Pemberontakan Bagus Rangin Di Cirebon
Selasa, 04 Desember 2018
Tulis Komentar
Pemberontakan Bagus Rangin adalah pemberontakan yang terjadi di Cirebon terhadap pemerintah Kolonial Belanda dibawah Pimpinan seorang Ulama yang bernama Bagus Rangin atau Gus Rangin. Pemberontakan ini terbilang sengit dan menguras keuangan Belanda, pemberontakan ini juga dikenal pemberontakan Pertama Terbesar di Jawa sebelum terjadinya Pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah.
Sebagai seorang pemimpin, Bagus Rangin banyak melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Berpindah-pindah tempat untuk mengumpulkan pengikut.
Tempat pertemuan dengan para pengikutnya yaitu di Gunung Aji, daerah Sumedang dan Ciasem (Kabuyutan Kawocan) merupakan sebuah tempat rahasia, dan sengaja tidak memilih tempat tinggal sebagai tempat pertemuannya, karena untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Belanda.
Pemberontakan yang dilakukannya tidak seorang diri, tetapi dibantu oleh adiknya yaitu Bagus Serit sebagai orang kepercayaannya. Bagus Serit banyak berjasa kepada Bagus Rangin, karena telah membantunya pada saat melakukan penyerbuan ke rumah-rumah bangsawan di Palimanan.
Pemberontakan ini tidak hanya terbatas di daerah Cirebon saja, tetapi juga meluas ke daerah-daerah lain, baik di karisidenan Cirebon maupun di luar karisidenan Cirebon. Pengikut Bagus Rangin tersebar dibeberapa daerah diantaranya dari Kuningan, Cirebon, Majalengka, Indramayu, Sumedang, Karawang dan Subang.
Bagus Rangin memulai karirnya sebagai pimpinan pemberontak karena residen Belanda merampas tanah, warisan nenek-moyangnya. Tanah tersebut dipergunakan oleh residen sendiri. Kejadian ini merupakan motivasi baginya untuk membenci semua orang Eropa dan orang asing.
Kharisma yang dimilki memudahkan membangkitkan loyalitas pengikutnya untuk menggerakkan mereka dengan tujuan melawan penjajah. Sebagai bentuk loyalitas, rasa hormat, setia dan tunduk, para pengikutnya membawakan persediaan beras dan logistic lainnya. Mereka juga melindungi Bagus Rangin dari Pemerintah Kolonial Belanda yang selalu berusaha mencari dan menangkapnya.
Pusat gerakan Bagus Rangin berlokasi di daerah Jatitujuh, termasuk Kabupaten Majalengka, Karisidenan Cirebon. Gerakan perlawanan rakyat Cirebon secara spontan diawali dengan penentangan terhadap pemerintah kolonial Belanda beserta kaki tangannya. Sasaran pertama gerakan ini ialah residen dan orang-orang Cina, karena dianggap secara langsung meras rakyat.
Akibatnya banyak orang Cina yang dibunuh dan diusir dari Cirebon. Kekacauan di Cirebon ini menyebar ke daerah Sumedang, karena terlalu kejamnya sikap dan tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat dan juga pejabat pribumi.
Pihak Belanda menduga bahwa pecahnya kerusuhan digerakkan oleh Pangeran Surianegara dari Kesultanan Kanoman Cirebon. S.H Rose selaku residen Cirebon menyarankan kepada pemerintah Belanda di Batavia, bahwa untuk menumpas gerakan itu pemerintah harus mengundang Raja Kanoman beserta dua orang saudaranya ke Batavia dengan alasan untuk berunding.
Pemerintah kolonial Belanda menerima saran itu dan kemudian disampaikan undangan kaepada Raja Kanoman. Setibanya di Batavia bukanlah perundingan yang dilakukan, melainkan penangkapan terhadap ketiga orang pemimpin gerakan rakyat itu.
Pada saat itu juga S.H Rose mengajukan resolusi kepada pemerintah di Batavia, memohon supaya dikeluarkan perintah oleh Belanda kepada Para Bupati, agar tidak memberi jalan kepada rombongan tersebut.
Bupati Karawang R.A Surialaga diperintahkan, apabila sudah tiba di Karawang dicegat dan disuruh kembali ke Cirebon. Berdasarkan Resolusi 15 Maret 1805, untuk memulangkan rombongan rakyat Cirebon, Belanda mengirimkan kapal ke Clincing. Rombongan tersebut berhasil dipulangkan ke Cirebon tanggal 17 Mei 1805.
