Ajaran Syekh Siti Jenar, Ketuhanan, Jiwa dan Kehidupan
Sabtu, 13 Oktober 2018
Tulis Komentar
Sebagai seorang Wali meskipun kontroversi, tentu Syekh Siti jenar mempunyai ajaran-ajaran pokok yang diajarkan kepada para muridnya, ajaran-ajaran pokok Sykeh Siti Jenar itu dapat kita jumpai dalam naskah serat Siti Djenar. Adapun ajaran pokok tersebut diantaranya adalah tentang tuhan, jiwa dan kehidupan/kematian.
Hyang Widhi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tidak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindra, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya.
Selain Abdul Munir Mulkhan, M. Sholihin juga mengkaji Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen karya Tan Khoen Swie (1931). Ia menjelaskan bahwa saat diminta menemui para wali, Syaikh Siti Jenar mengaku sebagai Tuhan, bergelar Prabu Satmata; ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tidak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 sifat, antara lain ada, tidak bermula, tidak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara, yang terkumpul menjadi satu wujudmutlak yang disebut Dzat. Hal itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan. Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Rahimsah menambahi bahwa jiwa, selain merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widdhi di dalam jiwa. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat kekal atau langgeng sesudah manusia menemui mati yang melepaskannya dari belenggu badannya.
Para pengikut Syeikh Siti Jenar, pria dan wanita, memiliki tabiat yang sama, yaitu angkuh, suka membuat kegaduhan, merampok dan berkelahi. Bila terjadi kejahatan, hampir selalu ada pengikut Syeikh Siti Jenar yang menjadi biangnya.
Sholihin, dengan mengutip Zoetmulder dalam buku Pantheisme en Monisme in de Javavsche mengatakan bahwa Syaikh Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat surga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Surga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan surga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Sumber: http://eprints.walisongo.ac.id/196/3/084111006_Bab2.pdf
Ajaran Syekh Siti Jenar tentang Ketuhanan
Ajaran tentang siapa dan bagaimana Tuhan menurut Syekh Siti Jenar tertuang dalam buku Serat Siti Djenar karya Bratakesawa berbentuk tembang dalam bahasa Jawa. Hal tersebut bisa dilihat kutipan di bawah ini:Demikianlah awal mula Syaikh Siti Jenar mengumbar hawa nafsunya, menyiarkan apa yang terkandung dalam hatinya, mengajarkan agama Islam menurut pendapat dan pandangan sendiri. Ia mengaku diri sebagai Zat Allah dan menganggap budi serta kesadaran manusia sebagai Tuhan. Tuhan yang ada dalam manusia mempunyai dua puluh sifat, yang bersifat kidam dan baka, sifat yang dahulu yang tiada permulaan. Oleh tingkah raga yang tidak wajar itu bertentangan dengan pendapat Syaikh Siti Jenar, itu termasuk barang baru.Dari kutipan diatas dapat disimpulkan ajaran Syaikh Siti Jenar menurut Bratakesawa adalah sebagai berikut: Syaikh Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai Dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 atribut atau sifat yang dikumpulkan dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan di sebut dzat, tidak asal-usul serta tujuannya.
Kodrat iradat atau kekuasaan serta kehendak Tuhan itu ilmu yang sejati. Kalam, samak, basar, kadiran, samingnan, dan muridan dua puluh jumlahnya, jika digulung dan melekat dalam budi, sehingga budi dapat lestari, kekal untuk selama-lamanya. Ini berarti ujud mutlak itu akan menjadi apa yang disebut zat, tiada bermula, tiada berakhir, tiada berasal, tiada bertujuan, serta mengenal keyakinan akan tekad sifat Allah.
Syaikh Lemah Abang menganggap Hyang Widhi, ujud yang tidak tampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai ujud, seperti penampakan raga yang tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yang meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.
Baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit atau rasa tidak enak, ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu, bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidaak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang terbesar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang menciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.
Yang disebut kodrat itu yang paling berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan ujudnya tidak ada, baik luar maupun dalam merupakan kesatuan yang beraneka ragam. Iradat artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari panca indra bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.
Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itu pun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal ruh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit atau lelah. Suka duka pun musnah, karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri menurut kehendak. Syaikh Siti Jenar ternyata orang yang tajam penglihatannya, mempunyai pandangan yang terang dan tepat, manusia yang melebihi sesamanya. Oleh karena itu mengaku dirinya Pangeran.
Ia berpikir “Salat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki. Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Suksma, kecuali hanya dari pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membubunglah ke langit, selamilah dalam buku sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan ujud yang mulia.
Hyang Widhi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tidak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindra, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya.
Ajaran Syekh Siti Jenar tentang Jiwa
Ajaran Syaikh Siti Jenar tentang Jiwa dapat ditemui dalam Serat Siti Jenar, adapun pemaparanya sebagai berikut:Siti Jenar berpendapat dan menganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpndapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu, pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.Dari kutipan diatas bisa disimpulkan bahwa: Wujud lahiriyah Siti Jenar diakuinya sendiri sebagai Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera; kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan,jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya; bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru.
Demikian pula budi, pikiran, angan-angan, dan kesadaran, berasal dari dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki akan sesama manusia demi kebahagiaan diri pribadi, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.
Selain Abdul Munir Mulkhan, M. Sholihin juga mengkaji Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen karya Tan Khoen Swie (1931). Ia menjelaskan bahwa saat diminta menemui para wali, Syaikh Siti Jenar mengaku sebagai Tuhan, bergelar Prabu Satmata; ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tidak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 sifat, antara lain ada, tidak bermula, tidak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara, yang terkumpul menjadi satu wujudmutlak yang disebut Dzat. Hal itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan. Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Rahimsah menambahi bahwa jiwa, selain merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widdhi di dalam jiwa. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat kekal atau langgeng sesudah manusia menemui mati yang melepaskannya dari belenggu badannya.
Arti Kehidupan Menurut Ajaran Syekh Siti Jenar
Syaikh Siti Jenar mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kehidupan dunia. Dia berpendapat bahwa hidup di dunia ini adalah siksa, sehingga tindakannya menunjukkan sebagai orang yang tidak tahan hidup. Di tempat-tempat berkumpulnya orang-orang, seperti pasar, para pengikut Syaikh Siti Jenar membuat ulah supaya terjadi perkelahian untuk segera menemui ajal. Bila berjalan dan berpapasan dengan orang lain, mereka tidak mau menyisih agar orang lain marah. Tidak jarang mmenggunakan senjata tajam agar cepat mati.Para pengikut Syeikh Siti Jenar, pria dan wanita, memiliki tabiat yang sama, yaitu angkuh, suka membuat kegaduhan, merampok dan berkelahi. Bila terjadi kejahatan, hampir selalu ada pengikut Syeikh Siti Jenar yang menjadi biangnya.
Sholihin, dengan mengutip Zoetmulder dalam buku Pantheisme en Monisme in de Javavsche mengatakan bahwa Syaikh Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat surga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Surga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan surga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Sumber: http://eprints.walisongo.ac.id/196/3/084111006_Bab2.pdf
Belum ada Komentar untuk "Ajaran Syekh Siti Jenar, Ketuhanan, Jiwa dan Kehidupan"
Posting Komentar