Kegagalan Invasi Aceh ke Bengkulu
Minggu, 21 Juni 2020
Tulis Komentar
Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya melakukan berbagai invasi militer ke beberapa kerajaan di Sumatra dan Semenanjung Malaya, tujuannya adalah mengambil alih jalur pedagangan di selat Malaka yang menguntungkan. Namun, tidak semua invasi Aceh berhasil, Aceh menuai kegagalan ketika menyerbu Bengkulu. Bahkan invasi gagal itu menjadi cikal bakal munculnya kata “Bengkulu”.
Menurut legenda rakyat Bengkulu, kata Bengkulu berasal dari kata “Empang Ka Hulu/Pangkahulu” yang artinya “lemparkan ke hulu”, seiring waktu berjalan, kata tersebut kemudian berubah menjadi Bengkulu. Dinamakan Pangkahulu karena dilatar belakangi oleh kisah peperangan antara kerajaan Sungai Serut VS Aceh yang berlarut-larut.
Dahulu, diwilayah yang kini menjadi Kota dan Provinsi Bengkulu ada beberapa kerajaan yang pernah berdiri, salah satunya adalah “Kerajaan Sungai Serut”. Kerajaan ini menurnut legenda rakyat Bengkulu didirikan oleh Pangeran dari Kerajaan Majapahit yang bernama “ Ratu Agung”.
Ratu Agung memerintah Sungai serut cukup adil dan bijaksana sehingga membawa kemajuan bagi kerajaan tersebut, selain itu letak Kerajan Sungai Serut yang strategis karena memiliki pelabuhan dagang menjadikan Sungai Serut menjelma sebagai kerajaan makmur karena disinggahi kapal-kapal dagang dari berbagai kerajaan di Nusantara yang hendak jual beli Lada. Kelak kemakmuran Kerajaan Serut itu menarik kerajaan lain untuk berupaya menaklukannya, termasuk Aceh.
Upaya Aceh untuk menguasai jalur perekonomian di daerah Kerajaan Sungai Serut mulanya dijalankan dengan teknik kekeluargaan, Aceh mengirimkan lamaran kepada putri dari Ratu Agung untuk dinikahi, akan tetapi karena lamaran tersebut bertujuan untuk menguasai jalur ekonomi dan perdagangan di Sungai serut secara halus, maka Kerajaan Sungai Serut yang kala itu dirajai oleh Putra Ratu Agung yang bernama “ Anak Dalam” menolaknya. Penolakan lamaran inilah yang kemudian memaksa Aceh untuk melakukan Invasi dalam rangka menguasai jalur perdagangan dan ekonomi di wilayah itu.
Selama hidupnya, Ratu Agung memiliki 7 orang anak, yaitu 6 anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Anak-anak Raja Sungai Serut itu adalah sebagai berikut:
Raja Anak Dalam sudah mengetahui kosekunsi dari penolakan lamaran yang ia perbuat, ia tahu bahwa tidak lama lagi Aceh akan melakukan invasi pada kerajaannya, oleh karena itu iapun mempersiapkan tentara kerajaannya yang handal sekaligus juga menggunakan taktik jitu untuk menghambat laju armada laut Aceh ketika akan memasuki sungai-sungai dan pelabuhan yang ada di Kerajaan Sungai Serut.
Upaya Raja Anak Dalam untuk menghambat Armada laut Aceh adalah dengan cara memotong pohon dari segala jenis pohon yang besar-besar kemudian dilemparkan ke sungai yang memang waktu itu menjadi tempat datangnya Armada laut Aceh menuju pusat Kerajaan Sungai Serut.
Taktik yang diaminkan Raja Anak Dalam ini efektif, meskipun Armada tempur Aceh terbilang besar karena datang dengan puluhan bahkan ratusan kapal laut, mereka tidak dapat langsung menembus jantung Kerajaan, mereka terhalang oleh kayu-kayu balok di depan mereka, oleh karena itu sebelum benar-benar mendarat, Tentara Kerajaan Aceh terlebih dahulu bekerja bakti dengan cara “Menyingkirkan Balok-Balok Kayu yang jumlahnya banyak itu ke hulu/tanggul sungai.