Dengan tindakan kompeni itu, akhirnya Kasultanan Cirebon hanya dikuasai oleh Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Dalam mengendalikan pemerintahannya kedua Sultan tersebut selalu tergantung kepada kompeni.
Pada tahun 1798 Sultan Kanoman wafat. Rakyat berharap agar Raja Konoman sebagai gantinya. Harapan rakyat itu ditolak oleh Belanda, bahkan pihak Belanda sengaja mengangkat Pangeran Surantaka yang tidak disenangi oleh rakyat.
Pangeran Surianegara yang dicintai oleh rakyat Cirebon diusir oleh Belanda dari keraton bersama dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Kabupaten dan Pangeran Lutan.
Pengusiran Raja Kanoman mengundang protes para bangsawan dan pemuka agama di Cirebon. Mereka meminta kepada pemerintah Belanda agar meninjau kembali keputusan tersebut. Pihak Kasultanan Kasepuhan juga turut mempersoalkan pangeran yang dicabut haknya itu. Pada akhirnya masyarakat pun mengidentifikasikan diri dengan persoalan pangeran yang haknya di cabut.
Rakyat pedesaan Cirebon pada saat itu sedang dilanda keresahan, karena tenaganya habis dieksploitasi oleh orang-orang Cina yang menyewa desa mereka. Pajak yang ditarik oleh orang Cina terlalu besar dan banyak macamnya.
Pemerintah kolonial Belanda pun sulit untuk memadamkannya. Kondisi sosial ekonomi rakyat yang semakin susah, justru menambah semangat perjuangan rakyat Cirebon untuk menentang pemerintah kolonial Belanda dan orang-orang yang dianggap memerasnya.
Rakyat Palimanan daerah antara Jatitujuh dan Majalengka, mulai bangkit pula dengan melakukan perlawanan terhadap penguasa daerahnya. Sama daerah lain di Cirebon, desa-desa di Palimanan disewakan bupati kepada orang-orang Cina, petani dihisap tenaganya dan dikenakan pajak yang sangat tinggi.
Atas tindakan orang-orang Cina itu, rakyat Palimanan mengajukan suatu permohonan kepada bupati supaya pajak bagi rakyat di daerah tersebut diringankan. Oleh karena jawaban bupati tidak memuaskan, akhirnya mereka melancarkan perlawanan.
Mereka meminta bantuan dan nasehat kepada Bagus Rangin yang dianggap sebagai pemimpin. Bagus Rangin menyetujui tujuan gerakan rakyat Palimanan dan menasehatkan, bahwa yang wajib dibunuh terlebih dahulu ialah bupati dan wakil Residen Belanda, karena kedua orang pejabat itulah yang paling bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat.
Setelah mendapat persetujuan Bagus Rangin, rakyat Palimanan segera menyerbu kota Palimanan dibawah pimpinan Bagus Serit (adik Bagus Rangin). Mereka menyerbu ke dalam pendopo kabupaten untuk membunuh Bupati Tumenggung Madenda, dan mendobrak rumah wakil Residen Belanda untuk dibunuh.
Rumah para bangsawan setempat dan orang Cina pun di kepung dan diserang. Beberapa orang yang dijumpainya dibunuh, termasuk orang yang dianggap menyebabkan kemelaratan hidup mereka.
Usai melancarkan serangan ke Palimanan, para penyerang tersebut mengundurkan diri dan berpencar ke tempat-tempat asal mereka, bahkan ada sebagian dari mereka bergabung kepada Bagus Rangin. Bagus Rangin pun akhirnya berhasil menghimpun para pemberontak dengan jumlah yang cukup banyak.
Dalam laporan tanggal 25 Februari 1806, Residen Van Lawick memberitakan kembali adanya gerakan melawan pemerintah kolonial. Menurut berita tersebut, di daerah perbatasan antara Kabupaten Sumedang dan Cirebon (yaitu daerah Jatitujuh dan sekitarnya) muncul para pemberontak.
Kelompok pemberontak tersebut berjumlah kurang lebih 1000 orang dan 50 diantaranya bersenjata. Sampai akhir tahun 1806 jumlah pemberontak yang bersenjata berjumlah sekitar 40.000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang dan sudah terlatih perang.
Gubernur Jenderal A. H Wiese (1805-1808) dengan persetujuan Dewan Penasehat Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, segera menugaskan Nicolaeus Engelhard sebagai pemimpin pasukan. Pasukan bantuan Bupati Bangkalan Mangkudiningrat didatangkan untuk menumpas pemberontakan rakyat Cirebon.
