Hancurnya Keraton Kesultanan Banten
Senin, 06 April 2020
1 Komentar
Keraton Banten kini hanya meninggalkan puing, sisa-sisa kemegahannya dapat dilihat dari pondasinya yang masih dapat dinikmati hingga kini, letaknya tidak jauh dari Masjid Agung Kesultanan yang tak kalah megahnya.
Hancurnya Keraton Banten sebabnya karena di gempur Belanda, kala itu Banten sedang diprintah oleh Sultan Abul-Nasr Muhammad Ishak Zainul Muttaqin .
Kisah hancurnya Keraton Kesultanan Banten dapat dimulai dari menjabatnya Gubernur Hindia Belanda yang baru, namanya Herman Willem Daendels (1801-1811).
Kisah hancurnya Keraton Kesultanan Banten dapat dimulai dari menjabatnya Gubernur Hindia Belanda yang baru, namanya Herman Willem Daendels (1801-1811).
Deandles merupakan Gubernur Hindia Belanda (Indonesia) pilihan Prancis, karena pada waktu itu Belanda sedang dijajah Prancis, sehingga wilayah jajahan Belanda di luar Negeri termasuk pulau Jawa menjadi kekuasaan Prancis.
Sejak lengsernya Sultan Ageng Tirtayasa (1683), Banten memang sudah menjadi bawahan Belanda, meskipun begitu sebelum kedatangan Dendles, Belanda tetap memberikan kuasa kepada Sultan Banten untuk mengatur wilayahnya, hanya saja dalam tiap tahunnya Banten dibebankan pajak tahunan kepada Belanda sebagai tanda takluk atau juga dapat dimaknai sebagai ongkos perlindungan.
Menjabatnya Dendles sebagai Gubernur Hindia Belanda yang baru membuat suasana perpolitikan di Hindia Belanda berubah. Pada saat berkuasa, Daendels menjalankan pemerintahan secara langsung (direct rule) tanpa perantara elite politik pribumi (Sultan dan Bupati), caranya dengan melakukan birokratisasi.
Sejak lengsernya Sultan Ageng Tirtayasa (1683), Banten memang sudah menjadi bawahan Belanda, meskipun begitu sebelum kedatangan Dendles, Belanda tetap memberikan kuasa kepada Sultan Banten untuk mengatur wilayahnya, hanya saja dalam tiap tahunnya Banten dibebankan pajak tahunan kepada Belanda sebagai tanda takluk atau juga dapat dimaknai sebagai ongkos perlindungan.
Menjabatnya Dendles sebagai Gubernur Hindia Belanda yang baru membuat suasana perpolitikan di Hindia Belanda berubah. Pada saat berkuasa, Daendels menjalankan pemerintahan secara langsung (direct rule) tanpa perantara elite politik pribumi (Sultan dan Bupati), caranya dengan melakukan birokratisasi.
Daendels juga menjalankan sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis yaitu semua urusan pemerintahan baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah diatur dari pusat dengan instruksi dari Gubernur Jenderal.
Saat terjadi perubahan politik dan diikuti oleh perubahan sistem pemerintahan, Banten adalah salah Satu Kesultanan yang secara terang-terangan menolak gagasan Dendles. Hal inilah yang dikemudian hari menjadi pemantik perang antara pemerintah kolonial Hindia Belanda dibawah pemerintahan Dendles dengan Banten yang kala itu dirajai oleh Sultan ke 18 nya.
Puncak ketegangan antara Sultan Banten dan Daendels terjadi ketika Daendels bermaksud membangun pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon untuk mempertahankan kekuasaannya di Pulau Jawa dalam menghadapi gempuran Inggris, maka demi tercapainya tujuan tersebut, Daendels memerintahkan Sultan Banten mengirimkan pekerja paksa sebanyak-banyaknya.
Mulanya meski dengan setengah hati, Sultan menuruti kehendak Deandles, namun akibat biadabnya sistem kerja paksa, banyak rakyat Banten yang dipekerjakan melarikan diri, mereka mengadukan kepada Mangkubumi Wargadireja (Perdana Mentri Banten) tentang kejamnya perlakuan Belanda terhadap para pekerja paksa, mereka dipekerjakan layaknya binatang. Dari itulah Mangkubhumi yang merasa tak tega pada penderitaan rakyat diam-diam menginstruksikan para pekerja paksa dari Banten untuk membangkang.
Keterlibatan Mangkubumi Wargadireja dalam peristiwa pembangkangan para pekerja paksa bocor ke telinga Dendles, ia pun kemudian melalui utusan Sultan Banten yang diminta datang ke Batavia, memberi ultimatum kepada Sultan Banten, supaya:
Saat terjadi perubahan politik dan diikuti oleh perubahan sistem pemerintahan, Banten adalah salah Satu Kesultanan yang secara terang-terangan menolak gagasan Dendles. Hal inilah yang dikemudian hari menjadi pemantik perang antara pemerintah kolonial Hindia Belanda dibawah pemerintahan Dendles dengan Banten yang kala itu dirajai oleh Sultan ke 18 nya.
