Racun Upas, dan Eksekusi Mati 13 Selir Raja Mataram
Jumat, 03 Agustus 2018
Tulis Komentar
Pada abad ke 18, khususnya di Jawa telah berkembang alat bunuh dengan berbagai bentuk, dari mulai keris, golok, pedang, tombak, bedhil, meriam sampai pada alat-alat bunuh khusus seperti Racun. Soal Racun ini rupanya dikenal salah satu jenis Racun mematikan yang biasa dipakai sebagai media bunuh oleh bebrapa Kerajaaan di Jawa. Racun itu dikenal dengan nama Racun Upas.
Racun Upas dikabarkan dalam beberapa Naskah Cirebon, selain itu penggunaan dan khabar mematikannya racun ini terekam oleh seorang penulis Inggris yang pada 1776 mengunjungi Kesultanan Mataram. Dalam kunjungannya itu, ia menyaksikan bahwa sebanyak 13 selir Raja Mataram yang dianggap berkhianat dieksekusi mati secara bersama-sama di alun-alun Keraton, mereka dieksekusi dengan cara disayat dengan sebilah keris yang dilumuri Racun Upas. Efek racun ini dikisahkan sangat mematikan, sebab hanya dalam tempo 16 menit yang terkena racun membengkak, mereka membiru, meraung-raung kesakitan kemudian tewas.
Istilah Upas, sendiri dalam legenda Cirebon disebut-sebut dalam peristiwa terbakarnya masjid agung Kesultanan Cirebon, Nyi Tegal Pengalang-Alang dikisahkan mampu memberantas kriminil pelaku dibalik pembakaran Masjid, pelaku dibuang kedalam Gua yang dipenuhi racun upas[1].
Menurut Stokcdale (1811: 312) dalam bukunya yang berjudul Island Of Java, menyatakan bahwa;
Selain disebutkan dalam buku Island Of Java, rupanya kepopuleran dan mematikannya Racun Upas juga tertulis dalam buku History Of Java dan Qonquest Of Java.
Masih menurut Stokcdale (1811: 312), bahwa pengambilan getah upas, sebagai bahan racun upas biasanya dilakukan oleh narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Setelah vonis dijatuhkan oleh hakim, mereka diajukan dua pilihan, (1) langsung dibunuh atau (2) mengambil getah upas dengan dua kemungkinan, mati atau selamat.
Bilamana narapidana itu menyetujui pengambilan getah, mereka dibekali kotak perak atau kotak yang terbuat dari kulit penyu sebagai tempat racun upas, kemudian mereka diberi petunjuk agar jangan melawan arah angin yang mungkin membawa racun getah upas. Mereka didandani dengan baju kulit yang menutupi seluruh badan, dengan lubang yang diberi kaca dibagian matanya dan mengenakan sarung tangan. Konon hanya 2 dari 20 orang saja yang berhasil dan dapat kembali dengan selamat.
Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa seorang penulis Inggris yang pada 1776 mengunjungi Kesultanan Mataram menyaksikan sendiri penggunaan racun upas dalam eksekusi mati pada 13 selir Raja Mataram.
Dikisahkan bahwa pada kira-kira jam 11.00, 13 selir itu digiring ke alun-alun keraton, mereka diputuskan oleh hakim untuk mati dengan keris yang telah dilumuri racun upas. Ketiga belasnya dibawa ke tiga belas tonggak yang tingginya lima kaki dimana mereka di ikat, mereka diikat dalam keadaan telanjang dada.
Oleh Algojo tengah-tengah dada mereka disayat, proses ini memakan waktu hanya dua menit, lima menit kemudian mereka mulai meraung kesakitan, dan 16 menit kemudian mereka sudah mati. Tubuh mereka penuh bercak-bercak, muka membengkak warna kulit menjadi biru lebam serta bola matanya berubah menjadi kuning.
Memahami efek dari racun upas sebagaimana yang dikisahkan dalam buku Island Of Java tentu sangat mengerikan, apalagi dikisahkan cara pengambilan racun itu juga penuh resiko, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, masih adakah pohon upas sekarang..?, apa betul kabar tersebut..? inilah yang perlu digali lebih mendalam. Mengingat orang Eropa juga kadang suka melebih-lebihkan cerita, boleh dikata suka tebar hoax.
Tapi yang jelas, pada tahun 1776 adalah tahun dimana Kesultanan Mataram telah terpecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta, Yogyakarta dipimpin oleh Hamengkubwono I yang bertahta pada 1755 - 1792, sementara Surakarta dipimpin oleh Pakubwono III yang bertahta pada 1749 – 1788. Tidak dijelaskan 13 Selir Raja Mataram mana yang dieksekusi.
Catatan Kaki.