Nicolaeus Engelhard beserta pasukan Belanda, meminta kepada kepala daerah pribumi (bupati) yang daerahnya terletak di sekeliling daerah pemberontakan, diperintahkan mempersiapkan dan mengirim pasukan ke tempat yang dilanda kekacauan untuk ikut serta memadamkan pemberontakan. Pasukan bantuan didatangkan dari Sumedang, Subang, Karawang, dan Cirebon.
Pasukan Cirebon dan Sumedang ditugaskan mengepung daerah perlawanan dari arah selatan dan timur, sedangkan pasukan Subang dan Karawang mengepung dari arah barat dan utara.
Pasukan Sumedang yang dipimpin oleh bupati dan Patih Sumedang, yaitu R. A Surianegara dan Raden Wangsayuda, mendirikan markasnya di Damar Wangi dan di Tomo, sedangkan pasukan Cirebon menjaga daerah sepanjang sungai Cimanuk.
Pasukan Cirebon melancarkan serangan terhadap daerah pemusatan pasukan Bagus Rangin di sekitar Bantar Jati, Jatitujuh daerah perbatasan antara Sumedang dan Cirebon. Pada waktu itu, pasukan Karawang yang dipimpin oleh bupatinya, R. A Suryalaga bergerak maju pula sambil menyerang tempat-tempat kedudukan para pemberontak.
Mengingat pertempuran tersebut berlangsung dalam waktu cukup lama mengakibatkan banyaknya jatuh korban di kedua belah pihak. Dua orang kepala distrik yaitu Putra Patih Sumedang menjadi korban, 25 orang prajurit Sumedang ditawan dan di hokum mati. Pasukan Bagus Rangin pun banyak jatuh korban, dan sebagian lagi pasukannya berhasil meloloskan diri.
Untuk meredakan pertempuran, pada tanggal 1 September 1806 diadakan perjanjian antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Isi perjanjian antara lain menetapkan, “Raja Kanoman beserta dua orang saudaranya dikembalikan ke Cirebon dan dinobatkan menjadi sultan.
Orang-orang Cina tidak diperbolehkan tinggal di daerah pedalaman dan kepada para sultan yang memihak Belanda tidak diperkenankan memeras rakyatnya”. Sampai berlakunya perjanjian itu belum dapat meredakan perlawanan rakyat daerah Jatitujuh dan sekitarnya.
Pemberontakan pun terus berlangsung, kadang-kadang di bawah seorang pemimpin dan kadang-kadang dilakukan sendiri oleh kelompok- kelompok pemberontak yang tersebar di Cirebon.
Pada saat pemerintah Gubernur Jenderal W.Daendels berkuasa, perlawanan rakyat makin meluas ke daerah Indramayu sebelah selatan, karena Daendels secara terus menerus mengurangi kekuasaan sultan.
Untuk mencoba meredakan perlawanan rakyat, di samping mendatangkan pasukan bantuan, pada tanggal 25 Maret 1808 Daendels mengembalikan raja Kanoman dari tempat pembuangannya di Ambon, dan menobatkannya menjadi Sultan Cirebon. Akan tetapi Sultan Kanoman yang baru dilantik tersebut, tidak mampu mengembalikan ketenangan rakyat.
Daendels membagi daerah Cirebon menjadi dua bagian, yaitu :
Untuk kota Cirebon dan sekitarnya, yang terdiri dari persawahan dibagi dua wilayah antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom.
Tindakan-tindakan lain Daendels terhadap para sultan di Cirebon, yaitu memecat kembali Sultan Kanoman yang sikap dan tindakannya dianggap selalu menentang Pemerintah Kolonial Belanda.
Pemecatan terhadap Sultan Kanoman membuat rakyat Cirebon sangat kecewa, karena Sultan Kanoman dianggap sebagai figur pemimpin yang selalu membela rakyat. Segala kebijakan Daendels tersebut mengakibatkan keresahan di segala lapisan masyarakat.
Akhirnya semua perlawanan dan gerakan-gerakan rakyat di daerah-daerah yang semula hamper reda menjadi berkobar lagi, bahkan semakin menghebat dan melahirkan pemimpin-pemimpin pemberontakan.
Di samping pemberontak rakyat Cirebon, Belanda di bawah Daendels menghadapi perang lain, yaitu melawan Inggris yang menentang Eropa di bawah Napoleon. Pada tahun 1811 orang-orang Inggris berhasil mendarat di Jawa dan mengalahkan tentara Belanda.
