Puranti, Kekasih Hati Gajah Mada
Senin, 15 Oktober 2018
Tulis Komentar
Sumpah Palapa yang fenomenal itu, dianggap sebagai titik tolak dari seorang Gajah Mada untuk menjahui kenikmatan dunia, termasuk didalamnya soal perempuan sebelum ia menyatukan Nusantara. Hal ini juga dapat dimaknai bahwa Gajah Mada merupakan seorang Kasim, yaitu seorang laki-laki yang mengkebiri atau paling minimal-minimalnya tidak memfungsikan alat vitalnya sehingga tidak lagi menjadi bahaya bagi lawan jenisnya.
Benarkah Gajah Mada menjahui wanita kerena ia ingin fokus menyatukan Nusantara?. Inilah pembahasan menariknya, sebab baru-baru Ini Gesta Bayuadhy dalam bukunya menuliskan bahwa ketika Gajah Mada baru merintis karirnya sebagai Prajurit kelas teri di Kahuripan, Gajah Mada dikisahkan menjalin cinta dengan puteri Demang Suryanata, puteri itu bernama Puranti. Dalam kisah percintaanya ini Gajah Mada di kecewakan, sebab Puranti disambar Raden Damar yang merupakan anak dari Patih Rangga Tanding.
Dalam bukunya yang berjudul “Kisah Cinta Gajah Mada: Kontroversi Kehidupan sang Mahapatih” yang terbit pada tahun 2015 itu, Gesta Bayuadhy menuliskan bahwa Gajah Mada ketika menjadi prajurit di Kahuripan pernah menjalin cinta dengan putri Demang Suryanata yang bernama Puranti.
Saat itu Gajah Mada dikenal sebagai seorang Bekel Dipa atau prajurit kelas teri yang mengabdi di Kahuripan. Sayangnya sang kekasih ketika itu telah dilamar oleh Raden Damar, putra seorang patih Kahuripan yang bernama Rangga Tanding
Gajah Mada pada mulanya merelakan Puranti diambil orang, namun dalam temu perpisahan antara Gajah Mada dan Puranti rupanya dipergoki oleh Raden Damar, sehingga terjadi percekcokan antara Gajahmada dan Raden Damar, keduanyapun terlibat perkelahian. Dalam perkelahian ini Raden Damar tewas terbunuh.
Pasca peristiwa itu, tamatlah karir Gajah Mada di Kahuripan, ia kemudian menghilang hingga pada akhirnya merantau ke Majapahit. Di Majapahit ia kemudian menjadi Bekel Bhayangkara. Begitulah rangkaian kisahnya.
Jika mengamat-amati kisah yang dipaparkan Gesta Bayuadhy dalam bukunya itu, sepertinya jika kisah Gajah Mada direkonstruksi ulang, maka tidak 100% benar jika alasan Gajah Mada menjauhui wanita karena ingin fokus menyatukan Nusantara. Ada kemungkinan Ia rela menjadi Kasim di Majapahit karena ia telah belajar dari pengalaman buruknya di Kahuripan, sebab dalam pengalaman buruknya itu ternyata yang menjadi sebab kebangkrutan karirnya di Kahuripan adalah wanita. Dari itulah ia rela menjadi Kasim di Majapahit.
Jika kisah tersebut benar, maka kuat dugaan bahwa peristiwa penyelamatan Jaya Negara dari pemberontakan yang dilancarkan Rakuti dan Pejabat Dharmaputera lainnya hanya peristiwa kebetulan saja, Gajah Mada waktu itu sedang menjaga Kaputren tempat adik perempuan Jayanegara tinggal bersama dayang-dayangnya, karena memang dalam Pararaton sendiri Jaya Negara dikisahkan sebgai Raja yang birahi terhadap adik-adik perempuannya, sehingga ia sering menyatroni Kaputren untuk menemui adiknya.
Gajah Mada pada mulanya merelakan Puranti diambil orang, namun dalam temu perpisahan antara Gajah Mada dan Puranti rupanya dipergoki oleh Raden Damar, sehingga terjadi percekcokan antara Gajahmada dan Raden Damar, keduanyapun terlibat perkelahian. Dalam perkelahian ini Raden Damar tewas terbunuh.
Pasca peristiwa itu, tamatlah karir Gajah Mada di Kahuripan, ia kemudian menghilang hingga pada akhirnya merantau ke Majapahit. Di Majapahit ia kemudian menjadi Bekel Bhayangkara. Begitulah rangkaian kisahnya.
Jika mengamat-amati kisah yang dipaparkan Gesta Bayuadhy dalam bukunya itu, sepertinya jika kisah Gajah Mada direkonstruksi ulang, maka tidak 100% benar jika alasan Gajah Mada menjauhui wanita karena ingin fokus menyatukan Nusantara. Ada kemungkinan Ia rela menjadi Kasim di Majapahit karena ia telah belajar dari pengalaman buruknya di Kahuripan, sebab dalam pengalaman buruknya itu ternyata yang menjadi sebab kebangkrutan karirnya di Kahuripan adalah wanita. Dari itulah ia rela menjadi Kasim di Majapahit.
