cirebon. Namun, niat tulus Habib Umar menuai cibiran, ejekan, bahkan menganggapnya gila.
Bukannya hilang semangat, cibiran dan ejekan tersebut justru semakin menumbuhkan semangat menyebarkan syariat Islam. Dari tahun ke tahun, pengajian yang diadakan oleh Habib Umar semakin memperoleh banyak murid.
Melihat aktivitas pengajian dan berkumpul di kediaman Habib Umar, pemerintah kolonial merasa curiga dan menganggap pengajian tersebut membahayakan kedudukan kolonial. Maka, dengan tuduhan mengganggu stabilitas keamanan, Habib Umar ditangkap dan dipenjara pada tahun 1939 M.
Kejadian ini menjadikan jamaah Habib Umar yang waktu itu didominasi oleh masyarakat Panguragan yang sudah menjadi pengikut setia beliau marah.
Melihat aktivitas pengajian dan berkumpul di kediaman Habib Umar, pemerintah kolonial merasa curiga dan menganggap pengajian tersebut membahayakan kedudukan kolonial. Maka, dengan tuduhan mengganggu stabilitas keamanan, Habib Umar ditangkap dan dipenjara pada tahun 1939 M.
Kejadian ini menjadikan jamaah Habib Umar yang waktu itu didominasi oleh masyarakat Panguragan yang sudah menjadi pengikut setia beliau marah.
Akhirnya, jamaah mengadakan gerilya dan menangkap bahkan membunuh siapa saja yang ditemui dan berhubungan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintahan kolonial Belanda akhirnya merasa takut atas respon negatif yang dilakukan oleh para murid Habib Umar sehingga beliau dibebaskan dari penjara.
Pemerintahan kolonial Belanda akhirnya merasa takut atas respon negatif yang dilakukan oleh para murid Habib Umar sehingga beliau dibebaskan dari penjara.
Pada tahun 1940 M, Habib Umar menjadikan kediamannya sebagai basis perjuangan Belanda, dan membuat perkembangan pengajiannya semakin ramai.
Anggota jamaah yang mengikuti pengajian Habib Umar bukan hanya dari kalangan masyarakat Panguragan saja, akan tetapi dari luar kota juga, seperti Kuningan, Majalengka, dan Indramayu pun ikut bergabung dalam jamaah beliau.
Perkembangan jamaah yang semakin pesat ini membuat pemerintah kolonial Belanda geram, sehingga pada tanggal 24 Agustus 1940 M untuk kedua kalinya Habib Umar ditangkap dan pengajiannya ditutup dengan tuduhan yang sama, yakni mengganggu stabilitas keamanan dan tuduhan lainnya, yaitu menyebarkan ajaran sesat dan menyimpang.
Anggota jamaah yang mengikuti pengajian Habib Umar bukan hanya dari kalangan masyarakat Panguragan saja, akan tetapi dari luar kota juga, seperti Kuningan, Majalengka, dan Indramayu pun ikut bergabung dalam jamaah beliau.
Perkembangan jamaah yang semakin pesat ini membuat pemerintah kolonial Belanda geram, sehingga pada tanggal 24 Agustus 1940 M untuk kedua kalinya Habib Umar ditangkap dan pengajiannya ditutup dengan tuduhan yang sama, yakni mengganggu stabilitas keamanan dan tuduhan lainnya, yaitu menyebarkan ajaran sesat dan menyimpang.
Akhirnya, enam bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 20 Februari 1941 M Habib Umar dibebaskan dari penjara Keresidenan Cirebon.
Selepas keluarnya Habib Umar dari penjara yang kedua, Belanda berusaha membujuk beliau untuk bekerjasama, namun beliau tetap menolaknya. Oleh karena itu, pengawasan dan pendeskriditan Belanda kepada beliau semakin ketat.
Habib Umar tidak putus asa, beliau semakin merapatkan barisan dan mengadakan hubungan dengan para alim ulama guna menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda di bawah naungan jamaah yang beliau pimpin.
Di antara ulama yang diajak kerjasama adalah Kyai Ahmad Sujak dari Bobos, K.H. Abdul Halim dari Majalengka, K.H. Mustofa dari Graksan, K.H. Ahmad Ridwan Yasin dari Wanantara, K.H. Anwar dari Cilimus, serta K.H. Zainal Asiqien dan Kyai Khozin dari Munjul.
Selanjutnya, ketika terjadi pendudukan Jepang di Indonesia, perlakuan Jepang terhadap jamaah yang dipimpin Habib Umar juga tidak kalah kejamnya, karena dengan tegas Habib Umar dan jamaahnya menentang Jepang, sehingga Jepang pun menangkap Habib Umar dan memasukkan beliau ke penjara pada 18 Juli 1943 M sampai dengan 25 April 1944 M.
Setelah kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1947 jamaah Habib Umar secara resmi menamakan jamaah pengajiannya dengan nama Thoriqot Syahadat Shalawat atau Jamaah As-syahadatain.
Selepas keluarnya Habib Umar dari penjara yang kedua, Belanda berusaha membujuk beliau untuk bekerjasama, namun beliau tetap menolaknya. Oleh karena itu, pengawasan dan pendeskriditan Belanda kepada beliau semakin ketat.
Habib Umar tidak putus asa, beliau semakin merapatkan barisan dan mengadakan hubungan dengan para alim ulama guna menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda di bawah naungan jamaah yang beliau pimpin.
Selanjutnya, ketika terjadi pendudukan Jepang di Indonesia, perlakuan Jepang terhadap jamaah yang dipimpin Habib Umar juga tidak kalah kejamnya, karena dengan tegas Habib Umar dan jamaahnya menentang Jepang, sehingga Jepang pun menangkap Habib Umar dan memasukkan beliau ke penjara pada 18 Juli 1943 M sampai dengan 25 April 1944 M.
Setelah kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1947 jamaah Habib Umar secara resmi menamakan jamaah pengajiannya dengan nama Thoriqot Syahadat Shalawat atau Jamaah As-syahadatain.
Penamaan tersebut berkaitan dengan ajaran beliau yang menekankan tentang makna dua kalimat syahadat dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Syahadat adalah dasar dan inti ajaran Islam yang justru banyak dilupakan oleh umat Islam. Dinamakan juga dengan Thoriqot Syahadat Shalawat karena setiap selesai shalat fardhu, Habib Umar mengajarkan kepada murid-muridnya untuk membaca dua kalimat syahadat dan diiringi dengan shalawat. Bacaan syahadat shalawat ini dibaca tiga kali (wasallam-wasallam-wasallim). Demikianlah proses terbentuknya Thoriqot Assyahadatain.
Wafatnya Habib Umar
Pada tahun 1973, Masjid Abah Umar kedatangan khodim baru yang bernama Mar’i. Ia yang menjadi pelayan di dalam lotengnya Habib Umar.Setelah beberapa bulan, beliau dipindahkan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Akhirnya tidak berselang lama, Habib Umar bin Ismail bin Yahya berpulang di RS Hasan Sadikin Bandung pada tanggal 20 Rajab 1393 H atau 19 Agustus 1973 M
Baca Juga: Silsilah Sayyid Umar (Abah Umar), Pendiri Thoriqat Asy-Syahadataian
Sumber Artikel:
[*]Lutfiyah Rahma. (2016). Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
Belum ada Komentar untuk "Riwayat Hidup Abah Umar Pendiri Thoriqot As-Syahadatain"
Posting Komentar