Banyak pasukan Indonesia dalam tentara Belanda bercerai-berai di pedalaman dan mulai beroprasi sendiri-sendiri. Keadaan seperti itu dimanfaatkan oleh Bagus Rangi untuk menghimpun para pemberontak dan memimpin pemberontakan.
Pemberontak-pemberontak di bawah pimpinan Bagus Rangin merampok dan membakar rumah-rumah orang-orang Eropa dan Cina, dan melakukan tindakan-tindakan seperti lazimnya dilakukan dalam pemberontakan pada saat itu.
Bagus Rangin berhasil mengumpulkan kembali pengikutnya di Gunung Aji (daerah Sumedang dan Ciasem). Masyarakat masih menghormatinya, karena dia dianggap sakti dan diharapkan mampu tampil sebagai pemimpin dalam mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Sementara itu gabungan tentara Belanda dibantu oleh para bupati yang telah bergerak dari kabupaten menuju Jatitujuh.
Pasukan Bagus Rangin mengadakan serangan terlebih dahulu, caranya dengan memasang umbul-umbul di lapangan Jawura. Maksud dari pemasangan tersebut sebagai tanta “ menentang perang”. Dipilihnya lapangan Jawura karena letaknya yang strategis dan menguntungkan. Lapangan Jawura berada di sebelah barat Desa Kertajati (5 km dari Jatitujuh), memanjang ke arah timur-barat dengan luas kurang lebih lima hektar.
Pasukan gabungan Pemerintah Kolonial memerintahkan tiap kebupaten di wilayah Priangan dan Kabupaten Karawang untuk mengirimkan pasukannya, terutama kabupaten yang berbatasan dengan daerah perlawanan.
Bupati Sumedang Pangeran Kusumahdinata dan Bupati Karawang R.A Surialaga, masing-masing ditetapkan sebagai komandan pasukan. Kedua pasukan itu dibantu oleh pasukan Belanda dari Batavia, dipimpin oleh seorang Mayor dengan para opsir.
Begitu tiba di perbatasan Kertajati dan Babakan, pasukan gabungan melihat umbul-umbul merah yang dipasang oleh pasukan Bagus Rangin. Hal itu menandakan bahwa pasukan Belanda harus segera berpencar.
Sebagai tanda karena didesak terus-menerus akhirnya pasukan Bagus Rangin mengalami kekalahan. Para pengikut dan pemimpin pemberontakan rakyat Cirebon banyak yang melarikan diri, termasuk Bagus Rangin.
Pasukan rakyat Cirebon yang berhasil melarikan diri kemudian bertahan disuatu daerah yang bernama Pangayoman.
Serangan yang teru-menerus dilakukan oleh serdadu Belanda, akhirnya membuat mereka mundur ke Kampung Sindang sebagai tempat pertahanan terakhir. Bagus Rangin yang mengalami kekalahan di Bantarjati pada tanggal 23 Januari 1812, pergi ke Sumedang di hutan Ujung Jaya, karena di sana terdapat istri dan anaknya.
Operasi militer pasukan pemerintah colonial digelar terus dengan menelusuri desa-desa yang dianggap sebagai tempat persembunyian para pemberontak. Operasi ini terutama ditujukan untuk menangkap Bagus Rangin. Pada akhirnya operasi militer ini berhasil menangkap Bagus Rangin di Panongan pada tanggal 27 Juni 1812 dan perlawanan untuk sementara padam.
Munculnya Bagus Rangin
Bagus Rangin merupakan pemimpin pemberontakan pada periode pertama yaitu tahun 1802-1812. Perjuangannya dalam menentang kolonialisme dan imperialisme Belanda, pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari perlawanan Pangeran Surianegara (Adik Sultan Matangaji Kasepuhan).Sebagai seorang pemimpin, Bagus Rangin banyak melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Berpindah-pindah tempat untuk mengumpulkan pengikut.
Tempat pertemuan dengan para pengikutnya yaitu di Gunung Aji, daerah Sumedang dan Ciasem (Kabuyutan Kawocan) merupakan sebuah tempat rahasia, dan sengaja tidak memilih tempat tinggal sebagai tempat pertemuannya, karena untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Belanda.
