Zainul Arifin Tameng Soekarno Dari Kebiadaban DII-TII
Kamis, 03 Oktober 2019
Tulis Komentar
Pada 14 Mei 1962 Ketika akan melaksanakan Shalat Idul Adha bersama Soekarno, tiba-tiba pemberontak dari DII-TII membrondong Presiden Soekarno dengan senjata api dari arah belakang barisan Shalat, akan tetapi Zainul Arifin yang berdiri disamping Soekarno seperti menjadi tameng. Zainul Arifin Ambruk bersimbah darah. Sementara Soekarno selamat dari maut. Zainul Arifin mantan Panglima Laskar Hizbullah sekaligus sebagai anggota GP Ansor NU itupun akhirnya wafat dalam umur yang ke 53 Tahun.
Zainul Arifin atau yang dimasa sepuhya dikenal dengan nama Kiai Haji Zainul Arifin adalah laki-laki pemberani kelahiran Sumatra, beliau lahir pada 2 September 1909 di Barus Tapanuli Tengah Sumatra Utara.
Secara nasab, Zainul Arifin jelas bukan orang sembarangan, beliau merupakan anak dari Raja Barus, yaitu Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan, adapun ibunya merupakan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing Natal, yang bernama Siti Baiyah Nasution.
Semenjak kecil Zainul Arifin sudah menjadi pengelana, karena Ketika Zainul masih balita, kedua orang tuanya bercerai, Zainul pun dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci, Jambi. Disana ia menyelesaikan Hollands Indische School (HIS) dan sekolah menengah calon guru di Normal School. Selanjutnya pada usia 16 tahun, Zainul merantau ke Batavia (Jakarta).
Selain menjadi seorang Guru muda, Zainul juga aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang dikenal dengan sebutan Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok Samrah bernama Tonil Zainul. Dari kegiatan kesenian itu, ia berkenalan dengan tokoh perfilman nasional yang bernama Djamaluddin Malik yang juga seorang pegiat di Samrah. Keduanya kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor yang ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda.
Pada saat menjadi anggota GP Ansor NU itulah Zainul muda yang sebelumnya lebih banyak memahami ilmu-ilmu barat menjadi seorang agamis yang mencintai agamanya, kehidupannyapun berubah, menjadi lebih religius ketimbang sebelumnya.
Selama menjadi anggota GP Ansor, Zainul dikenal piawai dalam berpidato, berdebat dan berdakwah sehingga akhirnya menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, sehingga hanya dalam beberapa tahun saja, Zainul sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.
Zainul ditugaskan untuk membentuk model kepengurusan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat.
Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor.
Dalam perjuangannya melawan Belanda Zainul tercatat aktif memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama terjadinya Agresi Militer I dan II yang dilancarkan Belanda.
Strategi Zainul dalam memimpin Laskar Hizbullah adalah dengan menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi.
Zainul lantas terlibat sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman.
Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia, Zainul sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun, ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah, Zainul Arifin justru memilih mengundurkan diri dari TNI, mungkin hal tersebut dilakukannya sebagai bentuk tanggung jawab seorang Panglima untuk meredam kekecewaan anggotanya.
Zainul Arifin atau yang dimasa sepuhya dikenal dengan nama Kiai Haji Zainul Arifin adalah laki-laki pemberani kelahiran Sumatra, beliau lahir pada 2 September 1909 di Barus Tapanuli Tengah Sumatra Utara.
Secara nasab, Zainul Arifin jelas bukan orang sembarangan, beliau merupakan anak dari Raja Barus, yaitu Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan, adapun ibunya merupakan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing Natal, yang bernama Siti Baiyah Nasution.
Semenjak kecil Zainul Arifin sudah menjadi pengelana, karena Ketika Zainul masih balita, kedua orang tuanya bercerai, Zainul pun dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci, Jambi. Disana ia menyelesaikan Hollands Indische School (HIS) dan sekolah menengah calon guru di Normal School. Selanjutnya pada usia 16 tahun, Zainul merantau ke Batavia (Jakarta).
Masuk Gerakan Pemuda (GP) Anshor NU
Sebagai seorang berpendidikan dan juga berdarah bangsawan, pemuda Zainul tidak begitu kesulitan hidup di Jakarta, berbekal izajah pendidikan yang ia punyai, Zainul diterima bekerja sebagai pegawai Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan, Jakarta Pusat. Akan tetapi Zainul hanya bertahan 3 tahun saja, selanjutnya ia memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan pula balai pendidikan untuk orang dewasa, yang diberi nama Perguruan Rakyat, letaknya di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara).Selain menjadi seorang Guru muda, Zainul juga aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang dikenal dengan sebutan Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok Samrah bernama Tonil Zainul. Dari kegiatan kesenian itu, ia berkenalan dengan tokoh perfilman nasional yang bernama Djamaluddin Malik yang juga seorang pegiat di Samrah. Keduanya kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor yang ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda.
Pada saat menjadi anggota GP Ansor NU itulah Zainul muda yang sebelumnya lebih banyak memahami ilmu-ilmu barat menjadi seorang agamis yang mencintai agamanya, kehidupannyapun berubah, menjadi lebih religius ketimbang sebelumnya.
Selama menjadi anggota GP Ansor, Zainul dikenal piawai dalam berpidato, berdebat dan berdakwah sehingga akhirnya menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, sehingga hanya dalam beberapa tahun saja, Zainul sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.
