Mengenal Tradisi Panjang Jimat di Cirebon
Senin, 03 Desember 2018
Tulis Komentar
Menurut Usman ( 2004: 205), prosesi adat "Panjang Jimat" adalah refleksi dari proses kelahiran Nabi Muhammad SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud Nabi Muhamad di Keraton Kasepuhan Cirebon. Kata “Panjang” berarti sederetan iring-iringan berbagai benda pusaka dalam prosesi itu dan “Jimat” berarti “siji kang dirumat” atau satu yang dihormati yaitu kalimat sahadat “La Illa ha Illahah” sehingga arti gabungan dua kata itu adalah sederetan persiapan menyongsong kelahiran nabi yang teguh mengumandangkan kalimat sahadat kepada umat di dunia.
Pada umumnya masing-masing upacara terdiri atas kombinasi berbagai macam unsur upacara seperti berkorban, berdo’a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Urutannya telah tertentu sebagai hasil ciptaan para pendahulunya yang telah menjadi tradisi.
Tradisi muludan yang ada di Cirebon termasuk didalamnya prosesi Panjang Jimat dipengaruhi oleh kebijakan Sultan Sholahuddin Al Ayubi, sebab beliaulah orang yang pertama kali menggalakan peringatan maulid nabi. Sultan ini dikenal sebagai Sultan Dinasti Ayubi yang merebut Palestina dari tangan tentara Salib.
Prosesi peringatan maulid yang disebarkan Sholihudin Al-Ayubi kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Kerajaan Cirebon dan Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah kemudian mengadopsikan acara maulud nabi itu dengan budaya Jawa sehingga menjadi prosesi Panjang Jimat.
Secara serentak, upacara pelal Panjang Jimat di Cirebon diselenggarakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah. Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah pendiri Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Ritual-ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara yang lainnya, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisil Maka pada saat itu tampaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya).
Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan itu raja menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Prosesi Panjang Jimat di Cirebon sendiri diadakan Di Keraton Kasepuhan, adapun tahpan prosesi pelaksanaan tradisi ini adalah sebagai berikut:
mawar, kembang goyah, “serbad boreh” (panem) dan hidangan tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur”. Yang berisi kue-kue dan tempat dong-dang yang berisis makanan, petugasnya adalah Nyi Kotif Agung, Nyi Kaum dengan disaksikan oleh para Ratu/family kasultanan.
Selanjutnya Sultan menyerahkan payung pusaka kepada Putra Mahkota sebagai wakil dirinya dalam iring-iringan Panjang Jimat.
Urut-urutan panjang jimat di Kesultanan Kasepuhan yaitu pertama barisan lilin yang melambangkan kelahiran nabi pada malam hari.
Barisan kedua berupa Manggaran, Nagan, dan Jantungan yang lambangkan kebesaran dan keagungan.
Barisan ketiga, berupa air mawar, pasatan, dan kembang goyang sebagai perlambang air ketuban dan usus atau ari-ari bayi.
Barisan keempat berupa air serbat dalam empat baki dan dua guci sebagai perlambang kelahiran.
Barisan kelima berupa tumpeng jeneng, 10 nasi uduk, 10 nasi putih sebagai perlambang seorang bayi harus diberi nama yang baik agar menjadi orang yang berguna,
Barisan keenam adalah iring-iringan tujuh nasi jimat.
Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan 200 barisan abdi dalem yang masing-masing membawa simbil-simbol sebagai perlambang.
Barisan pertama ialah pembawa lilin, bertujuan sebagai penerang, diikuti iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti "manggaran", "nadan" dan "jantungan" (perlambang kebesaran dan keagungan).
Setelah sepasukan pengawal (iring-iringan) lengkap berkumpul di Bangsal Purbayaksa, putra mahkota atas izin Sultan, memimpin arak-arakan menuju Langgar Agung, sekira 100 meter, masih di lingkungan keraton.
Arak-arakan yang keluar dari Bangsal Purbayaksa disambut di luar keraton oleh pengawal pembawa obor (perlambang Abu Tholib, paman nabi menyambut kelahiran bayi Muhammad pada malam hari yang kemudian menjadi manusia agung) sebelum akhirnya dibawa ke mushala.
Di mushala itu Nasi Jimat Tujuh Rupa itu dibuka bersama dengan sajian makanan lain termasuk makanan yang disimpan di 38 buah piring pusaka peninggalan Sunan Gunung Djati berusia 600 tahun. Di mushala (Langgar Agung), dilakukan shalawatan serta pembacaan (mengaji) kitab Barjanzi sampai pukul 24.00 WIB.