Pemberontakan yang dilakukannya tidak seorang diri, tetapi dibantu oleh adiknya yaitu Bagus Serit sebagai orang kepercayaannya. Bagus Serit banyak berjasa kepada Bagus Rangin, karena telah membantunya pada saat melakukan penyerbuan ke rumah-rumah bangsawan di Palimanan.
Pemberontakan ini tidak hanya terbatas di daerah Cirebon saja, tetapi juga meluas ke daerah-daerah lain, baik di karisidenan Cirebon maupun di luar karisidenan Cirebon. Pengikut Bagus Rangin tersebar dibeberapa daerah diantaranya dari Kuningan, Cirebon, Majalengka, Indramayu, Sumedang, Karawang dan Subang.
Bagus Rangin memulai karirnya sebagai pimpinan pemberontak karena residen Belanda merampas tanah, warisan nenek-moyangnya. Tanah tersebut dipergunakan oleh residen sendiri. Kejadian ini merupakan motivasi baginya untuk membenci semua orang Eropa dan orang asing.
Kharisma yang dimilki memudahkan membangkitkan loyalitas pengikutnya untuk menggerakkan mereka dengan tujuan melawan penjajah. Sebagai bentuk loyalitas, rasa hormat, setia dan tunduk, para pengikutnya membawakan persediaan beras dan logistic lainnya. Mereka juga melindungi Bagus Rangin dari Pemerintah Kolonial Belanda yang selalu berusaha mencari dan menangkapnya.
Pusat gerakan Bagus Rangin berlokasi di daerah Jatitujuh, termasuk Kabupaten Majalengka, Karisidenan Cirebon. Gerakan perlawanan rakyat Cirebon secara spontan diawali dengan penentangan terhadap pemerintah kolonial Belanda beserta kaki tangannya. Sasaran pertama gerakan ini ialah residen dan orang-orang Cina, karena dianggap secara langsung meras rakyat.
Akibatnya banyak orang Cina yang dibunuh dan diusir dari Cirebon. Kekacauan di Cirebon ini menyebar ke daerah Sumedang, karena terlalu kejamnya sikap dan tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat dan juga pejabat pribumi.
Pihak Belanda menduga bahwa pecahnya kerusuhan digerakkan oleh Pangeran Surianegara dari Kesultanan Kanoman Cirebon. S.H Rose selaku residen Cirebon menyarankan kepada pemerintah Belanda di Batavia, bahwa untuk menumpas gerakan itu pemerintah harus mengundang Raja Kanoman beserta dua orang saudaranya ke Batavia dengan alasan untuk berunding.
Pemerintah kolonial Belanda menerima saran itu dan kemudian disampaikan undangan kaepada Raja Kanoman. Setibanya di Batavia bukanlah perundingan yang dilakukan, melainkan penangkapan terhadap ketiga orang pemimpin gerakan rakyat itu.
Pada saat itu juga S.H Rose mengajukan resolusi kepada pemerintah di Batavia, memohon supaya dikeluarkan perintah oleh Belanda kepada Para Bupati, agar tidak memberi jalan kepada rombongan tersebut.
Bupati Karawang R.A Surialaga diperintahkan, apabila sudah tiba di Karawang dicegat dan disuruh kembali ke Cirebon. Berdasarkan Resolusi 15 Maret 1805, untuk memulangkan rombongan rakyat Cirebon, Belanda mengirimkan kapal ke Clincing. Rombongan tersebut berhasil dipulangkan ke Cirebon tanggal 17 Mei 1805.
Jalannya Pemberontakan
Pada tahun 1768 pejabat kompeni di Batavia memecat Sultan Cirebon, alasannya karena dianggap melakukan korupsi. Otomatis daerahnya diserahkan kepada Sultan Sepuh oleh Kompeni. Sultan Cirebon kemudian dibuang ke Maluku .Dengan tindakan kompeni itu, akhirnya Kasultanan Cirebon hanya dikuasai oleh Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Dalam mengendalikan pemerintahannya kedua Sultan tersebut selalu tergantung kepada kompeni.
Pada tahun 1798 Sultan Kanoman wafat. Rakyat berharap agar Raja Konoman sebagai gantinya. Harapan rakyat itu ditolak oleh Belanda, bahkan pihak Belanda sengaja mengangkat Pangeran Surantaka yang tidak disenangi oleh rakyat.
Pangeran Surianegara yang dicintai oleh rakyat Cirebon diusir oleh Belanda dari keraton bersama dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Kabupaten dan Pangeran Lutan.
