Sejarah Kerajaan Cirebon, dari Berdiri hingga Terpecah
Sejarah Kerajaan Cirebon bermula ketika dinobatkannya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1479 Masehi. Sebelum tahun itu, Cirebon kedudukannya hanya sebagai daerah bawahan Kerajaan Pajajaran yang pemimpinnya digelari Sri Manggana, yang mana sebelum berdirinya kerajaan Cirebon, jabatan tersebut dijabat oleh Pangeran Walangsungsang anak tertua Sribaduga Maharaja (Prabu Siliwangi)
Syarif Hidayatullah memerintah Cirebon selama 89 tahun (1479-1568), meskipun demikian dari tahun 1495 Syarif Hidayatullah menyerahkan urusan pemerintahan pada keturunannya yang sebelumnya telah diangkat menjadi Raja Muda (Adipati Anom) dan beberapa orang yang ditunjuk sebagai pengganti Sultan.
Pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah, Kerajaan Cirebon berhasil mencapai puncak kejayaannya, pada masa itu pula, Sunan Gunung Jati banyak membangun infrastruktur yang berkaitan dengan kepentingan kerajaan, seperti memperluas Keraton yang sebelumnya telah ada sejak zaman Pangeran Walangsungsang dan juga membangun Masjid Keraton serta Benteng yang mengelilingi Kota Cirebon dilengkapi juga dengan gerbang penjagaannya.
Pada tahun, 1526-1527, Cirebon membantu Demak melakukan penaklukan atas Banten dan Sunda Kelapa, tujuannya adalah menggagalkan kerajasama antara Pajajaran dan Portugis yang hendak membangun Benteng di Sundakelapa.
Penaklukan Cirebon dan Demak pada Banten dan Sunda Kelapa dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang Kesultanan Demak asal Pasai yang juga merupakan menantu Syarif Hidayatullah.
Selepas invasi yang dilakukan Cirebon dan Demak atas Banten dan Suandakelapa, Cirebon terlibat peperangan dengan Pajajaran, namun peperangan tersebut hingga tahun 1530 berdampak pada perluasan kekuasaan Kerajaan Cirebon, daerah-daerah bawahan Pajajaran di wilayah timur kerajaan itu, seperti Galuh, Sindangkasih, Rajagaluh menjadi kekuasaan Kerajaan Cirebon.
Baca Juga: Akhir Perang Cirebon Pajajaran
Pada 12 Juni 1531, demi menghindari kekalahan yang lebih dalam, Pajajaran yang kala itu diprintah oleh Sanghyang Surawisesa mengajukan penghentian perang dengan Cirebon. Sanghyang Surawisesa mengirimkan surat pada Sunan Gunung Jati, ajakan damai tersebut kemudian diterima oleh Sunan Gunung Jati, mulai setelah itu tidak ada lagi perang diantara kedua kerajaan, sementara daerah-daerah wilayah kerajaan Pajajaran yang telah menjadi bagian Cirebon disepakti oleh kedua kerajaan menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Cirebon.
Pada tahun 1568, tepat diusia yang ke 120 tahun, Syarif Hidayatullah wafat, akan tetapi karena dua Adipati Anom (Raja Muda) yang sebelumnya telah dinobatkan menjadi Raja Muda telah wafat mendahului (Pangeran Pasarean, dan Pangeran Sedang Kemuning) maka Kerajaan Cirebon kala itu mengangkat Fatahillah menjadi pejabat Pengganti Sultan sambil menunggu putra mahkota baru yang kala itu dianggap belum dewasa.
Pada tahun 1569, Fatahillah wafat, sehingga dengan terpaksa Kerajaan Cirebon mengangkat seorang Raja yang sebetulnya usianya masih sangat muda, Raja Cirebon kedua pengganti Syarif Hidayatullah itu adalah Pangeran Agung, ketika dinobatkan menjadi Raja Cirebon beliau bergelar “Panembahan Ratu I”.
Panembahan Ratu1 memerintah Cirebon dari tahun 1568 hingga 1649, dimasa awal pemerintahannya, Panembahan Ratu mengalami cobaan yang berat, sebab beberapa bekas Adipati dan para kerabat keraton Cirebon melakukan pemberontakan, diantaranya adalah pemberontakan Kuningan yang dilancarkan oleh Adipati Suranggajaya (Arya Kuningan ) dan pemberontakan Panjunan yang dipimpin oleh Nyi Gedeng Dempul.
Selain menghadapi pemberontakan dari dalam, Cirebon di zaman panembahan Ratu juga menghadapi ketidak stabilan politik, sebabnya karena Kesultanan Demak sebagai sekutu Cirebon runtuh digantikan oleh Kesultanan Pajang, dan runtuhnya Pajang oleh Kesultanan Mataram, sehingga mau tidak mau Panembahan Ratu dalam memerintah Cirebon harus betul-betul memperkuat kerajaannya serta harus pandai berdiplomasi agar mampu mempertahankan Cirebon dari kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Pada tahun 1585, Cirebon kembali diguncang prahara, kali ini Cirebon berperang dengan Kerajaan Sumedang Larang, sebabnya karena Harisbaya, selir Panembahan Ratu yang sebelumnya merupakan kekasih Raja Sumedang, dibawa lari oleh Prabu Geusun Ulun Angkawijaya ke Sumedang.
Baca Juga: Ratu Harisbaya, Si Cantik Pemantik Konflik Cirebon Vs Sumedang
Dari tahun 1582 hingga tahun 1589 Cirebon dan Sumedang terlibat peperangan yang cukup menguras energi, peperangan baru berakhir ketika Sumedang meminta bantuan Kesultanan Mataram agar Cirebon menghentikan serangan pada Sumedang.