Setelah shalawatan dan pembacaan kitab yang dipimpin imam Masjid Agung "Sang Cipta Rasa" Keraton Kasepuhan, makanan lalu disantap bersama.
Putera Mahkota yang mengenakan pakaian khas tradisi Cirebonan berupa kemeja hitam dan blangkon, pulang kembali ke keraton dengan pengawalan ketat, sebab ribuan warga yang rela menunggu berlama-lama, pada berebut untuk memegang atau sekadar menyentuh calon Sultan Kasepuhan Cirebon itu karena diyakini bisa membawa berkah “Ngalap berkah”.
Sebelum arak-arakan membawa Nasi Jimat Tujuh Rupa dimulai, Sultan Kasepuhan, Maulana Pakuningrat memberi wejangan kepada para abdi dalem dan tamu undangan. Sultan menyampaikan makna dari perayaan Panjang Jimat yang sudah berusia ratusan tahun.
Sebagaimana sebutan "pelal", Panjang Jimat merupakan puncak dari serangkaian ritual yang ditujukan untuk mengenang dan merayakan kelahiran (maulud) Nabi Muhammad saw. Acara ini merupakan penutup rangkaian acara tradisi yang setiap tahun selalu berjalan meriah dan menjadi magnet tersendiri bagi ratusan ribu warga untuk datang ke Kota Cirebon.
Panjang Jimat, atau rangkaian panjang acara adat mengenang dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan telah menjadi agenda tersendiri. Tidak hanya bagi abdi dalem keraton atau warga Kota Cirebon, tetapi juga warga dari daerah lain seperti Indramayu, Majalengka, Kuningan, termasuk juga Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, bahkan wilayah Jateng seperti Tegal, Brebes, Batang, Pekalongan, Semarang sampai Jakarta dan Banten.
Banyak masyarakat yang percaya menyaksikan Muludan yang digelar tiga keraton di Cirebon memberikan semangat spiritual dalam menempuh kehidupan, bahkan tidak jarang beberapa orang berusaha menggapai benda pusaka dengan tujuan mendapatkan berkah pada malam Panjang Jimat itu.
Pada umumnya masing-masing upacara terdiri atas kombinasi berbagai macam unsur upacara seperti berkorban, berdo’a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Urutannya telah tertentu sebagai hasil ciptaan para pendahulunya yang telah menjadi tradisi.
Tradisi muludan yang ada di Cirebon termasuk didalamnya prosesi Panjang Jimat dipengaruhi oleh kebijakan Sultan Sholahuddin Al Ayubi, sebab beliaulah orang yang pertama kali menggalakan peringatan maulid nabi. Sultan ini dikenal sebagai Sultan Dinasti Ayubi yang merebut Palestina dari tangan tentara Salib.
Prosesi peringatan maulid yang disebarkan Sholihudin Al-Ayubi kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Kerajaan Cirebon dan Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah kemudian mengadopsikan acara maulud nabi itu dengan budaya Jawa sehingga menjadi prosesi Panjang Jimat.
Secara serentak, upacara pelal Panjang Jimat di Cirebon diselenggarakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah. Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah pendiri Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Ritual-ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara yang lainnya, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisil Maka pada saat itu tampaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya).
Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan itu raja menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Prosesi Panjang Jimat di Cirebon sendiri diadakan Di Keraton Kasepuhan, adapun tahpan prosesi pelaksanaan tradisi ini adalah sebagai berikut:
Diadakan Susrana. Tahap ini diadakan di gedung/bangsal dalem.
Disinilah disajikan Nasi Rosul sebanyak 7 golongan, untuk tiap-tiap golongan ditumpangkan/ditempatkan di atas tasbih/piring besar. Petugas-petugasnya adalah : Nyi Penghulu, Nyi Krum yang disaksikan oleh para Ratu Dalem. Di belakang Bangsal Dalem yang disajikan airmawar, kembang goyah, “serbad boreh” (panem) dan hidangan tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur”. Yang berisi kue-kue dan tempat dong-dang yang berisis makanan, petugasnya adalah Nyi Kotif Agung, Nyi Kaum dengan disaksikan oleh para Ratu/family kasultanan.
Di Gedung Bangsal Prabayaksa yaitu sebelah utara bangsal dalem dan di bangsal Pringgadani (sebelah utara bangsal Prabayaksa), diperuntukan bagi para undangan di tengah ruangan dilowongkan untuk deretan upacara, terus dari Jinem ke Sri Manganti.