Pengusiran Raja Kanoman mengundang protes para bangsawan dan pemuka agama di Cirebon. Mereka meminta kepada pemerintah Belanda agar meninjau kembali keputusan tersebut. Pihak Kasultanan Kasepuhan juga turut mempersoalkan pangeran yang dicabut haknya itu. Pada akhirnya masyarakat pun mengidentifikasikan diri dengan persoalan pangeran yang haknya di cabut.
Rakyat pedesaan Cirebon pada saat itu sedang dilanda keresahan, karena tenaganya habis dieksploitasi oleh orang-orang Cina yang menyewa desa mereka. Pajak yang ditarik oleh orang Cina terlalu besar dan banyak macamnya.
Meluasnya Gerakan Pemberontakan
Rakyat Cirebon tidak berhenti begitu saja, walaupun pimpinan mereka telah dibuang ke Ambon, situasi pergolakan terus berlangsung bahkan semakin meningkat dan meluas. Dewan penasehat Belanda di Batavia mengirim delegasi dipimpin mantan Residen Cirebon P. Wallbeek, mengajukan suatu perjanjian yang berisi sebagai berikut:- Raja Kanoman akan dilantik kembali menjadi raja
- Pemerintah kolonial Belanda akan memperbaiki kehidupan rakyat
- Orang Cina tidak akan diperbolehkan lagi menyewa desa dan tidak diizinkan tinggal di pedesaan
- Mempermudah urusan rakyat
- Pemerintah kolonial Hindia Belanda akan mengangkat patih dan beberapa menteri bagi tiap raja, supaya pemerintah lebih tetap
- Kepada Raja Kanoman akan diberi 1000 cacah oleh Panembahan Cirebon
- Penghasilan Residen Cirebon dari kopi yang besar sekali jumlahnya akan dikurangi.
Pemerintah kolonial Belanda pun sulit untuk memadamkannya. Kondisi sosial ekonomi rakyat yang semakin susah, justru menambah semangat perjuangan rakyat Cirebon untuk menentang pemerintah kolonial Belanda dan orang-orang yang dianggap memerasnya.
Rakyat Palimanan daerah antara Jatitujuh dan Majalengka, mulai bangkit pula dengan melakukan perlawanan terhadap penguasa daerahnya. Sama daerah lain di Cirebon, desa-desa di Palimanan disewakan bupati kepada orang-orang Cina, petani dihisap tenaganya dan dikenakan pajak yang sangat tinggi.
Atas tindakan orang-orang Cina itu, rakyat Palimanan mengajukan suatu permohonan kepada bupati supaya pajak bagi rakyat di daerah tersebut diringankan. Oleh karena jawaban bupati tidak memuaskan, akhirnya mereka melancarkan perlawanan.
Mereka meminta bantuan dan nasehat kepada Bagus Rangin yang dianggap sebagai pemimpin. Bagus Rangin menyetujui tujuan gerakan rakyat Palimanan dan menasehatkan, bahwa yang wajib dibunuh terlebih dahulu ialah bupati dan wakil Residen Belanda, karena kedua orang pejabat itulah yang paling bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat.
Setelah mendapat persetujuan Bagus Rangin, rakyat Palimanan segera menyerbu kota Palimanan dibawah pimpinan Bagus Serit (adik Bagus Rangin). Mereka menyerbu ke dalam pendopo kabupaten untuk membunuh Bupati Tumenggung Madenda, dan mendobrak rumah wakil Residen Belanda untuk dibunuh.
Rumah para bangsawan setempat dan orang Cina pun di kepung dan diserang. Beberapa orang yang dijumpainya dibunuh, termasuk orang yang dianggap menyebabkan kemelaratan hidup mereka.
Usai melancarkan serangan ke Palimanan, para penyerang tersebut mengundurkan diri dan berpencar ke tempat-tempat asal mereka, bahkan ada sebagian dari mereka bergabung kepada Bagus Rangin. Bagus Rangin pun akhirnya berhasil menghimpun para pemberontak dengan jumlah yang cukup banyak.
Dalam laporan tanggal 25 Februari 1806, Residen Van Lawick memberitakan kembali adanya gerakan melawan pemerintah kolonial. Menurut berita tersebut, di daerah perbatasan antara Kabupaten Sumedang dan Cirebon (yaitu daerah Jatitujuh dan sekitarnya) muncul para pemberontak.
Kelompok pemberontak tersebut berjumlah kurang lebih 1000 orang dan 50 diantaranya bersenjata. Sampai akhir tahun 1806 jumlah pemberontak yang bersenjata berjumlah sekitar 40.000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang dan sudah terlatih perang.