Puncak ketegangan antara Sultan Banten dan Daendels terjadi ketika Daendels bermaksud membangun pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon untuk mempertahankan kekuasaannya di Pulau Jawa dalam menghadapi gempuran Inggris, maka demi tercapainya tujuan tersebut, Daendels memerintahkan Sultan Banten mengirimkan pekerja paksa sebanyak-banyaknya.
Mulanya meski dengan setengah hati, Sultan menuruti kehendak Deandles, namun akibat biadabnya sistem kerja paksa, banyak rakyat Banten yang dipekerjakan melarikan diri, mereka mengadukan kepada Mangkubumi Wargadireja (Perdana Mentri Banten) tentang kejamnya perlakuan Belanda terhadap para pekerja paksa, mereka dipekerjakan layaknya binatang. Dari itulah Mangkubhumi yang merasa tak tega pada penderitaan rakyat diam-diam menginstruksikan para pekerja paksa dari Banten untuk membangkang.
Keterlibatan Mangkubumi Wargadireja dalam peristiwa pembangkangan para pekerja paksa bocor ke telinga Dendles, ia pun kemudian melalui utusan Sultan Banten yang diminta datang ke Batavia, memberi ultimatum kepada Sultan Banten, supaya:
- Mengirim 1.000 orang rakyat setiap hari guna dipekerjakan di Ujung Kulon.
- Menyerahkan Mangkubumi Wargadireja ke Batavia untuk dihukum.
- Segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun Benteng Belanda.
Karena dianggap membangkang, maka pada tanggal 21 November 1808, Daendels memimpin langsung pasukan sampai keperbatasan kota Banten.Tujuannya apalagi kalau bukan menyerang Banten. Namun sebelum benar-benar terjadi pertempuran diantara kedua belah pihak, Daendels terlebih dahulu mengirim seorang utusan ke keraton Surosowan yaitu Philip Pieter Du Puy untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan Banten atas permintaan Daendels tersebut. Sultan Banten konsekuen dengan sikapnya dan karena kemarahannya Sultan menyuruh membunuh Philip Pieter Du Puy di depan pintu gerbang keraton Surosowan.
Terbunuhnya Philip Pieter Du Puy menandai dimulainya perang antara Belanda melawan Banten, perang berkecamuk dengan hebat, namun karena kalah dalam perlengkapan senjata, Keraton Surosowan jatuh ke tangan Belanda.
Sultan Banten yang sebelumnya sempat melarikan diri dapat ditangkap oleh Belanda, kemudian ditahan di Batavia, sementara itu, Mangkubumi yang juga dapat ditangkap nasibnya mengenaskan, sebab ia dihukum pancung, mayatnyapun dibuang ke laut.
Mulanya, meskipun Keraton Surosowan dapat direbut Dendles, Keraton tersebut masih berdiri tegak, hanya saja Dendles yang dirasuki kesombongan memerintahkan prajuritnya untuk merobohkan Keraton, ia memerintahkan meratakannya dengan tanah.
Puing Reruntuhan Keraton Kesultanan Banten |
Om voor altoos een excempel van straffe te stellen over de gepleegde moord aan’s lands eerst ambtenaar en mindere dienaren, zal het fort de Diamant het welk door den militaire magt is geforceerd en ingenomen, worden afgebroken en gedemoliceert.Terjamah: “Untuk bisa berfungsi sebagai contoh atas pembunuhan yang dilakukan terhadap pejabat tinggi negara dan para pegawai rendahan, tempat tinggal sultan yang didobrak dan diduduki oleh pasukan militer, akan dirobohkan dan diratakan dengan tanah.”
Selepas turunnya instruksi itu, Keraton Surosowan, Keraton yang dizamannya sebagai bangunan megah yang kaya akan seni dan budaya sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Banten musnah. Kini hanya menyisakan pondasi yang rindu akan tembok, tiang dan genteng yang menghilang karena dipaksa.
Daftar Bacaan
[1] Euis Thresnawati, 2006. Sejarah Kabupaten / Kota Jawa Barat dan Banten Garut-Subang-Bekasi-Tasikmalaya-Tangerang. Bandung: Depertemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
[2] Halwani Michrob dan Mudjahid Chudari, 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Saudara
[3] Nina H. Lubis, 2004. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
harusnya pemerintah indonesia meminta ganti pada belanda untuh di bangun ulang keraton surosowan ..karena keraton itu merupakan ikon dan simbol sejarah negara...
BalasHapus