Atas desakan Mataram, Cirebon akhirnya menyepakati penghentian peperangan, namun sebagai ganti atas talak yang dijatuhkan Panembahan Ratu kepada selirnya, Sumedang harus menyerahkan sebagian kekuasaannya (Majalengka) kepada Cirebon. Syarat tersebut kemudian diterima Sumedang sehingga perangpun dihentikan.
Meskipun selama pemerintahannya diterpa berbagai pemberontakan dan gejolak politik yang tidak stabil, Panembahan Ratu I mampu mempertahankan Cirebon sebagai kerajaan kuat dan berdahulat di tanah Jawa.
Pada tahun 1649, Panembahan Ratu I wafat, namun karena anaknya yang sebelumnya telah ditunjuk sebagai Raja Muda telah wafat mendahuluinya (Pangeran Sedang Gayam), maka yang didaulat menjadi Raja selanjutnya adalah cucunya, yaitu Pangeran Putera.
Pangeran Putra menjabat sebagai Raja Cirebon dari tahun 1649-1662, ketika menjadi Raja, beliau bergelar “Panembahan Ratu II”. Raja ini merupakan raja terkahir Cirebon, karena setelah kewafatannya, kerajaan Cirebon dianggap telah runtuh karena telah terpecah menjadi beberapa kerajaan.
Pada masa pemerintahannya, Panembahan Ratu II tidak sanggup menghadapi gejolak yang sedang terjadi di Pulau Jawa, Cirebon kala itu terseret-seret dalam pusaran politik tiga kekuatan besar di Pulau Jawa yang saling bertikai, yaitu VOC Belanda, Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram.
Pada masa pemerintahannya (1649-1662), Panembahan Ratu II gagal menjadi negara Independen, Cirebon diperlakukan sebagaimana negeri jajahan oleh Amangkurat I.
Cirebon yang tak berdaya menghadapi Mataram terpaksa mengikuti ambisi Amangkurat I meskipun dijalankankan setengah hati, sementara disisi lain, para pejabat Keraton Cirebon yang yang menolak tunduk dibawah Mataram malah banyak menampung para pelarian Mataram dan berpihak pada Banten, sehingga atas prilaku Cirebon yang mendua itulah Amangkurat I berniat menghabisi riwayat Kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1662, Amangkurat I dengan bantuan seorang Belanda berhasil mendatangkan Panembahan Ratu II ke Mataram, Raja Cirebon ketiga itu didatangkan ke Mataram beserta kedua putranya. Di Mataram, Panembahan Ratu I wafat dengan misterius dan kemudian dimakamkan di Giri Laya Mataram, dan karena dimakamkan di tempat itu, Panembahan Ratu II nantinya dijuluki Panembahan Girilaya. Sementara kedua anaknya, yang juga merupakan Putra Mahkota di tahan di Mataram.
Wafatnya Panembahan Ratu II serta ditahannya Putra Mahkota Cirebon di Mataram menyebabkan terjadinya kekosongan pemerintahan di Kerajan Cirebon, sehingga dengan terpaksa Kerajaan Cirebon kala itu, diperintah oleh 7 orang Jaksa yang salah satu anggotanya adalah anak Panembahan Ratu II yang bukan putra mahkota (Pangeran Wanggsakerta).
Baca Juga: Pangeran Wangsakerta Cirebon
Perlakuan Amangkurat I pada Cirebon membuat para pejabat Keraton di Cirebon menjadi murka, sehingga mereka bekerja sama dengan Banten untuk memerangi Mataram.
Secara konsisten, Cirebon dan Banten membiayai beberapa pemberontakan yang terjadi di Mataram, salah satunya membiayai pemberontakan Trunojoyo.
Kelak Pemberontakan Trunojoyo yang dibiayai Banten dan Cirebon itu, berhasil menggulingkan Amangkurat I dari tahta bahkan meruntuhkan Kesultanan Mataram. Selain itu, Amangkurat I juga nantinya tewas dalam pelarian.
Atas jasa-jasa Cirebon dan Banten dalam membantu Pemberontakan Trunojoyo, Raden Trunojoyo membebaskan 2 putra Panembahan Ratu II dan memulangkannya ke Cirebon, kedua putra Panembahan Ratu II itu kelak oleh Kesultanan Banten sama-sama didaulat menjadi Sultan baru di Cirebon.
Pangeran Mertawijaya, anak tertua Panembahan Ratu II di daulat menjadi Sultan Sepuh dengan memperoleh setengah bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Cirebon, nama negaranya adalah Kesultanan Kasepuhan Cirebon, sementara adiknya Pangeran Kertawijaya di daulat menjadi Sultan Anom dengan memperoleh setengah bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Cirebon, adapun nama negaranya adalah Kesultanan Kanoman Cirebon.
Selain mengangkat dua anak Panembahan Ratu II menjadi Sultan, Banten juga mengangkat Pangeran Wangsakerta sebagai Penguasa Cirebon dengan Gelar Panembahan Kacirebonan, hanya saja ia tidak memperoleh wilayah kekuasaan melainkan hanya menjadi asisten kakaknya di Kasepuhan.
Terpecahnya Cirebon menjadi dua Kerajaan menandai sebagai akhir dari riwayat Kerajaan Cirebon, sebab pada masa ini Cirebon dibawah pengaruh dan perlindungan Kesultanan Banten. Namun, dikemudian hari setelah Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan oleh anaknya Sultan Haji atas bantuan VOC Belanda, Cirebon melepaskan diri dari Banten, sebelum akhirnya menjadi negara Vasalnya VOC Belanda pada 1681.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Kerajaan Cirebon, dari Berdiri hingga Terpecah"
Posting Komentar