Gubernur Jenderal A. H Wiese (1805-1808) dengan persetujuan Dewan Penasehat Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, segera menugaskan Nicolaeus Engelhard sebagai pemimpin pasukan. Pasukan bantuan Bupati Bangkalan Mangkudiningrat didatangkan untuk menumpas pemberontakan rakyat Cirebon.
Nicolaeus Engelhard beserta pasukan Belanda, meminta kepada kepala daerah pribumi (bupati) yang daerahnya terletak di sekeliling daerah pemberontakan, diperintahkan mempersiapkan dan mengirim pasukan ke tempat yang dilanda kekacauan untuk ikut serta memadamkan pemberontakan. Pasukan bantuan didatangkan dari Sumedang, Subang, Karawang, dan Cirebon.
Pasukan Cirebon dan Sumedang ditugaskan mengepung daerah perlawanan dari arah selatan dan timur, sedangkan pasukan Subang dan Karawang mengepung dari arah barat dan utara.
Pasukan Sumedang yang dipimpin oleh bupati dan Patih Sumedang, yaitu R. A Surianegara dan Raden Wangsayuda, mendirikan markasnya di Damar Wangi dan di Tomo, sedangkan pasukan Cirebon menjaga daerah sepanjang sungai Cimanuk.
Pasukan Cirebon melancarkan serangan terhadap daerah pemusatan pasukan Bagus Rangin di sekitar Bantar Jati, Jatitujuh daerah perbatasan antara Sumedang dan Cirebon. Pada waktu itu, pasukan Karawang yang dipimpin oleh bupatinya, R. A Suryalaga bergerak maju pula sambil menyerang tempat-tempat kedudukan para pemberontak.
Mengingat pertempuran tersebut berlangsung dalam waktu cukup lama mengakibatkan banyaknya jatuh korban di kedua belah pihak. Dua orang kepala distrik yaitu Putra Patih Sumedang menjadi korban, 25 orang prajurit Sumedang ditawan dan di hokum mati. Pasukan Bagus Rangin pun banyak jatuh korban, dan sebagian lagi pasukannya berhasil meloloskan diri.
Untuk meredakan pertempuran, pada tanggal 1 September 1806 diadakan perjanjian antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Isi perjanjian antara lain menetapkan, “Raja Kanoman beserta dua orang saudaranya dikembalikan ke Cirebon dan dinobatkan menjadi sultan.
Orang-orang Cina tidak diperbolehkan tinggal di daerah pedalaman dan kepada para sultan yang memihak Belanda tidak diperkenankan memeras rakyatnya”. Sampai berlakunya perjanjian itu belum dapat meredakan perlawanan rakyat daerah Jatitujuh dan sekitarnya.
Pemberontakan pun terus berlangsung, kadang-kadang di bawah seorang pemimpin dan kadang-kadang dilakukan sendiri oleh kelompok- kelompok pemberontak yang tersebar di Cirebon.
Pada saat pemerintah Gubernur Jenderal W.Daendels berkuasa, perlawanan rakyat makin meluas ke daerah Indramayu sebelah selatan, karena Daendels secara terus menerus mengurangi kekuasaan sultan.
Untuk mencoba meredakan perlawanan rakyat, di samping mendatangkan pasukan bantuan, pada tanggal 25 Maret 1808 Daendels mengembalikan raja Kanoman dari tempat pembuangannya di Ambon, dan menobatkannya menjadi Sultan Cirebon. Akan tetapi Sultan Kanoman yang baru dilantik tersebut, tidak mampu mengembalikan ketenangan rakyat.
Daendels membagi daerah Cirebon menjadi dua bagian, yaitu :
- Bagian Utara disebut wilayah Kasultanan Cirebon yang meliputi daerah-daerah: Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Gebang.
- Bagian Selatan yang disebut tanah-tanah Priangan yang meliputi wilayah Kabupaten Limbangan, kabupaten Sukapura dan kabupaten Galuh.
- Pada tanggal 13 Maret 1809, wilayah Kasultanan Cirebon dikepalai oleh tiga orang sultan (Sultan Kasepuhan, Sultan Kanoman, Sultan Kacirebonan).
Untuk kota Cirebon dan sekitarnya, yang terdiri dari persawahan dibagi dua wilayah antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom.
Tindakan-tindakan lain Daendels terhadap para sultan di Cirebon, yaitu memecat kembali Sultan Kanoman yang sikap dan tindakannya dianggap selalu menentang Pemerintah Kolonial Belanda.