Peristiwa dibuangnya balok kayu oleh tentara Aceh ke hulu/tanggul itu dalam ingkatan rakyat Kerajaan Sungai Serut disebut dengan “Empang Ka Hulu/Pangkahulu” yang maksudnya dilempar (kayunya) ke hulu (tanggul).
Disisi lain, ketika tentara Kerajaan Aceh disebukan dengan menyikirkan kayu-kayu yang menghalangi kapal-kalap mereka, tentara dari Kerajaan Sungai Serut melakukan serangan mematikan sehingga menyebabkan banyak tentara Aceh yang mati. Meskipun begitu, karena Armada Aceh jumlahnya banyak sebagaian diantara mereka berhasil membobol blockade, namun karena kecapean, tetap saja mereka keteteran menghadapi gempuran dari tentara Kerajaan Sungai Serut.
Perang dikisahkan berlarut-larut, hingga memakan waktu berhari-hari, kedua-duanya sama-sama kuat. Meskipun begitu untuk mengamankan keluarga kerajaan, para pembesar kerajaan Sungai Serut mengungsikan keluarga kerajaan termasuk Raja dan Putri Gading Cempaka ke Gunung Bungkuk, tempat yang kala itu dianggap sebagai tempat yang aman apabila tentara Aceh berhasil menaklukan Kerajaan Sungai Serut.
Perang yang berlarut-larut serta banyaknya tentara yang mati, menyebabkan mental pasukan Aceh jatuh, mereka kemudian mundur dan kembali berlayar menuju negerinya tanpa memperoleh kemenangan. Mundurnya Armada tempur Aceh menandai kegagalan upaya invasi yang mereka lakukan. Dikemudian hari, Kerajaan Sungi Serut, diubah namanya menjadi “Pangkahulu/Bengkulu”, sebagai pengingat bagi rakyatnya bahwa nenek moyangnya dahulu pernah mengusir kerajaan tetangga yang mencoba menginvasi kerajaan mereka.
Penulis : Bung Fei
Baca Juga : Serangan China dan Terbentuknya Kesultanan Aceh Darussalam
Menurut legenda rakyat Bengkulu, kata Bengkulu berasal dari kata “Empang Ka Hulu/Pangkahulu” yang artinya “lemparkan ke hulu”, seiring waktu berjalan, kata tersebut kemudian berubah menjadi Bengkulu. Dinamakan Pangkahulu karena dilatar belakangi oleh kisah peperangan antara kerajaan Sungai Serut VS Aceh yang berlarut-larut.
Dahulu, diwilayah yang kini menjadi Kota dan Provinsi Bengkulu ada beberapa kerajaan yang pernah berdiri, salah satunya adalah “Kerajaan Sungai Serut”. Kerajaan ini menurnut legenda rakyat Bengkulu didirikan oleh Pangeran dari Kerajaan Majapahit yang bernama “ Ratu Agung”.
Ratu Agung memerintah Sungai serut cukup adil dan bijaksana sehingga membawa kemajuan bagi kerajaan tersebut, selain itu letak Kerajan Sungai Serut yang strategis karena memiliki pelabuhan dagang menjadikan Sungai Serut menjelma sebagai kerajaan makmur karena disinggahi kapal-kapal dagang dari berbagai kerajaan di Nusantara yang hendak jual beli Lada. Kelak kemakmuran Kerajaan Serut itu menarik kerajaan lain untuk berupaya menaklukannya, termasuk Aceh.
Upaya Aceh untuk menguasai jalur perekonomian di daerah Kerajaan Sungai Serut mulanya dijalankan dengan teknik kekeluargaan, Aceh mengirimkan lamaran kepada putri dari Ratu Agung untuk dinikahi, akan tetapi karena lamaran tersebut bertujuan untuk menguasai jalur ekonomi dan perdagangan di Sungai serut secara halus, maka Kerajaan Sungai Serut yang kala itu dirajai oleh Putra Ratu Agung yang bernama “ Anak Dalam” menolaknya. Penolakan lamaran inilah yang kemudian memaksa Aceh untuk melakukan Invasi dalam rangka menguasai jalur perdagangan dan ekonomi di wilayah itu.