Jika kisah tersebut benar, maka kuat dugaan bahwa peristiwa penyelamatan Jaya Negara dari pemberontakan yang dilancarkan Rakuti dan Pejabat Dharmaputera lainnya hanya peristiwa kebetulan saja, Gajah Mada waktu itu sedang menjaga Kaputren tempat adik perempuan Jayanegara tinggal bersama dayang-dayangnya, karena memang dalam Pararaton sendiri Jaya Negara dikisahkan sebgai Raja yang birahi terhadap adik-adik perempuannya, sehingga ia sering menyatroni Kaputren untuk menemui adiknya.
Ketika Jaya Negara di Kaputren inilah pemberontakan Rakutih Meletus, sehinga mau tidak mau, Gajah Mada selaku Pengawal Puteri Kerajaan yang otomatis Kasim, menyelamatkan juga sang Raja yang kebetulan ada disitu.
Karir Gajah Mada setelah penyelamatan itu kemudian melejit, sehingga kemudian ia diangkat menjadi Patih di Daha, lagi-lagi sebagai kepercayaan adik perempuan Jaya Negara, bukan sebagai kepercayaan Jaya Negara. Ini memperkuat dugaan bahwa Gajah Mada memang dari awal sudah menjadi Kasim yang diperuntukan untuk menjaga adik perempuan Jaya Negara.
Kisah itupun selaras dengan kisah setelah kewafatan Jaya Negara, sebab Adik perempuan Jaya Negara yang kemudian menggantikannya sebagai Ratu Majapahit ternyata kemudian mengangkat Gajahmada menjadi Mahapatih Amangkubumi dalam pemerintahannya.
Dalam pemerintahan Adik Perempuan Jaya Negara inilah kemudian Gajahmada mengucapkan sumpah palapa yang terkenal itu. Yang mana dalam sumpahnya itu ia kemudian mengukuhkan dihadapan semua pejabat kerajaan bahwa dirinya tidak akan menikmati kenikmatan dunia termasuk didalamnya soal perempuan sebelum menyatukan Nusantara.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dan luar biasa mengenai sumpah ini, sebab memang sebelumnya Gajahmada seorang Kasim jadi tidak akan menggangu pribadinya jika ia menetapkan untuk tidak menikmati perempuan, begitupun juga soal penyatuan Nusantara, bagi kerajaan-kerajaan di Jawa itu sudah biasa, sebab kerajaan pendahulu Majapahit semisal Singasari dan Kediri dalam sejarahnya telah mampu menaklukan Nusantara, jadi tidak ada yang perlu ditertawakan atau dianggap aneh mengenai sumpah ini. Hanya saja memang melalui Majapahit, Gajahmada ingin Majapahit memiliki jangkauan kekuasaan yang lebih luas dibandingkan Kediri dan Singsari.
Karir Gajah Mada setelah penyelamatan itu kemudian melejit, sehingga kemudian ia diangkat menjadi Patih di Daha, lagi-lagi sebagai kepercayaan adik perempuan Jaya Negara, bukan sebagai kepercayaan Jaya Negara. Ini memperkuat dugaan bahwa Gajah Mada memang dari awal sudah menjadi Kasim yang diperuntukan untuk menjaga adik perempuan Jaya Negara.
Kisah itupun selaras dengan kisah setelah kewafatan Jaya Negara, sebab Adik perempuan Jaya Negara yang kemudian menggantikannya sebagai Ratu Majapahit ternyata kemudian mengangkat Gajahmada menjadi Mahapatih Amangkubumi dalam pemerintahannya.
Dalam pemerintahan Adik Perempuan Jaya Negara inilah kemudian Gajahmada mengucapkan sumpah palapa yang terkenal itu. Yang mana dalam sumpahnya itu ia kemudian mengukuhkan dihadapan semua pejabat kerajaan bahwa dirinya tidak akan menikmati kenikmatan dunia termasuk didalamnya soal perempuan sebelum menyatukan Nusantara.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dan luar biasa mengenai sumpah ini, sebab memang sebelumnya Gajahmada seorang Kasim jadi tidak akan menggangu pribadinya jika ia menetapkan untuk tidak menikmati perempuan, begitupun juga soal penyatuan Nusantara, bagi kerajaan-kerajaan di Jawa itu sudah biasa, sebab kerajaan pendahulu Majapahit semisal Singasari dan Kediri dalam sejarahnya telah mampu menaklukan Nusantara, jadi tidak ada yang perlu ditertawakan atau dianggap aneh mengenai sumpah ini. Hanya saja memang melalui Majapahit, Gajahmada ingin Majapahit memiliki jangkauan kekuasaan yang lebih luas dibandingkan Kediri dan Singsari.
Belum ada Komentar untuk "Puranti, Kekasih Hati Gajah Mada"
Posting Komentar