Pemecatan terhadap Sultan Kanoman membuat rakyat Cirebon sangat kecewa, karena Sultan Kanoman dianggap sebagai figur pemimpin yang selalu membela rakyat. Segala kebijakan Daendels tersebut mengakibatkan keresahan di segala lapisan masyarakat.
Akhirnya semua perlawanan dan gerakan-gerakan rakyat di daerah-daerah yang semula hamper reda menjadi berkobar lagi, bahkan semakin menghebat dan melahirkan pemimpin-pemimpin pemberontakan.
Di samping pemberontak rakyat Cirebon, Belanda di bawah Daendels menghadapi perang lain, yaitu melawan Inggris yang menentang Eropa di bawah Napoleon. Pada tahun 1811 orang-orang Inggris berhasil mendarat di Jawa dan mengalahkan tentara Belanda.
Banyak pasukan Indonesia dalam tentara Belanda bercerai-berai di pedalaman dan mulai beroprasi sendiri-sendiri. Keadaan seperti itu dimanfaatkan oleh Bagus Rangi untuk menghimpun para pemberontak dan memimpin pemberontakan.
Pemberontak-pemberontak di bawah pimpinan Bagus Rangin merampok dan membakar rumah-rumah orang-orang Eropa dan Cina, dan melakukan tindakan-tindakan seperti lazimnya dilakukan dalam pemberontakan pada saat itu.
Bagus Rangin berhasil mengumpulkan kembali pengikutnya di Gunung Aji (daerah Sumedang dan Ciasem). Masyarakat masih menghormatinya, karena dia dianggap sakti dan diharapkan mampu tampil sebagai pemimpin dalam mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Sementara itu gabungan tentara Belanda dibantu oleh para bupati yang telah bergerak dari kabupaten menuju Jatitujuh.
Pasukan Bagus Rangin mengadakan serangan terlebih dahulu, caranya dengan memasang umbul-umbul di lapangan Jawura. Maksud dari pemasangan tersebut sebagai tanta “ menentang perang”. Dipilihnya lapangan Jawura karena letaknya yang strategis dan menguntungkan. Lapangan Jawura berada di sebelah barat Desa Kertajati (5 km dari Jatitujuh), memanjang ke arah timur-barat dengan luas kurang lebih lima hektar.
Pasukan gabungan Pemerintah Kolonial memerintahkan tiap kebupaten di wilayah Priangan dan Kabupaten Karawang untuk mengirimkan pasukannya, terutama kabupaten yang berbatasan dengan daerah perlawanan.
Bupati Sumedang Pangeran Kusumahdinata dan Bupati Karawang R.A Surialaga, masing-masing ditetapkan sebagai komandan pasukan. Kedua pasukan itu dibantu oleh pasukan Belanda dari Batavia, dipimpin oleh seorang Mayor dengan para opsir.
Begitu tiba di perbatasan Kertajati dan Babakan, pasukan gabungan melihat umbul-umbul merah yang dipasang oleh pasukan Bagus Rangin. Hal itu menandakan bahwa pasukan Belanda harus segera berpencar.
Sebagai tanda karena didesak terus-menerus akhirnya pasukan Bagus Rangin mengalami kekalahan. Para pengikut dan pemimpin pemberontakan rakyat Cirebon banyak yang melarikan diri, termasuk Bagus Rangin.
Pasukan rakyat Cirebon yang berhasil melarikan diri kemudian bertahan disuatu daerah yang bernama Pangayoman.
Serangan yang teru-menerus dilakukan oleh serdadu Belanda, akhirnya membuat mereka mundur ke Kampung Sindang sebagai tempat pertahanan terakhir. Bagus Rangin yang mengalami kekalahan di Bantarjati pada tanggal 23 Januari 1812, pergi ke Sumedang di hutan Ujung Jaya, karena di sana terdapat istri dan anaknya.
Operasi militer pasukan pemerintah colonial digelar terus dengan menelusuri desa-desa yang dianggap sebagai tempat persembunyian para pemberontak. Operasi ini terutama ditujukan untuk menangkap Bagus Rangin. Pada akhirnya operasi militer ini berhasil menangkap Bagus Rangin di Panongan pada tanggal 27 Juni 1812 dan perlawanan untuk sementara padam.
Belum ada Komentar untuk "Pemberontakan Bagus Rangin Di Cirebon"
Posting Komentar