Di Keraton Kasepuhan, upacara puncak Pelal Panjang Jimat dimulai tepat pukul 19.50 WIB dipimpin langsung oleh Sultan, sementara prosesi iring-iringan jimat keraton dibawa dari Bangsal Prabayaksa Keraton menuju Langgar Agung dipimpin Putra Mahkota Kesultanan.Selanjutnya Sultan menyerahkan payung pusaka kepada Putra Mahkota sebagai wakil dirinya dalam iring-iringan Panjang Jimat.
Urut-urutan panjang jimat di Kesultanan Kasepuhan yaitu pertama barisan lilin yang melambangkan kelahiran nabi pada malam hari.
Barisan kedua berupa Manggaran, Nagan, dan Jantungan yang lambangkan kebesaran dan keagungan.
Barisan ketiga, berupa air mawar, pasatan, dan kembang goyang sebagai perlambang air ketuban dan usus atau ari-ari bayi.
Barisan keempat berupa air serbat dalam empat baki dan dua guci sebagai perlambang kelahiran.
Barisan kelima berupa tumpeng jeneng, 10 nasi uduk, 10 nasi putih sebagai perlambang seorang bayi harus diberi nama yang baik agar menjadi orang yang berguna,
Barisan keenam adalah iring-iringan tujuh nasi jimat.
Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan 200 barisan abdi dalem yang masing-masing membawa simbil-simbol sebagai perlambang.
Barisan pertama ialah pembawa lilin, bertujuan sebagai penerang, diikuti iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti "manggaran", "nadan" dan "jantungan" (perlambang kebesaran dan keagungan).
Setelah sepasukan pengawal (iring-iringan) lengkap berkumpul di Bangsal Purbayaksa, putra mahkota atas izin Sultan, memimpin arak-arakan menuju Langgar Agung, sekira 100 meter, masih di lingkungan keraton.
Arak-arakan yang keluar dari Bangsal Purbayaksa disambut di luar keraton oleh pengawal pembawa obor (perlambang Abu Tholib, paman nabi menyambut kelahiran bayi Muhammad pada malam hari yang kemudian menjadi manusia agung) sebelum akhirnya dibawa ke mushala.
Di mushala itu Nasi Jimat Tujuh Rupa itu dibuka bersama dengan sajian makanan lain termasuk makanan yang disimpan di 38 buah piring pusaka peninggalan Sunan Gunung Djati berusia 600 tahun. Di mushala (Langgar Agung), dilakukan shalawatan serta pembacaan (mengaji) kitab Barjanzi sampai pukul 24.00 WIB.
Setelah shalawatan dan pembacaan kitab yang dipimpin imam Masjid Agung "Sang Cipta Rasa" Keraton Kasepuhan, makanan lalu disantap bersama.
Putera Mahkota yang mengenakan pakaian khas tradisi Cirebonan berupa kemeja hitam dan blangkon, pulang kembali ke keraton dengan pengawalan ketat, sebab ribuan warga yang rela menunggu berlama-lama, pada berebut untuk memegang atau sekadar menyentuh calon Sultan Kasepuhan Cirebon itu karena diyakini bisa membawa berkah “Ngalap berkah”.
Sebelum arak-arakan membawa Nasi Jimat Tujuh Rupa dimulai, Sultan Kasepuhan, Maulana Pakuningrat memberi wejangan kepada para abdi dalem dan tamu undangan. Sultan menyampaikan makna dari perayaan Panjang Jimat yang sudah berusia ratusan tahun.
Sebagaimana sebutan "pelal", Panjang Jimat merupakan puncak dari serangkaian ritual yang ditujukan untuk mengenang dan merayakan kelahiran (maulud) Nabi Muhammad saw. Acara ini merupakan penutup rangkaian acara tradisi yang setiap tahun selalu berjalan meriah dan menjadi magnet tersendiri bagi ratusan ribu warga untuk datang ke Kota Cirebon.
Panjang Jimat, atau rangkaian panjang acara adat mengenang dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan telah menjadi agenda tersendiri. Tidak hanya bagi abdi dalem keraton atau warga Kota Cirebon, tetapi juga warga dari daerah lain seperti Indramayu, Majalengka, Kuningan, termasuk juga Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, bahkan wilayah Jateng seperti Tegal, Brebes, Batang, Pekalongan, Semarang sampai Jakarta dan Banten.
Banyak masyarakat yang percaya menyaksikan Muludan yang digelar tiga keraton di Cirebon memberikan semangat spiritual dalam menempuh kehidupan, bahkan tidak jarang beberapa orang berusaha menggapai benda pusaka dengan tujuan mendapatkan berkah pada malam Panjang Jimat itu.
Belum ada Komentar untuk "Mengenal Tradisi Panjang Jimat di Cirebon"
Posting Komentar