Selama hidupnya, Ratu Agung memiliki 7 orang anak, yaitu 6 anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Anak-anak Raja Sungai Serut itu adalah sebagai berikut:
- Kelamba Api atau Raden Cili
- Manuk Mincur
- Lemang Batu
- Tajuk Rompong
- Rindang Papan
- Anak Dalam, dan
- Putri Gading Cempaka.
Raja Anak Dalam sudah mengetahui kosekunsi dari penolakan lamaran yang ia perbuat, ia tahu bahwa tidak lama lagi Aceh akan melakukan invasi pada kerajaannya, oleh karena itu iapun mempersiapkan tentara kerajaannya yang handal sekaligus juga menggunakan taktik jitu untuk menghambat laju armada laut Aceh ketika akan memasuki sungai-sungai dan pelabuhan yang ada di Kerajaan Sungai Serut.
Upaya Raja Anak Dalam untuk menghambat Armada laut Aceh adalah dengan cara memotong pohon dari segala jenis pohon yang besar-besar kemudian dilemparkan ke sungai yang memang waktu itu menjadi tempat datangnya Armada laut Aceh menuju pusat Kerajaan Sungai Serut.
Taktik yang diaminkan Raja Anak Dalam ini efektif, meskipun Armada tempur Aceh terbilang besar karena datang dengan puluhan bahkan ratusan kapal laut, mereka tidak dapat langsung menembus jantung Kerajaan, mereka terhalang oleh kayu-kayu balok di depan mereka, oleh karena itu sebelum benar-benar mendarat, Tentara Kerajaan Aceh terlebih dahulu bekerja bakti dengan cara “Menyingkirkan Balok-Balok Kayu yang jumlahnya banyak itu ke hulu/tanggul sungai.
Peristiwa dibuangnya balok kayu oleh tentara Aceh ke hulu/tanggul itu dalam ingkatan rakyat Kerajaan Sungai Serut disebut dengan “Empang Ka Hulu/Pangkahulu” yang maksudnya dilempar (kayunya) ke hulu (tanggul).
Disisi lain, ketika tentara Kerajaan Aceh disebukan dengan menyikirkan kayu-kayu yang menghalangi kapal-kalap mereka, tentara dari Kerajaan Sungai Serut melakukan serangan mematikan sehingga menyebabkan banyak tentara Aceh yang mati. Meskipun begitu, karena Armada Aceh jumlahnya banyak sebagaian diantara mereka berhasil membobol blockade, namun karena kecapean, tetap saja mereka keteteran menghadapi gempuran dari tentara Kerajaan Sungai Serut.
Perang dikisahkan berlarut-larut, hingga memakan waktu berhari-hari, kedua-duanya sama-sama kuat. Meskipun begitu untuk mengamankan keluarga kerajaan, para pembesar kerajaan Sungai Serut mengungsikan keluarga kerajaan termasuk Raja dan Putri Gading Cempaka ke Gunung Bungkuk, tempat yang kala itu dianggap sebagai tempat yang aman apabila tentara Aceh berhasil menaklukan Kerajaan Sungai Serut.
Perang yang berlarut-larut serta banyaknya tentara yang mati, menyebabkan mental pasukan Aceh jatuh, mereka kemudian mundur dan kembali berlayar menuju negerinya tanpa memperoleh kemenangan. Mundurnya Armada tempur Aceh menandai kegagalan upaya invasi yang mereka lakukan. Dikemudian hari, Kerajaan Sungi Serut, diubah namanya menjadi “Pangkahulu/Bengkulu”, sebagai pengingat bagi rakyatnya bahwa nenek moyangnya dahulu pernah mengusir kerajaan tetangga yang mencoba menginvasi kerajaan mereka.
Penulis : Bung Fei
Baca Juga : Serangan China dan Terbentuknya Kesultanan Aceh Darussalam
Belum ada Komentar untuk "Kegagalan Invasi Aceh ke Bengkulu"
Posting Komentar