[1] N. Wahyu, Aman. 2015. Sejarah Wali. Sunan Gunung Jati. Naskah Mertasinga. Hlm 234
Racun Upas dikabarkan dalam beberapa Naskah Cirebon, selain itu penggunaan dan khabar mematikannya racun ini terekam oleh seorang penulis Inggris yang pada 1776 mengunjungi Kesultanan Mataram. Dalam kunjungannya itu, ia menyaksikan bahwa sebanyak 13 selir Raja Mataram yang dianggap berkhianat dieksekusi mati secara bersama-sama di alun-alun Keraton, mereka dieksekusi dengan cara disayat dengan sebilah keris yang dilumuri Racun Upas. Efek racun ini dikisahkan sangat mematikan, sebab hanya dalam tempo 16 menit yang terkena racun membengkak, mereka membiru, meraung-raung kesakitan kemudian tewas.
Istilah Upas, sendiri dalam legenda Cirebon disebut-sebut dalam peristiwa terbakarnya masjid agung Kesultanan Cirebon, Nyi Tegal Pengalang-Alang dikisahkan mampu memberantas kriminil pelaku dibalik pembakaran Masjid, pelaku dibuang kedalam Gua yang dipenuhi racun upas[1].
Menurut Stokcdale (1811: 312) dalam bukunya yang berjudul Island Of Java, menyatakan bahwa;
“ Racun Upas itu berupa getah dari pohon upas yang baunya sangat mematikan. Konon dalam radius 10 sampai 12 mil dari pohon tersebut keadaannya sangat tandus, tidak ada pohon, semak-semak atau rerumputan yang dapat tumbuh dalam radius tersbut tidak akan ada binatang ditemukan, bahkan ikan di air, tikus atapun serangga sekalipun. Bilamana burung mendekat akan jatuh dan mati. Getah pohon ini juga diambil untuk dipergunakan sebagai racun melalui makanan, minuman atau memalui darah, yaitu dengan dioleskan di ujung senjata”.
Pohon upas, pohon beracun dari Jawa" (1845). Sumber: buku "The History of Allelopathy" karya Rick J. Willis. |
Masih menurut Stokcdale (1811: 312), bahwa pengambilan getah upas, sebagai bahan racun upas biasanya dilakukan oleh narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Setelah vonis dijatuhkan oleh hakim, mereka diajukan dua pilihan, (1) langsung dibunuh atau (2) mengambil getah upas dengan dua kemungkinan, mati atau selamat.
Bilamana narapidana itu menyetujui pengambilan getah, mereka dibekali kotak perak atau kotak yang terbuat dari kulit penyu sebagai tempat racun upas, kemudian mereka diberi petunjuk agar jangan melawan arah angin yang mungkin membawa racun getah upas. Mereka didandani dengan baju kulit yang menutupi seluruh badan, dengan lubang yang diberi kaca dibagian matanya dan mengenakan sarung tangan. Konon hanya 2 dari 20 orang saja yang berhasil dan dapat kembali dengan selamat.
Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa seorang penulis Inggris yang pada 1776 mengunjungi Kesultanan Mataram menyaksikan sendiri penggunaan racun upas dalam eksekusi mati pada 13 selir Raja Mataram.
Dikisahkan bahwa pada kira-kira jam 11.00, 13 selir itu digiring ke alun-alun keraton, mereka diputuskan oleh hakim untuk mati dengan keris yang telah dilumuri racun upas. Ketiga belasnya dibawa ke tiga belas tonggak yang tingginya lima kaki dimana mereka di ikat, mereka diikat dalam keadaan telanjang dada.
Oleh Algojo tengah-tengah dada mereka disayat, proses ini memakan waktu hanya dua menit, lima menit kemudian mereka mulai meraung kesakitan, dan 16 menit kemudian mereka sudah mati. Tubuh mereka penuh bercak-bercak, muka membengkak warna kulit menjadi biru lebam serta bola matanya berubah menjadi kuning.
Memahami efek dari racun upas sebagaimana yang dikisahkan dalam buku Island Of Java tentu sangat mengerikan, apalagi dikisahkan cara pengambilan racun itu juga penuh resiko, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, masih adakah pohon upas sekarang..?, apa betul kabar tersebut..? inilah yang perlu digali lebih mendalam. Mengingat orang Eropa juga kadang suka melebih-lebihkan cerita, boleh dikata suka tebar hoax.
Tapi yang jelas, pada tahun 1776 adalah tahun dimana Kesultanan Mataram telah terpecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta, Yogyakarta dipimpin oleh Hamengkubwono I yang bertahta pada 1755 - 1792, sementara Surakarta dipimpin oleh Pakubwono III yang bertahta pada 1749 – 1788. Tidak dijelaskan 13 Selir Raja Mataram mana yang dieksekusi.
Catatan Kaki.
[1] N. Wahyu, Aman. 2015. Sejarah Wali. Sunan Gunung Jati. Naskah Mertasinga. Hlm 234
Belum ada Komentar untuk "Racun Upas, dan Eksekusi Mati 13 Selir Raja Mataram"
Posting Komentar