Zainul Arifin Menjadi Panglima Laskar Hizbullah
Selama era pendudukan militer Jepang, Zainul ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah. Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam terutamanya NU diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah pendudukan militer Jepang.Laskar Hizbullah Mengusung Bendera Merah Putih dan Bulan Bintang Hijau |
Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor.
Zainul Arifin Berperang Melawan Belanda
Setelah hengkangnya Jepang dari Indonesia, Belanda kembali menjajah Indonesia, mereka kemudian melakukan agresi militer I dan II, dan pada kondisi seperti itu, Zainul tetap memangku jabatan sebagai Panglima Laskar Hizbullah.Dalam perjuangannya melawan Belanda Zainul tercatat aktif memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama terjadinya Agresi Militer I dan II yang dilancarkan Belanda.
Strategi Zainul dalam memimpin Laskar Hizbullah adalah dengan menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi.
Zainul lantas terlibat sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman.
Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia, Zainul sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun, ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah, Zainul Arifin justru memilih mengundurkan diri dari TNI, mungkin hal tersebut dilakukannya sebagai bentuk tanggung jawab seorang Panglima untuk meredam kekecewaan anggotanya.
Zainul Arifin Terjun ke Dunia Politik
Selepas Hizbullah dibubarkan dan dilebur kedalam TNI, Zainul Arifin tetap berjuang untuk bangsanya, ketika kedaulatan RI diakui Belanda pada akhir tahun 1949, Zainul Arifin berjuang di Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai NU ketika NU memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952.
Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil perdana menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).
Kabinet Ali Sastroamijoyo I nantinya dikenal sukses dalam menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi.
Para pemberontak yang masih eksis pada Tahun 1962 salah satunya adalah kelompok yang menamakan diri Darul Islam Indonesia (Negara Islam Indonesia), kelompok pimpinan Kartosuwiryo itu dikenal tangguh dan memiliki tentara yang dikenal dengan sebutan Tentara Islam Indonesia (TII).
Salah satu misi utama dari DII-TII diantaranya adalah menghabisi Soekarno, rencana pembunuhan akhirnya ditetapkan ketika Soekarno melaksanakan Sholat Idul Adha. Akan tetapi rencana pembunuhan tersebut rupanya gagal karena pada Shalat Idul Adha tanggal 14 Mei 1962, Zainul seperti menjadi tameng Sukarno, Zainul tertembak peluru yang sebetulnya diarahkan pemberontak untuk membunuh presiden.
Kelak, selepas tertembaknya Zainul Arifin, Soekarno melakukan penumpasan DII-TII secara besar-besaran di Jawa, sehingga kemudian pada 4 Juni 1962 pimpinan DII-TII Kartosuwiryo tertangkap di wilayah Gunung Rakutak Jawa Barat.
Selepas ditembak oleh pemberontak DII-TII, sebenarnya Zainul masih selamat, beliau dilarikan ke rumah sakit, akan tetap karena luka tembak yang di deritanya tergolong parah, beliaupun akhirnya wafat selepas 10 bulan dalam perawatan. Zainul Arifin wafat pada tanggal 2 Maret 1963.
Kabinet Ali Sastroamijoyo I nantinya dikenal sukses dalam menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi.
Akhir Hayat Zainul Arifin
Zainul Arifin hidup dalam kondisi negara penuh pergolakan, ia menyaksikan bagaimana Jepang menghancurkan Belanda, ia juga menyaksikan Jepang tersingkir dari Indonesia, menyaksikan pula bagaimana Belanda mencoba melakukan agresi selepas proklamasi kemerdekaan 1945 dan ia juga sebagai saksi dan orang yang terlibat dalam pemerintahan era Presiden Soekarno yang kala itu penuh dengan pergoakan pula, baik pergolakan dalam politik maupun pergolakan yang digelorakan para pemberontak.Para pemberontak yang masih eksis pada Tahun 1962 salah satunya adalah kelompok yang menamakan diri Darul Islam Indonesia (Negara Islam Indonesia), kelompok pimpinan Kartosuwiryo itu dikenal tangguh dan memiliki tentara yang dikenal dengan sebutan Tentara Islam Indonesia (TII).
Salah satu misi utama dari DII-TII diantaranya adalah menghabisi Soekarno, rencana pembunuhan akhirnya ditetapkan ketika Soekarno melaksanakan Sholat Idul Adha. Akan tetapi rencana pembunuhan tersebut rupanya gagal karena pada Shalat Idul Adha tanggal 14 Mei 1962, Zainul seperti menjadi tameng Sukarno, Zainul tertembak peluru yang sebetulnya diarahkan pemberontak untuk membunuh presiden.
Kelak, selepas tertembaknya Zainul Arifin, Soekarno melakukan penumpasan DII-TII secara besar-besaran di Jawa, sehingga kemudian pada 4 Juni 1962 pimpinan DII-TII Kartosuwiryo tertangkap di wilayah Gunung Rakutak Jawa Barat.
Selepas ditembak oleh pemberontak DII-TII, sebenarnya Zainul masih selamat, beliau dilarikan ke rumah sakit, akan tetap karena luka tembak yang di deritanya tergolong parah, beliaupun akhirnya wafat selepas 10 bulan dalam perawatan. Zainul Arifin wafat pada tanggal 2 Maret 1963.
Belum ada Komentar untuk "Zainul Arifin Tameng Soekarno Dari Kebiadaban DII-TII"
Posting Komentar